Gizi Tipis-Gula Melimpah, MBG di Cirebon Jalan Tanpa Kendali Ahli Gizi

- Ahli gizi kalah suara dengan tim non-gizi dalam program MBG di Cirebon
- Tenaga gizi terbatas dan pengawasan lemah terhadap ratusan dapur pelaksana MBG
- Menu MBG dikeluhkan orangtua murid karena tidak memenuhi kriteria makanan bergizi seimbang
Cirebon, IDN Times - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Cirebon menuai kritik karena dinilai belum melibatkan ahli gizi secara maksimal dalam sistem pelaksanaannya. Padahal, posisi tenaga gizi seharusnya menjadi tulang punggung dalam menjamin kesesuaian menu dengan kebutuhan nutrisi peserta didik.
Sekretaris Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Kabupaten Cirebon, Musrifah mengungkapkan, peran ahli gizi di lapangan masih terbatas pada aspek administratif.
“Kehadiran ahli gizi memang ada, tapi sejauh ini belum diberdayakan secara optimal. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar difungsikan sesuai kompetensinya?” ujarnya di Cirebon, Selasa (28/10/2025).
Musrifah menyebut sebagian besar ahli gizi yang ikut dalam program merupakan lulusan baru atau fresh graduate yang belum terbiasa menangani program gizi berskala besar. Kondisi tersebut membuat banyak keputusan teknis akhirnya didominasi oleh tim non-gizi.
1. Kalah suara dari pihak non-gizi

Menurut Musrifah, struktur pelaksana program MBG di lapangan kerap menempatkan ahli gizi sebagai pihak pendukung, bukan pengambil keputusan utama.
“Ahli gizi seringkali kalah suara dengan tim dapur atau mitra eksternal, seperti yayasan penyedia bahan pangan. Usulan mereka tentang menu sering tidak diakomodasi,” jelasnya.
Ia mencontohkan, dalam banyak kasus, menu yang telah dirancang sesuai standar gizi tidak sepenuhnya diikuti di lapangan.
Musrifah menegaskan keilmuan gizi seharusnya menjadi acuan utama dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar formalitas.
“Kalau pendekatannya hanya logistik dan efisiensi biaya, tujuan edukasi gizinya akan gagal. Misalnya, sudah disusun menu ayam dengan gramasi tertentu, tapi yang disajikan tidak sesuai standar. Akibatnya, ada kesenjangan antara perencanaan dan realisasi,” tambahnya.
2. Tenaga gizi terbatas, pengawasan lemah

Selain persoalan fungsi, Musrifah menyoroti keterbatasan jumlah ahli gizi dibandingkan dengan banyaknya dapur pelaksana MBG yang tersebar di Kabupaten Cirebon.
“Sekarang saja sudah ratusan dapur yang beroperasi, dan kabarnya akan mencapai 179 unit. Kalau tidak dibarengi peningkatan tenaga gizi, bagaimana mungkin pengawasan berjalan efektif?” katanya.
Kondisi itu dikhawatirkan akan menurunkan kualitas makanan bergizi yang dibagikan ke anak-anak sekolah.
Ia menegaskan, tenaga gizi tidak boleh hanya ditempatkan di tahap awal, tetapi harus ikut mengawasi hingga proses penyajian.
Musrifah menilai pemerintah daerah harus memastikan sistem MBG benar-benar berpihak pada prinsip keilmuan gizi, bukan hanya pelaksanaan administratif.
“Program ini bagus, tapi harus dibenahi dari dalam,” ujarnya.
3. Menu MBG dikeluhkan orangtua murid
Kritik serupa datang dari kalangan orangtua siswa di Kecamatan Talun, Cirebon. Mereka menilai menu yang disajikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak memenuhi kriteria makanan bergizi seimbang.
Menu yang dibagikan kepada siswa antara lain biskuit gandum kemasan, donat, susu UHT, dan pisang.
“Saya kira anak-anak akan dapat makanan yang dimasak, seperti nasi dan lauk pauk. Tapi ternyata hanya jajanan manis dan kemasan. Ini bukan makanan bergizi,” ujar salah satu orang tua murid yang enggan disebut namanya, Senin (27/10/2025).
Beberapa orangtua bahkan mengaku anak mereka enggan menghabiskan makanan tersebut. “Donatnya keras, biskuitnya terlalu manis, akhirnya dibuang,” kata seorang ibu rumah tangga.
Mereka juga mempertanyakan transparansi pengadaan bahan makanan. “Kalau makanan berasal dari pabrikan, siapa penyedianya dan apakah sudah diuji kandungan gizinya?” ucap seorang wali murid yang aktif di komite sekolah.
















