Dinilai Tak Sesuai Putusan MK, Buruh Jabar Tolak RPP Pengupahan

- Buruh di Jawa Barat menolak RPP perubahan kedua PP nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan karena tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
- Salah satu alasan penolakan adalah isi RPP yang membatasi kenaikan upah minimum dengan indeks tertentu, padahal menurut MK Alfa harus menggambarkan kebutuhan hidup layak.
- Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat menyatakan belum ada informasi terbaru tentang penetapan UMP 2026.
Bandung, IDN Times - Organisasi buruh di Jawa Barat menyatakan sikap menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) perubahan kedua PP nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan. Peraturan yang nantinya dijadikan dasar penentuan UMK/UMP dan upah sektor ini diyakini tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Salah satu organisasi buruh yang menolak yaitu, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Jawa Barat. Mereka menolak peraturan tersebut jadi dasar untuk penetapan upah 2026.
"Setelah mempelajari isi RPP itu, kami menyatakan menolak RPP tersebut, karena seharusnya sesuai perintah putusan MK 168 tahun 2024, pemerintah harus membuat UU ketenagakerjaan yang baru," ujar Ketua DPD KSPSI Jabar, Roy Jinto Ferianto, Senin (17/11/2025).
1. Jika masih pakai aturan lama upah akan kecil

Roy menilai, pemerintah seharusnya membuat peraturan perundang-undangan yang baru terlebih dahulu, sebelum membuat RPP itu. Kemudian, isi dalam RPP tersebut masih membatasi kenaikan upah minimum dengan indeks tertentu dengan simbol @ (Alfa) dibatasi dari 0,20 sampai dengan 0,70.
"Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi plus inflasi dikali alfa hasilnya akan kecil, sedangkan putusan MK Alfa adalah kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota masing-masing," katanya.
2. Upah harus mempertimbangkan hidup layak

Menurutnya, nilai alfa tidak dibatasi dan harusnya diserahkan kepada dewan pengupahan kabupaten/kota atau provinsi untuk menentukan besarnya. Karena kondisi kebutuhan hidup dari setiap daerah pun berbeda-beda.
"Dan upah minimum berdasarkan putusan MK, harus menggambarkan kebutuhan hidup layak," katanya.
Sementara, dalam draf RPP itu memuat syarat dan ketentuan yang rumit dalam menetapkan upah minimum sektoral seperti harus minimal dua perusahaan sejenis, harus ada kesepakatan hingga hanya untuk pekerjaan yang beresiko tinggi.
"Gubernur juga diberikan untuk mengevaluasi usulan/rekomendasi dewan pengupahan kabupaten/kota terkait upah minimum sektoral kabupaten/kota, dengan kata lain Gubernur bisa tidak menetapkan, walaupun ada usulan dari kabupaten/kota," ucapnya.
"Oleh karena itu kami menolak RPP pengupahan tersebut dan menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 paling sedikit 8,5 persen," kata Roy.
3. Pemprov Jabar masih menunggu kabar pemerintah pusat

Sementara, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat, Firman Desa mengatakan mengatakan hingga saat ini belum ada informasi terbaru tentang penetapan UMP 2026.
Meski begitu, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan, UMP harus sudah tetapkan paling lambat 21 November. "Nah, sampai hari ini kami belum mendapatkan informasi ataupun regulasi yang akan turun dari pemerintah pusat," ujar Firman.
Adapun nantinya, perhitungan kenaikan UMP 2026 akan mengacu pada regulasi yang dikeluarkan Pemerintah pusat.
"Apakah itu (regulasinya) dapat mengakomodir tuntutan teman-teman serikat atau tidak, ya tergantung regulasinya," ucapnya.


















