Maju Mundur Pembangunan PLTSa Gedebage, Kota Bandung

- Pembangunan PLTSa di Gedebage, Bandung, sudah direncanakan sejak 2012 oleh Wali Kota Dada Rosada.
- Nilai investasi pembangunan PLTSa mencapai USD 90 juta atau sekitar Rp850 miliar dengan kapasitas 700 ton per hari.
- Proyek ini dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha atas prakarsa Badan Usaha dan telah memunculkan masalah hukum serta gugatan dari LSM.
Bandung, IDN Times - Plang bertuliskan Tanah Milik Pemerintah Kota Bandung berjejer di samping area pesawahan arah selatan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Lokasinya berada di Kelurahan Rancanumpang, Kecamatan Gedebage.
Rencananya, area seluas kurang lebih 25 hektare ini akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang sudah digaungkan pada Pemerintahan era Wali Kota Dada Rosada atau sekitar 15 tahun lalu.
Berdasarkan pantauan langsung IDN Times, hampir semua sawah yang berada di dekat Stadion GBLA terdapat plang aset Pemkot Bandung ini. Lokasinya pun sebagian ada yang berdekatan dengan perumahan warga dan ada juga berdekatan dengan Stasiun Whoosh, Tegalluar, Kabupaten Bandung.
Meski begitu, terlihat juga ada bangunan TPS dimana didalamnya dimanfaatkan untuk Magot. Hanya saja, tertutup seng, sesekali ada mobil pengangkut sampah yang masuk. Berdasarkan keterangan petugas parkir di sekitar Gerbang Merah Stadion GBLA, lokasi tersebut benar akan menjadi tempat PLTSa.
1. PLTSa rencananya dibangun di aset milik Pemkot Bandung

Rencana pembangunan PLTSa di Kota Bandung sendiri bergulir sejak 2012, jauh sebelum adanya Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 yang mengharuskan 12 Kota memiliki PLTSa termasuk Kota Bandung.
Saat itu, yang mengusulkan adanya PLTSa di Kota Bandung yaitu Dada Rosada yang merupakan Wali kota, dan rencananya dibangun dari total 25 hekate kawasan Gedebage, 10 hektare akan dijadikan area poyek, rinciannya tiga hektar untuk fasilitas pembangkit, dan tujuh hektar sebagai sabuk hijau.
PLTSa digadang-gadang bisa menghasilkan tenaga listrik di bawah 100 MW. Nilai investasinya pun tak main-main, yakni sebesar USD 90 juta atau sekitar Rp850 miliar. Dengan kapasitas 700 ton per hari, dan listriknya akan dibeli oleh PLN.
Rencana ini pun muncul didasari dari keinginan sang Wali Kota Bandung, Dada Rosada agar punya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sendiri. Karena tempat pembuangan sebelumnya di TPA Leuwigajah terjadi musibah. Ada sebanyak 157 orang meninggal dunia akibat tertimbun longsoran sampah pada 21 Februari 2005.
Adapun proyek ini dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha (KPBU) atas prakarsa Badan Usaha. Karena skema KPBU, proses lelang megacu pada Peraturan presiden No 67/2005 juncto, Peraturan Presiden No 13/2010 Junctio, Peraturan Presiden No. 56/2011.
Selanjutnya, pada 2016 baru lah rencana ini mulai berjalan dimana pada saat lelang di tahun 2013 ada tiga perusahaan yang mendaftarkan lelang, PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), PT Sound Environmental, dan PT CTCI. Proyekini pun dimenangkan oleh PT BRIL.
2. Pengembang bermasalah Perpes juga digugat

Berjalannya waktu, beberapa masalah muncul, sebagian warga Griya Cempaka Arum, LBH Bandung dan beberapa aktivis lingkungan lainnya turut menolak rencana tersebut. Kemudian beberapa LSM lainnya turut menggungat mengenai dasar aturan Perpres nomor 18/2016 untuk pembangunan PLTSa di Bandung dan daerah lainnya itu pun dicabut karena Mahkamah Agung mengabulkan gugatan.
Meski sempat dicabut oleh Mahkamah Agung, kemudian muncul regulasi baru yaitu Perpres No. 35/2018. Di sisi lain untuk di Kota Bandung, pihak ketiga pemenang lelang ini juga tersandung masalah hukum gugatan persekongkolan.
PT BRIL pun menjalani persidangan hingga akhirnya inkrah berdasarkan putusan Mahkamah Agung, dugaan ini tidak terbukti dan perusahaan tersebut hingga kini masih ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Setelah itu, kabar mengenai pembangunan PLTSa Gedebage tidak banyak muncul hingga akhirnya pada 2023, Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna menyatakan proyek ini akan dikaji kembali karena PT BRIL tidak berprogres, Pemkot Bandung sudah bersurat sejak 2022, namun saat itu perusahaan mengakui tengah melakukan reinvestasi, dan memastikan masih menyanggupi.
Hanya saja, prosesnya harus dengan pengawasan dari Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan Bappelitbang, saat itu.
Satu dekade sudah proyek ini belum terlihat progresnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Kota Bandung, Anton Sunarwibowo pun irit bicara saat ditanya mengenai apakah proyek ini akan dilanjutkan pada tahun ini atau tidak.
"Punten (maaf). Sesuai arahan Pak Wali Kota Bandung. Untuk infonya bisa komunikasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Ada Rancangan Perpres yang sedang disiapkan Pemerintah Pusat. Nuhun (terima kasih)," kata Anton saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Kamis (24/7/2025).
3. Proyek mandek selama satu dekade

