Mereka di Cirebon yang Ubah Lapak Sederhana jadi 'Ladang Emas'

Cirebon, IDN Times - Senja di Cirebon datang perlahan, membentangkan langit jingga yang berpadu dengan gemerlap lampu jalanan. Jalanan mulai riuh oleh deretan gerobak dan meja kayu sederhana, masing-masing menyajikan aneka hidangan yang menggoda selera.
Udara dipenuhi aroma manis kolak bercampur dengan gurihnya gorengan yang baru diangkat dari wajan panas. Bagi sebagian orang, Ramadan adalah bulan suci untuk memperbanyak ibadah.
Lebih daripada itu, bagi para pedagang kecil di sudut-sudut kota, Ramadan juga ialah masa panen rezeki, waktu di mana jerih payah mereka berlipat ganda dalam semarak berbuka puasa.
1. Dapur yang menjadi sumber penghidupan

Di sebuah sudut di Jalan Fatahillah, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, seorang perempuan dengan tangan terampil mengaduk panci besar yang mengepul. Rini (36 tahun), perempuan sederhana dari Plumbon, tak pernah absen membuka lapaknya setiap Ramadan.
Selama lebih dari sepuluh tahun, ia berdiri di tempat yang sama, menjajakan kolak pisang dan biji salak buatannya. Setiap sore, sejak pukul setengah empat, ia mulai menggelar dagangannya. Tak butuh waktu lama, lebih dari 200 bungkus kolak dan 100 botok roti lenyap dibeli pelanggan.
Namun, di balik kesuksesan sederhananya, ada rutinitas yang melelahkan. Pagi hari dimulai dengan suaminya mengupas pisang dan mengukus ubi, sementara Rini sibuk memasak.
Anaknya turut membantu mengemas dan menata jualan di meja kayu tua, saksi bisu perjuangan mereka. Setiap hari, penghasilannya mencapai Rp1,2 juta, dan dalam sebulan penuh Ramadan, omzetnya bisa menyentuh angka Rp35 juta, jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan hari-hari biasa.
"Bukan Ramadan kalau tidak jualan takjil," kata Rini di lapaknya, Rabu (5/3/2025).
Kolak dan botok buatannya bukan hanya mengisi meja-meja berbuka di rumah-rumah warga. Pesanan datang dari berbagai tempat, mulai dari perkantoran, perusahaan, hingga majelis taklim di masjid-masjid sekitar.
Tanpa perlu promosi besar-besaran, kelezatan masakannya sudah berbicara sendiri, menyebar dari mulut ke mulut.
2. Ramadan dan kisah kudapan tradisional

Sementara di sisi lain kota, di Kecamatan Sumber, seorang pria muda tampak sibuk melayani pembeli. Agus Gani (29) berdiri di belakang meja kayunya, di mana aneka kudapan tradisional tertata rapi—dari sambel asem, bihun goreng, hingga rujak game yang segar menggugah selera.
"Bulan ini beda. Jualan baru sebentar, sudah habis," ujarnya, sambil tertawa ringan.
Gani memang sudah terbiasa berjualan makanan, tetapi Ramadan membawa suasana yang berbeda. Jika di bulan biasa ia hanya mengantongi sekitar Rp750 ribu sehari, di bulan puasa penghasilannya naik menjadi Rp1 juta dalam waktu yang lebih singkat.
Jika biasanya ia harus berjualan dari pagi hingga sore, kini hanya dalam beberapa jam sebelum magrib, semua kudapannya sudah ludes terjual.
Di sepanjang jalan dari Kawasan Batik Trusmi hingga Sumber, ratusan pedagang seperti Gani menjajakan aneka hidangan khas Ramadan. Ada es podeng dengan sirup merah yang mencolok, gorengan dengan petis yang menggoda, hingga serabi kuah kinca yang harum semerbak.
Bagi Gani, Ramadan bukan hanya soal mencari keuntungan, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan.
"Saya suka kasih bonus buat pelanggan setia. Kalau lihat ibu-ibu bawa anak kecil, rasanya ingin berbagi lebih, namanya juga berkah Ramadan," katanya.
3. Dapur kecil, rezeki besar

Di sebuah rumah sederhana di Perum Purnama Indah, Kaliwadas, oven kue kering terus berdenting nyaring. Yuyun Yuanita Kasim (37) sedang sibuk memanggang puluhan loyang kue kering yang akan segera dikirim ke pelanggan.
Ramadan adalah masa tersibuk baginya. Sejak sepekan sebelum bulan puasa, ponselnya tak pernah berhenti berdering. Pesanan datang dari berbagai penjuru Cirebon, bahkan hingga ke kota-kota tetangga.
"Dulu cuma buat untuk keluarga. Lama-lama banyak yang suka, jadi keterusan," ujarnya sambil menuangkan adonan ke dalam loyang.
Kini, usaha kecilnya yang diberi nama AMK telah berkembang. Dalam satu bulan Ramadan, ia bisa menjual hingga 200 toples kue kering. Semua masih dibuat di rumah, dibantu suami yang bertugas mengemas dan mengantarkan pesanan.
Berbeda dengan Rini dan Gani yang berjualan di lapak, Yuyun mengandalkan sistem pre-order. Sejak jauh hari, pelanggan harus melakukan pemesanan karena produksinya terbatas.
"Kalau pakai oven kecil begini, sehari paling bisa bikin 20 toples. Makanya harus pre-order biar pelanggan gak kecewa," ujarnya.
Tak hanya kue kering seperti almond pastry, choco pastry, dan brownies sekat, Ramadan ini ia juga menerima banyak pesanan roti unyil. Kudapan mungil ini sering dipesan untuk takjil di masjid-masjid sekitar Sumber.
Dengan harga terjangkau, tak heran jika dagangannya selalu laris. "Bersyukur, kalau bukan Ramadan, saya gak mungkin bisa produksi sebanyak ini," katanya, dengan mata berbinar.
Ramadan selalu membawa warna berbeda di Cirebon. Di setiap sudut kota, dapur-dapur sederhana berubah menjadi sumber penghidupan. Di warung kecil, di pinggir jalan, atau di rumah-rumah yang mendadak menjadi pabrik kue dadakan, semua orang merasakan berkahnya masing-masing.
Bagi Rini, Ramadan adalah kesempatan untuk membawa kesejahteraan bagi keluarganya. Bagi Gani, ini adalah momentum untuk menikmati senyum pelanggan yang puas. Dan bagi Yuyun, ini adalah waktu di mana dapurnya yang mungil bisa menghasilkan rezeki besar.
Saat azan magrib berkumandang, para pedagang mulai menutup lapaknya dengan lega. Rezeki hari itu sudah mereka dapatkan. Esok, mereka akan kembali, mengulang perjuangan yang sama, menjemput berkah berulang.
Sebab di Cirebon, Ramadan bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang kerja keras, keberkahan, dan kehangatan berbagi.