Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Tania Septi, Dosen Muda UPI Usia 25 Tahun dengan Gelar S3

IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times – Menjadi seorang pengajar di dunia pendidikan bukanlah hal mudah. Ilmu yang mumpuni menjadi syarat agar pendidik tersebut mampu memberikan pengetahuan secara baik kepada anak didiknya. Di pendidikan tinggi, pengajar bahkan harus menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar dan mendapatkan berbagai gelar pendidikan agar bisa menjadi tenaga pendidik.

Namun, jalan terjal itu mampu dilalui Tania Septi Anggraini. Perempuan 25 tahun ini sekarang sudah menjadi dosen muda di Program Studi Sains Informasi Geografi (SaiG) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).  Sebelum mengajar di UPI, Tania telah menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Geodesi dan Geomatika ITB (2017-2021) dan S2 Teknik Geodesi dan Geomatika ITB (2021-2022).

Selain itu, dia juga sudah menuntaskan pendidikan S3 di ITB pada Maret 2025 lalu dan juga segera menyelesaikan pendidikan di Chiba University (Jepang) pada tahun ini.

IDN Times berkesempatan berbincang dengan Tania di Kampus UPI di sela-sela waktu mengajarnya. Berikut cerita Tania yang sedari kecil senang mengajar hingga sekarang menjadi dosen.

Terinspirasi mengajar dari guru fisika di SMA

IDN Times/Debbie Sutrisno

Dia menceritakan, kesukaannya pada mengajar berawal ketika dia belajar fisika di bangku sekolah menengah atas (SMA). Saat itu sang guru mengajar dengan sangat menyenangkan sehingga ilmu fisika yang biasa membuat pusing siswa, justru bisa dipelajari dengan lebih mudah.

“Kalau ngajar ini tipenya menurunkan rumus, jadi bukan tipe pakai rumus saja. Kita belajar pakai papan tulis menurunkan rumus (fisika), ga sekedar pakai rumah ini, atau itu. Pas ujian juga kita diminta menjelaskan rumus di papan tulis secara lisan ke teman-teman,” ungkap Tania.

Pada mata pelajaran ini Tania mendapat apresiasi atas apa yang dia kerjakan. Suatu waktu, saat guru fisika ini tidak dapat hadir ke kelas, Tania pun diminta untuk menggantikannya mengajar dengan cara yang mirip dilakukan sang guru. Dari pengalaman ini, perempuan sempat bersekolah di Lampung tersebut merasakan kesenangan dalam mengajar.

Ilmu yang dari berbagai mata pelajaran kemudian dia ajarkan kepada teman-teman lain ketika hendak ujian saringan masuk bersama perguruan tinggi negeri (SBM-PTN). Hampir setiap akhir pekan rumahnya membuka pintu untuk teman kelas datang dan belajar bersama.

“Jadi belajar bareng. Kita bawa makanan, ngumpul di rumah saya,” ungkapnya.

Sering memberikan pelajaran kepada teman-temannya, Tania merasa bahwa dia cocok untuk menjadi seorang pengajar dan terpikirlah menjadi seorang dosen di perguruan tinggi. Demi cita-cita itu, Tania juga menjadi pengajar saat lulus di kampus ITB.

Dia memberikan belajar privat untuk mata pelajaran fisika dan matematika mulai dari SMP hingga SMA.  Tak hanya itu, Tania juga sempat mengajar untuk siswa yang akan ikut olimpiade hingga mereka yang kan seleksi masuk PTN.

“Ngajarnya banyak tempat ga hanya di Kota Bandung tapi sempat sampai Cimahi sama Bekasi juga. Jadi ngajar pas akhir pekan begitu. Tapi ga lama saya berhenti kalau ke Bekasi karena capek keliling-keliling,” kata dia.

Semua ini dilakukan Tania dari awal kuliah hingga lulus S1, di mana dia juga sedang mengambil perkuliahan bersamaan untuk S2 di ITB melalui program Percepatan S1-S2 (Fasttrack). Meski pendapatannya lumayan tinggi untuk seorang mahasiswa, dia mengaku harus mengorbankan waktu istirahat di mana sehari hanya tidur tiga sampai empat jam saja.  

