Unpad Gandeng Lembaga Internasional Ajak Peneliti Kendalikan Dampak Buruk Merokok

- Pengendalian rokok memerlukan pendekatan inovatif
- Ilmuan lokal harus berkontribusi dalam penelitian dan implementasi pendekatan ilmiah dan medis
- Angka perokok Indonesia capai 70 juta orang, memerlukan langkah serius dari pemerintah dan masyarakat
Bandung, IDN Times - The Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR) bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) menggelar Asia-Pacific Conference on Harm Reduction. Konferensi ini menjadi forum strategis dalam memperkuat kolaborasi internasional guna mendorong pendekatan pengurangan bahaya (harm reduction) dan kebijakan berbasis bukti ilmiah sebagai upaya pengendalian dampak merokok.
Wakil Rektor Bidang Riset, Kerja Sama, dan Pemasaran Unpad, Prof. Rizki Abdulah mengatakan, kerja sama ini menjadi langkah penting dalam membangun jejaring riset internasional serta memperkuat peran aktif akademisi dalam merumuskan kebijakan kesehatan masyarakat yang berbasis bukti ilmiah. Menurut dia, kolaborasi lintas negara yang terbangun melalui forum ini tidak hanya memperkaya perspektif ilmiah, tetapi juga membuka peluang untuk menciptakan inovasi kebijakan yang lebih adaptif dalam pengendalian dampak merokok.
“Indonesia, seperti banyak negara lain di kawasan Asia, saat ini berada pada titik kritis dalam pengendalian tembakau. Maka dari itu, kita memerlukan pendekatan berbasis bukti yang kuat, agar kebijakan publik yang dihasilkan memiliki fondasi yang kokoh dan berdampak nyata,” ujar Prof. Rizki, Minggu (15/6/2025).
1. Pengendalian rokok tidak bisa sekedar metode konvensional

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Unpad, Prof. Amaliya menyebut penerapan pendekatan inovatif dalam mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia sudah sangat dibutuhkan. Upaya pengendalian merokok tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode konvensional, tapi harus didukung hasil riset terkini, strategi harm reduction yang berbasis bukti, serta kolaborasi multidisipliner yang melibatkan akademisi, tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, hingga komunitas.
“Indonesia masih berada di posisi ketiga tertinggi dalam jumlah perokok di dunia. Konferensi ini menjadi kesempatan kita untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, serta menyampaikan gambaran komprehensif dari temuan dan penelitian terbaru tentang merokok dan strategi harm reduction," kata dia.
Tujuan kerja sama ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan implementasi pendekatan ilmiah dan medis dalam menangani persoalan merokok.
2. Ilmuan lokal harus berkontribusi

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dari Universitas Catania, Italia, sekaligus pendiri CoEHAR, Prof. Riccardo Polosa, menekankan pentingnya sinergi antara upaya berhenti merokok dan pendekatan harm reduction sebagai dua pilar yang saling melengkapi. Menurutnya, upaya berhenti merokok dan harm reduction bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang saling terintegrasi.
"Tidak ada gunanya memperdebatkan hal-hal kecil yang justru menghambat kemajuan kita dalam upaya pengurangan dampak buruk dari merokok. Kita harus bekerja sama karena tujuannya sama, menyelamatkan nyawa dan membantu mereka yang masih merokok,” jelasnya.
Konferensi ini juga menjadi panggung untuk mempresentasikan berbagai proyek kolaboratif antara Universitas Padjadjaran dan Universitas Catania, salah satunya adalah Replica Project. Selain itu, diluncurkan pula program Talent Research Award sebagai bentuk dukungan terhadap kemandirian ilmiah peneliti muda di negara berkembang.
Program ini menjadi manifestasi dari visi CoEHAR untuk membina dan memberdayakan ilmuwan lokal agar mampu memimpin riset berstandar global secara mandiri.
“Kami percaya bahwa sains menawarkan solusi nyata. Namun, untuk mengubah sains menjadi dampak nyata bagi masyarakat, kita butuh regulasi yang progresif, kebijakan yang inklusif, dan strategi terpadu yang menyatukan bidang kesehatan, pendidikan, dan inovasi,” ujar Prof. Polosa.
3. Angka perokok Indonesia capai 70 juta orang

Indonesia menghadapi krisis perokok aktif, sekitar 70 juta orang, termasuk 7,4 persen remaja usia 10–18 tahun. Tanpa langkah serius, WHO memproyeksikan prevalensi merokok akan meningkat menjadi 37,5 persen pada 2025, memperburuk beban kesehatan dan ekonomi nasional.
Sebagai respons, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), bersama Kenvue, dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), secara resmi meluncurkan Gerakan Berhenti Merokok untuk Indonesia Sehat bertepatan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau. Kampanye ini bertujuan mendorong perokok untuk berhenti merokok melalui pendekatan berbasis bukti ilmiah, seperti penggunaan Terapi Pengganti Nikotin (Nicotine Replacement Therapy/NRT).
Meskipun prevalensi merokok secara persentase menurun, jumlah absolut perokok justru meningkat, terutama pada kelompok usia di atas 15 tahun dan perokok pemula. Pengguna rokok elektronik juga meningkat 10 kali lipat pada 2023. Pemerintah terus berupaya melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok melalui berbagai inisiatif, mulai dari penerapan Kawasan Tanpa Rokok hingga penyediaan layanan konseling berhenti merokok. Namun, upaya ini memerlukan dukungan lintas sektor.
"Gerakan berhenti merokok yang didukung komunitas, masyarakat, dan sektor swasta akan memperkuat perlindungan terhadap generasi muda kita,” ujar Siti Nadia Tarmizi, Direktur Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan RI dikutip dalam keterangan tertulis.
Paparan terhadap produk tembakau pada anak kian memprihatinkan, dipicu oleh strategi industri seperti iklan, sponsor, rasa menarik, dan harga murah. Selain menimbulkan dampak kesehatan, rokok juga menjadi beban ekonomi serius: biaya pengobatan akibat rokok mencapai tiga kali lipat dari pendapatan negara dari cukai tembakau.
Sebagai bagian dari strategi nasional, pemerintah telah menerbitkan PP No. 28 Tahun 2024 dan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 yang memperkuat layanan berhenti merokok, termasuk perluasan akses NRT di fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Targetnya, seluruh puskesmas akan memiliki Layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) pada 2029, terintegrasi dengan platform data SatuSehat.