Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ojol Sampaikan Kritik, Modantara Berpihak Pada Realitas

Aksi driver ojol di Kantor Gubsu (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Aksi driver ojol di Kantor Gubsu (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Bandung, IDN Times - Aksi demonstrasi yang dilakukan ojek online pada 20 Mei 2025 menjadi pengingat bahwa sektor mobilitas dan pengantaran digital adalah bagian vital dari kehidupan masyarakat modern. Setidaknya, hal tersebut yang menjadi kesimpulan bagi asosiasi Modantara (Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia).

Wacana pemaksaan komisi 10 persen dan reklasifikasi mitra menjadi pegawai tetap bukan hanya berisiko, namun bisa menghentikan denyut ekonomi digital Indonesia. Menyikapi hal ini, Modantara menegaskan posisi industri secara lugas, adil, dan berbasis kepentingan jangka panjang.

“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi, bukan sekadar wacana politik. Ekosistem ini terbukti jadi bantalan sosial saat krisis, oleh karenanya kebijakan yang mengaturnya harus berpijak pada data dan mempertimbangan dampak jangka panjang,” ujar Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, dalam siaran pers yang diterima IDN Times pada Kamis (22/5/2025).

1. Komisi 10 persen bukan solusi universal

GoSend (Dok. Gojek)
GoSend (Dok. Gojek)

Menurut Agung, komisi tidak bisa diseragamkan seperti tarif parkir. “Industri ini bergerak dinamis dan bertumbuh tanpa aturan yang kaku dan seragam,” ujarnya.

Batasan atas 10 persen komisi platform akan memaksa beberapa platform untuk mengubah model bisnisnya secara sangat signifikan dan mendadak. Wacana ini terdengar sederhana namun efeknya bisa kompleks, sistemik, dan mengancam kestabilan ekonomi.

Setiap platform memiliki model bisnis yang berbeda dengan tawaran komisi yang berbeda-beda, menyesuaikan dengan segmentasi layanan, target pasar, inovasi teknologi, dan kebutuhan mitra. Dengan begitu, mitra memiliki pilihan untuk memilih layanan dengan platform fee sesuai kebutuhan tanpa harus memaksa penyeragaman.

Sederhananya, kata Agung, pemaksaan komisi tunggal dapat menghambat inovasi layanan dan program pemberdayaan mitra; mengancam keberlangsungan layanan, khususnya di area dengan margin rendah; hingga mendorong efisiensi berlebihan yang berdampak ke kualitas pelayanan konsumen.

Di sisi lain, gagasan menjadikan seluruh mitra pengemudi sebagai karyawan tetap mungkin terdengar mulia, tapi realita di lapangan berkata lain. Jika skema reklasifikasi mitra diberlakukan, data menunjukkan lebih dari 1,4 juta pekerjaan bisa hilang, dan PDB Indonesia berisiko turun hingga 5,5 persen.

Berdasarkan kajian dan pengalaman internasional, pengubahan status mitra menjadi karyawan penuh waktu secara massal berpotensi menghapus 70–90 persen lapangan kerja di sektor ini; menurunkan PDB hingga Rp178 triliun, dengan potensi 1,4 juta orang kehilangan penghasilan; mengakibatkan kenaikan harga layanan hingga 30 persen (terjadi di Inggris dan Spanyol); hingga memukul keras UMKM yang sangat tergantung pada pengantaran instan.

2. Penyesuaian tarif harus adil, realistis, dan berbasis data, bukan tekanan

ilustrasi rupiah (vecteezy.com/Onyengradar)
ilustrasi rupiah (vecteezy.com/Onyengradar)

Modantara, kata Agung, sejatinya mendukung peningkatan kesejahteraan mitra. Sebab, keberadaan mitra yang sejahtera akan menopang perkembangan industri yang sehat.

Tapi dalam setiap kebijakan yang dibuat, sudah seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempertimbangkan berbagai faktor antara lain daya beli konsumen di berbagai daerah; hingga variasi biaya operasional kendaraan dan kondisi daerah

“Ada juga potensi pengurangan layanan di wilayah non-komersial jika tarif dipaksakan terlalu tinggi,” tutur Agung.

Adapun sektor pengantaran barang dan makanan berbasis digital (on-demand service/ODS) tumbuh di luar kerangka regulasi yang sudah tidak relevan. Saat ini, layanan ini masih berada di bawah payung UU Pos No. 38/2009, sebuah regulasi yang disusun untuk era logistik konvensional--bukan untuk layanan cepat, dinamis, dan berbasis aplikasi seperti sekarang.

“Modantara mendorong peninjauan ulang ekosistem regulasi secara menyeluruh, termasuk kejelasan lintas kementerian dan lembaga yang berwenang,” kata Agung.

Menurutnya, regulasi tarif harus mengakui kenyataan bahwa ODS beroperasi dengan skema kendaraan dan jenis layanan yang beragam, dari sepeda motor hingga van logistik, dengan kompleksitas waktu dan jarak, serta permintaan yang sangat fluktuatif.

3. Pendapatan minimum: baik di atas kertas, berisiko di lapangan

Usai Orasi, Demo Ojol Bubar Tertib (IDN Times/Marcheilla Ariesta)
Usai Orasi, Demo Ojol Bubar Tertib (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Modantara menghargai semangat untuk meningkatkan kesejahteraan mitra. Namun pemberlakuan pendapatan minimum (misalnya setara UMR) tanpa mempertimbangkan dinamika pasar digital berisiko besar.

Menurut Agung, jika begitu, platform akan terpaksa membatasi rekrutmen mitra baru, bahkan mungkin mengurangi jumlah mitra aktif saat ini.

“Biaya layanan juga akan terpaksa naik, membuat pelanggan enggan menggunakan layanan, terutama di daerah dan kota terpencil. Platform juga berpotensi meninggalkan wilayah operasi yang dianggap tidak ekonomis, memperlebar ketimpangan layanan antar daerah alih- alih pendekatan seragam.

Modantara, lanjut Agung, justru mendukung pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif misalnya akses pembiayaan ringan melalui skema UMKM; insentif bebas parkir, pembebasan PPN dan bea masuk onderdil kendaraan; hingga optimalisasi perlindungan sosial lewat BPJS dan pelatihan wirausaha .

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us