Sebabkan Kecelakaan, 15 Tahun Penjara untuk Bos Tambang Gunung Kuda

Cirebon, IDN Times - Bencana longsor di kawasan tambang Galian C Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyeret dua orang ke kursi pesakitan.
Mereka adalah AK, Ketua Koperasi Al Azhariyah; dan AR, kepala teknik tambang (KTT) yang kini resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Keduanya dijerat dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara setelah mengabaikan larangan operasional tambang dari pemerintah hingga menyebabkan jatuhnya 19 korban jiwa.
Kapolresta Cirebon, Kombes Sumarni menegaskan keduanya bertanggung jawab atas kelalaian fatal tersebut.
“Kegiatan penambangan tetap dilakukan meskipun telah dilarang oleh Dinas ESDM. Tersangka tidak mengindahkan aspek keselamatan kerja maupun peringatan hukum. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pembangkangan hukum yang berujung pada kematian,” ujar Sumarni, Minggu (1/6/2025).
1. Abaikan larangan, taruhkan nyawa

Tragedi bermula pada Jumat (30/5/2025) sekira pukul 10.00 WIB ketika aktivitas penambangan tras (limestone) masih terus berlangsung di Gunung Kuda, meskipun tambang tersebut sudah dilarang beroperasi oleh Cabang Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon.
Larangan itu diterbitkan karena Koperasi Al Azhariyah sebagai pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tidak memiliki dokumen rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang sah untuk tahun berjalan.
Namun, AK tetap memerintahkan tambang untuk beroperasi, dan AR selaku KTT yang seharusnya menjadi garda utama pengawasan keselamatan tambang tetap mengeksekusinya.
Tanpa persetujuan RKAB, tanpa sistem keselamatan yang memadai, mereka mengorbankan nyawa belasan buruh tambang.
“Saat kejadian, para pekerja sedang mengeruk lereng batu dengan ekskavator. Tanpa peringatan, longsor besar menimpa area kerja, mengubur alat berat dan para pekerja di dalamnya. Hingga hari ini, 19 korban telah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa,” ujar Sumarni.
2. Surat larangan diabaikan begitu saja

Dari hasil penyelidikan, polisi menyita sejumlah barang bukti yang memperkuat dakwaan. Di antaranya adalah dump truck dan ekskavator yang tertimbun, serta dokumen-dokumen penting antara lain Surat Keputusan IUP Operasi Produksi (tertanggal 5 November 2020), surat larangan kegiatan tambang (tertanggal 6 Januari 2025), hingga surat peringatan penghentian kegiatan tambang (tertanggal 19 Maret 2025).
“Semua dokumen itu disampaikan resmi ke koperasi, tapi mereka abaikan. Bahkan setelah menerima surat peringatan, tambang tetap beroperasi seperti biasa,” kata Sumarni.
Tak hanya itu, dokumen keahlian AR sebagai kepala teknik tambang pun menjadi sorotan. Meski bersertifikat, pelaksanaan teknis di lapangan sangat minim pengawasan dan jauh dari standar keselamatan pertambangan.
Misalnya tidak ada sistem mitigasi longsor, tidak ada rambu peringatan, hingga tidak ada evakuasi dini.
3. Tambang ilegal, korban nyata

Berdasarkan penyidikan, AK dan AR dijerat dengan sejumlah pasal berat. Mereka melanggar Pasal 98 ayat 1 dan 3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman penjara lima–15 tahun dan denda hingga Rp15 miliar.
Pasal 35 ayat 3 Jo. Pasal 186 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah dalam UU No. 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja), dengan ancaman satu bulan hingga empat tahun penjara.
“Tambang ini semestinya tidak boleh beroperasi, tapi para tersangka dengan sadar mengambil risiko besar dan mencelakakan orang lain. Ini bukan kecelakaan murni, ini adalah konsekuensi dari pembiaran yang sistematis,” kata Sumarni.
Penetapan tersangka ini diharapkan jadi preseden tegas bagi seluruh pengusaha tambang di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Menurut informasi Cabang Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon, sedikitnya ada 21 tambang aktif di wilayah itu, namun sebagian besar belum melengkapi dokumen RKAB untuk tahun 2025.