Persagi Cirebon Kritik Tajam Nalar Cucun Soal SPPG Tanpa Ahli Gizi

- Keterbatasan SDM bukan alasan menurunkan standarSartono akui kekurangan ahli gizi, namun pemerintah perlu memperkuat tata kelola dan rekrutmen tenaga gizi tanpa mengorbankan standar.
- Belum ada regulasi final dengan BGNPemerintah belum membuat MoU resmi dengan Badan Gizi Nasional (BGN), tetapi Persagi menilai alasan tersebut tidak relevan.
- Persagi ajak pemerintah jaga mutu layanan giziSartono mengajak pemerintah daerah dan pusat tetap berkomitmen menjaga mutu layanan gizi, terutama dalam program Makan Bergizi Gratis.
Cirebon, IDN Times - Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Kabupaten Cirebon menyayangkan pernyataan anggota DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang menyebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis tidak harus melibatkan tenaga ahli gizi.
Pernyataan tersebut dinilai menyesatkan karena memunculkan kesan kompetensi gizi dapat digantikan oleh tenaga nonprofesional yang hanya mengikuti pelatihan singkat beberapa bulan.
Bagi Persagi, pandangan seperti itu berpotensi meremehkan profesi serta mengancam kualitas layanan gizi yang menyasar kelompok rentan.
Ketua Persagi Kabupaten Cirebon, Sartono, menegaskanprofesi ahli gizi dibangun melalui jalur pendidikan formal di perguruan tinggi dan diakhiri dengan ujian profesi nasional yang ketat.
Karena itu, prosesnya tidak bisa disamakan dengan pelatihan 3–6 bulan yang hanya memberikan pemahaman dasar. “Ini soal keselamatan publik, bukan sekadar soal administrasi teknis,” ujarnya, Senin (17/11/2025).
1. Keterbatasan SDM bukan alasan menurunkan standar

Sartono mengakui, secara faktual, jumlah ahli gizi di Kabupaten Cirebon memang belum sebanding dengan kebutuhan SPPG. Namun, ia menegaskan, kekurangan SDM tidak boleh dijadikan alasan untuk menurunkan standar profesional.
Menurutnya, justru dengan kondisi jumlah tenaga terbatas, pemerintah perlu memperkuat tata kelola, mempercepat rekrutmen tenaga gizi, dan menyiapkan skema kolaboratif tanpa mengorbankan standar.
Ia mencontohkan, pada banyak fasilitas SPPG, beban kerja tenaga gizi cukup tinggi karena mereka harus mengawasi pemenuhan nutrisi, menyusun menu aman, melakukan audit kebersihan dapur, hingga memastikan standar keamanan pangan dijalankan dengan benar.
"Kalau semua itu diberikan kepada tenaga yang hanya mendapat pelatihan singkat, risikonya terlalu besar. Kita bicara soal potensi keracunan, kontaminasi, salah takaran gizi, bahkan risiko kesehatan jangka panjang,” kata Sartono.
Menurutnya, kualitas layanan gizi bukan persoalan yang dapat dikompromikan, terlebih setelah muncul kasus keracunan makanan di sejumlah fasilitas SPPG di daerah lain.
Insiden itu, menurut Persagi, seharusnya menjadi pengingat bahwa kompetensi teknis memiliki dampak langsung terhadap keselamatan penerima manfaat.
2. Belum ada regulasi final dengan BGN

Persagi juga menyinggung pernyataan lain yang menyebutkan pemerintah belum membuat MoU resmi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) sehingga standar tenaga SPPG masih terbuka untuk penyesuaian.
Sartono menilai alasan tersebut tidak relevan. Menurutnya, ketidaklengkapan regulasi seharusnya mendorong pemerintah lebih berhati-hati, bukan justru membuka ruang penurunan kualitas tenaga ahli.
Ia menjelaskan, standar profesi ahli gizi sudah diatur melalui undang-undang dan peraturan organisasi profesi. Dengan demikian, keberadaan BGN nantinya seharusnya menguatkan tata kelola, bukan melemahkan fondasi kompetensi yang sudah ada.
“Kita menunggu tata kelola BGN selesai, tetapi sambil menunggu, jangan sampai muncul wacana yang berpotensi membingungkan publik dan merugikan dunia kesehatan,” ujarnya.
3. Persagi ajak pemerintah jaga mutu layanan gizi

Mengakhiri keterangannya, Sartono mengajak pemerintah daerah dan pusat tetap berkomitmen menjaga mutu layanan gizi, terutama dalam program Makan Bergizi Gratis yang menyasar jutaan anak dan kelompok rentan.
Menurutnya, kualitas gizi merupakan investasi kesehatan jangka panjang dan tidak boleh diatur berdasarkan kompromi politis.
Ia juga meminta para pemangku kebijakan untuk menahan diri dari pernyataan yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan. “Kami menghormati proses legislasi, tetapi standar gizi adalah soal ilmu, bukan opini. Ahli gizi tidak bisa digantikan,” tegasnya.
Sebelumnya, Pernyataan anggota DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal soal Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memicu kontroversi setelah ia menyebut pemenuhan gizi dalam program Makan Bergizi Gratis tidak harus melibatkan tenaga ahli gizi profesional.
Ia menilai fungsi pengawasan gizi dapat dijalankan oleh tenaga nonprofesional yang memperoleh pelatihan singkat, bahkan oleh lulusan SMA yang dinilai cakap mengelola kebutuhan dasar gizi.
Sikap tersebut bertolak belakang dengan pandangan banyak pihak yang memandang kehadiran ahli gizi sebagai komponen penting untuk memastikan standar keamanan pangan, kualitas nutrisi, serta pencegahan risiko kesehatan bagi penerima manfaat program.
Kontroversi semakin menguat karena pernyataan itu tercetus di tengah sorotan terhadap kasus keracunan pangan di sejumlah fasilitas SPPG, yang justru mempertegas urgensi kompetensi teknis dalam pengelolaan menu dan pengawasan higienitas.
Meski demikian, Cucun berargumen proses pengambilan keputusan di tingkat legislatif memungkinkan perubahan nomenklatur dan standar tenaga gizi, sehingga membuka ruang bagi model pengawasan yang lebih fleksibel.


