Kuliah teknik di ITB atau tidak sama sekali

IDN Times/Debbie Sutrisno

Sedikit kilas balik ke masa SMA, sebagai anak perempuan Tania cukup mendapat proteksi ketat dari kedua orangtuanya. Dalam pendidikan pun, dia awalnya dilarang untuk masuk ke jurusan teknik apapun. Tania pun diarahkan untuk masuk ke jurusan yang berkaitan dengan biologi termasuk agar bisa belajar di kedokteran ketimbang mendalami ilmu fisika matematika yang selama ini dia senangi.

Padahal pada mata pelajaran Biologi nilai Tania kerap jelek dibandingkan dengan fisika atau matematika. Harapan agar bisa masuk ke jurusan teknik di PTN pun dia pendam sejak kelas  1 hingga kelas 2 SMA. Hingga akhirnya saat kelas 3 SMA, Tania coba berdiskusi lagi dengan orang tua mengenai apa yang dia inginkan.

“Saya coba buktiin lah dengan banyak ikut lomba fisika sama matematika biar menang dulu. Ikut juga lomba cerdas-cermat, dan menang pulang dapat banyak piala, banyak sertifikat,” ungkapnya

“Tuh Mah aku itu di matematika, fisika, bukan biologi. Kalau jadi dokter nanti malah jadi mal-praktik bagaimana,” lanjut Tania menceritakan obrolan saat dulu.

Ketakutan orang tua pada anak perempuannya yang ingin mengambil jurusan teknik juga karena sang ibu dulu menamatkan sekolah menengah kejuruan (SMK) di bidang teknik elektro.  Ibunya Tania tidak bisa kuliah karena keterbatasan biaya pada saat itu dan akhirnya juga tetap sulit dapat kerja karena perempuan di bidang teknik dulu dianggap sebelah mata. Padahal ibunya Tania dulu masuk dalam kategori anak pandai dengan hasil nilai sekolah bagus.

Demi meloloskan niatnya, Tania sampai meminta bantuan guru fisikanya untuk menjelaskan tentang kemampuan muridnya tersebut yang lebih condong pada mata pelajaran teknik ketimbang biologi. Obrolan tersebut berujung pada izin bagi Tania untuk bisa masuk ke PTN yang memiliki jurusan teknik.

“Akhirnya boleh, tapi dengan satu syarat. Tania hanya boleh masuk ke teknik di kampus ITB. Syarat itu keluar karena kata mama kalau perempuan lulusan teknik tapi dari kampus terbaik pasti tetap akan dihargai (oleh perusahaan),” kata dia.

Tania lantas ikut ujian seleksi masuk seperti anak SMA lainnya agar bisa masuk ke PTN. Dia memilih ITB sebagai harga mati. Namun, dalam hati Tania memastikan kalau dia tidak lolos ITB maka tidak akan kuliah dulu setahun dan ikut ujian di tahun berikutnya agar tetap bisa masuk Kampus Ganesha.

Tarik ulur tuntaskan kuliah atau jadi dosen

IDN Times/Debbie Sutrisno

Menjalankan perkuliahan fast track (jalur cepat) antara S1 dan S2 hingga selesai pada 2022 nyatanya tak membuat Tania berpuas diri. Pada tahun itu kampus ITB sedang mencari kandidat yang bisa diikutsertakan dalam program double degree (gelar ganda) bersama Chiba University untuk pertama kalinya. Sebagai asisten akademik di ITB, Tania pun ditunjuk agar bisa ikut program ini padahal saat itu dia juga belum lulus secara administrasi dari S2 ITB.

Namun, karena tesis serta perkuliahan sudah diselesaikan dan tinggal menunggu waktu sidang, pembimbingnya kala itu memberikan kemudahan agar Tania tetap bisa segera mengajukan untuk kuliah S3 di ITB dan Chiba. “Awalnya memang dipaksa oleh kampus, tapi karena saya juga ada ketertarikan untuk jadi dosen ya sudah mau ga mau kan harus S3, itu peluang dan saya ambil,” ungkap Tania.

