Perda KTR Jabar Diharap Perhatikan Keberlangsungan Pihak Terdampak

Bandung, IDN Times - Pemerintah Jawa Barat telah melakukan pengetatan pengendalian produk tembakau yang didorong Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Namun, di balik itu pemda juga harus memikirkan keberlangsungan banyak pihak yang akan terdampak.
Sebagai salah satu sentra industri pertembakauan di Indonesia, mulai dari petani, pekerja, hingga pelaku UMKM dan pekerja seni di Jawa Barat juga banyak yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.
Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Cimahi, Jawa Barat, Arlan Siddha menekankan bahwa dalam implementasinya, Perda KTR ini harus secara berimbang mengakomodir hak masyarakat yang terdampak salah satunya penyediaan Tempat khusus Merokok (TKM) yang mumpuni.
“Perda ini bukanlah peraturan yang baru, tapi implementasinya harus mengedepankan keberimbangan dan keadilan. Salah satunya harus jelas dalam melaksanakan kewajiban penyediaan TKM ini,” ujar Arlan dikutip dari siaran pers diterima IDN Times, Rabu (5/4/2025).
1. Penyusuan implementasi harus libatkan banyak orang

Arlan berpandangan bahwa dalam penyusunan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia, Mulai dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 hingga turunan teknisnya dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) Produk Tembakau tidak bisa serta merta menyamakan dengan peraturan yang diadopsi oleh negara lain.
Seperti adopsi pasal-pasal FCTC yang merupakan perjanjian internasional yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengatur pengendalian tembakau secara ketat di negeri ini.
“Harus diingat, Indonesia adalah sentra tembakau, yang sudah menjadi warisan dan bagian dari kultur masyarakat. Sehingga dalam proses penyusunan hingga implementasi aturannya harus selalu melibatkan pihak-pihak yang terdampak," paparnya.
Dia berharap, jangan sampai peraturan dibuat justru memakan korban, para pekerja di sektor ini bisa kehilangan pekerjaannya.
2. Fasilitas untuk orang merokok harus disediakan

Sementara itu, salah satu seniman, Ega Cahyar Mulyana menyebut bahwa tembakau berkontribusi besar pada penerimaan ekonomi di daerah dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu peraturan yang berkaitan dengan pertembakauan, harus disusun dengan memikirkan keberlangsungan pihak terdampak.
“Tidak harus serta merta peraturan ini berkaca pada negara-negara asing. Negara-negara tersebut tidak punya pertanian tembakau dan cengkeh sebesar kita. Jangan sama ratakan kondisi (di Jabar) dengan di negara luar. Pertimbangkan situasi di tingkat lokal. Masih banyak persoalan lain, yang lebih butuh yang bisa menjadi perhatian kita bersama,” ujar pendiri Ega.
Dia menilai dalam penegakan aturan tersebut, ketersediaan fasilitas atau Tempat khusus Merokok (TKM) yang laik juga sangat penting. Penerapan aturan juga harus diimbangi dengan fasilitas tempat merokok yang mumpuni dan kedisiplinan dalam menjalankan aturan.
"Perlindungan dan pemberdayaan yang adil dan jujur adalah prioritas dalam implementasi aturan,” kata Ega.
Senada, seniman pantomim Jabar Wanggi Hoed, mengatakan seharusnya yang menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan Perda KTR ini adalah belum terpenuhinya penyediaan tempat merokok yang mumpuni sebagai bentuk pemenuhan hak konsumen.
“Tempat untuk merokoknya saja tidak jelas di mana saja titiknya, ada berapa yang disediakan. Kewajiban penyediaan tempat merokok harus ditekankan. Jangan ujungnya, makin ke sini, implementasi peraturan itu makin rumit dan intimidatif,” ujarnya.
3. Perd KTR bukan berarti menyuruh orang berhenti merokok

Sementara itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat terus mendorong semua gedung, baik gedung milik instansi pemerintah, BUMN maupun swasta, untuk optimal menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jabar, dr. Rochady Hendra Setya Wibawa mengatakan, saat ini keberadaan KTR di Jawa Barat sangat diperlukan untuk memberikan tempat kepada mereka yang biasa merokok.
'Keberadaan KTR penting untuk ikut menekan angka perokok di Jawa Barat," kata Rochady beberapa waktu lalu
Rochady mengakui bahwa keberadaan KTR saat ini masih belum efektif, terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang merokok di sembarangan tempat.
"KTR efektivitasnya masih rendah, makanya kita kembali melakukan sosialisasi. Ke depan diperlukan satgas khusus untuk menguatkan aturan ini. KTR itu bukan berarti menyuruh orang berhenti merokok," imbuhnya.
Rochady menegaskan bahwa keberadaan KTR bertujuan agar para perokok, baik dengan rokok biasa maupun vape, tidak merokok di dalam ruangan tertutup. Karena di ruangan tertutup itu banyak orang, termasuk yang tidak merokok, anak-anak, dan masyarakat umum.
"Jadi ini bukan soal melarang merokok, tetapi menyediakan tempat khusus untuk merokok. Kalau untuk usaha berhenti merokok, tempatnya di puskesmas," tuturnya.
Seperti diketahui, saat ini angka perokok di Jawa Barat masih menjadi yang tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki angka perokok anak tertinggi. Anak usia 15-19 tahun yang merokok mencapai sekitar 20 persen. Bahkan, survei tersebut mencatat sebanyak 75 persen anak usia 15-9 tahun di Jawa Barat pernah mencoba merokok.