Setelah mendapatkan izin, Tania pun kemudian berangkat ke Jepang untuk berkuliah di sana. Tiga semester menuntut ilmu, dia tertarik untuk mendaftar saringan masuk calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diselenggarakan pada 2023. Berbekal ilmu yang dimiliki, Tania ikut secara daring semua tahapan seleksi hingga akhirnya diterima sebagai kandidat dosen di UPI.

Sayang, lolosnya Tania justru sempat menjadi persoalan tersendiri karena perkuliahan di Chiba University yang pada saat pertengahan tahun 2024 masih berada di Semester 4. Sedangkan panitia CPNS memintanya untuk segera pulang ke Indonesia dan mengikuti kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, di mana saat calon ASN tidak hadir maka dianggap mengundurkan diri dan akan menjadi catatan hitam di kementerian.

“Sempat ga diizinin orang tua juga CPNS karena ya fokus saja dulu kuliah. Tapi pembimbing saya hubungi orang tua dan bilang bahwa kesempatan ini bisa diambil karena jarnag banget bukaan dosen CPNS dan pas ada di Bandung,” kata Tania.

Dia sempat kebingungan bagaimana menyelesaikan perkuliahan di Chiba ketika harus tetap berada di Indonesia dan menggapai impiannya sebagai dosen. Setelah berdiskusi dengan banyak pihak, Tania pun mendapat kemudahan dari pembimbing di Chiba University, kalau dia bisa menyelesaikan tugas disertasi dari Indonesia sambil mengikuti kegiatan CPNS yang mewajibkannya hadir secara tatap muka. Akhirnya Tania pun mendapatkan kesempatan untuk mengajar sembari menuntaskan perkuliahan double degree-nya.

Meneliti tentang kualitas udara secara global dengan teknologi geospasial

IDN Times/Debbie Sutrisno

Dalam pendidikan yang ditempuh di dua kampus ini, Tania mengambil penelitian disertasi mengenai pencitraan kualitas udara secara global pada saat pandemik COVID-19. Dari berbagai jurnal yang diberikan oleh pembimbingnya, itu menjadi inspirasi bagi Tania memantau polusi udara melalui satelit.

Penelitian ini sebenarnya sudah pernah dia lakukan untuk skala negara Indonesia saat duduk dibangku S1. Kemudian dilanjutkan dengan pemantauan serupa pada S2 untuk area Asia Tenggara, dan puncaknya dia ingin mengetahui kondisi kualitas udara di seluruh dunia dalam penelitian sebagai mahasiswa S3.

“Dari sini kita bisa tahun trennya seperti apa di sebuah negara atau kawasan. Misal di Cina ini ada penurunan polusi udara yang memperlihatkan bahwa mitigasi negara tersebut lebih bagus dibandingkan negara-negara lain yang kontur negaranya mirip,” papar Tania.

Penelitian ini pun coba dikerjasamakan dengan pemerintah di mana fokusnya adalah risiko pada kesehatan dengan persoalan kualitas udara. Sebab, udara yang buruk kualitasnya menimbulkan risiko paling berbahaya pada orang tua khususnya lansia, dan anak di bawah lima tahun.

Dengan hasil pencitraan yang ada, Tania coba memberikan masukan mengenai mitigasi apa yang paling pas di negara tersebut karena setiap negara punya karakteristik berbeda-beda yang bisa menimbulkan polusi udara, termasuk adaptasi manusianya pada kondisi udara tertentu. Dia berharap penelitian yang dilakukan bisa memberikan dampak positif pada cara suatu negara memitigasi kondisi polusi udara yang bisa berakibat fatal pada masyarakatnya.  Tak hanya itu, penelitian ini juga dilakukan untuk menunjukkan pemanfaatan teknologi satelit pada aspek lingkungan lainnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us