Dari PT BRIL sendiri diketahui dulunya sudah mengantongi izin Analisis dampak lingkungan (AMDAL). Namun karena sudah 10 tahun yang lalu, Pemkot Bandung berkewajiban untuk mengecek kembali. Bahkan berdasarkan informasi yang IDN Times dapatkan, PT BRIL tengah mengajukan teknologi yang baru.
Titik berat yang kini dihadapi yaitu perusahaan pihak ketiga itu berencana menaikkan tipping fee menjadi Rp700 ribu per ton. Sementara perjanjian awal hanya Rp350 ribu per ton. Hal ini memungkinkan untuk Kota Bandung menghitung lebih jauh dan disesuaikan dengan kapasitas fiskal daerah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Darto mengatakan, sampai saat ini proyek tersebut memang belum diketahui secara pasti progres terbarunya seperti apa. Hanya saja, dirinya membenarkan dulu memang sempat ada masalah hukum, namun kemudian kini sudah selesai.
"Sampai saat ini belum ada arah yang positif terkait apakah akan lanjut atau tidak, tapi kota ini harus membuang sampahnya sendiri sebab kalau tidak ditangani akan jadi masalah," kata Darto saat dikonfirmasi, Kamis (24/7/2025).
"Kita juga mendengar ada kebijakan pemerintah pusat akan menggelar kembali proyek PLTSa versi dari pemerintah pusat. Tapi itu seperti apa kami belum dapat informasi detail."
Disinggung mengenai apakah Kota Bandung membutuhkan PLTSa untuk penanganan sampah. Darto berterus terang, saat ini Pemerintah Kota Bandung tidak berfokus kepada teknologi atau hasil akhir yang digunakan untuk mengelola sampah. Melainkan, pada penanganannya itu sendiri.
"Kami sebenarnya bukan fokus ke pembangkit listrik tenaga sampah, bukan itu. Tapi fokus kita bagaimana menyelesaikan sampah. Jadi yang jadi fokus pemerintah Kota Bandung bagimana menyelesaikan persoalan sampah apakah itu akan jadi RDF, listrik atau jadi pupuk atau jadi apapaun itu bagian dari bonus," katanya.
Kendati begitu, Pemkot Kota Bandung nantinya akan mengikuti kebijakan dari pemerintah pusat, jika diharuskan tetap membuat PLTSa. Hanya saja, selain proyek tersebut kini Kota Bandung juga mendapatkan program dari Kementerian PUPR dimana ada tiga Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dengan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel).
Tiga lokasi ini yaitu, Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Cicukang Holis, TPST Nyengseret, dan TPST Tegallega. Dengan kapasitas total 100 ton per hari. Menurutnya, program seperti ini sudah terbukti mampu menyelesaikan sampah hanya di tempat tanpa harus dikirim lagi ke TPA.
Hanya saja, dengan jumlah konsumsi sampah Kota Bandung per harinya mencapai 1.500 ton. Sehingga belum bisa dikatakan menyelesaikan semuanya. Disinggung mengenai apakah PLTSa nantinya bisa membantu menyelesaikan sisa pengelolaan tersebut, Darto belum bisa memastikan karena belum mengetahui nantinya proyek itu akan berjalan seperti apa.
"Kami belum tahu instalasi berapa, kabarnya satu unit sanggup mengolah sekitar 1.000 ton per hari. Kalau betul bisa selesai sampah di kota Bandung. Tidak perlu ke TPA kalau sidah bisa diolah ditempat apalagi bisa jadi velueabel bararti gak perlu dibuang," kata dia.
4. Optimistis penyelesaian sampah Kota Bandung tidak melulu PLTSa

Setali tiga uang, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan pun memastikan belum mendapatkan kabar pasti kelanjutan dari proyek tersebut, dan akan menunggu terlebih dahulu kabar dari pemerintah pusat. Karena ada informasi pemerintah pusat akan melakukan revisi Perpres 35/2018.
"Kami menunggu kepastian dari Pemprov dan Pemerintah Pusat. Kita menunggu terbitnya revisi Perpres 35/2018," kata Farhan kepada IDN Times.
Disinggung mengenai apakah PLTSa mampu menyelesaikan sampah di Kota Bandung, dengan kondisi tipping fee dan biaya operasional yang tinggi, Farahan memastikan hal itu nantinya akan dikaji oleh pemerintah pusat dan provinsi.
"Kita serahkan kepada Pemerintah Provinsi dan pusat," ucapnya.
Alih-alih fokus terhadap PLTSa, Pemerintah Kota Bandung kini justru tertarik dengan salah satu perusahaan pengolahan sampah asal Tiongkok, Qinglv Environment dimana mereka mampu menyortir 100 ton sampah per hari hanya di lahan seluas 1.600 meter persegi.
Dengan salah satu proyek andalan mereka di Guangzhou hanya membutuhkan lahan 1.600 meter persegi untuk menyortir 100 ton sampah per hari, dengan tingkat pemanfaatan ulang sumber daya mencapai 90 persen.
Sistem yang digunakan juga tidak memerlukan pengeringan, namun tetap butuh proses pembersihan plastik secara menyeluruh sebelum didaur ulang. Mereka juga memperkenalkan solusi pengolahan sampah menjadi bahan bakar industri (Solid Industrial Fuel/SIF) dan kompos, selain menjual bahan daur ulang.
Proyek mini seperti ini disebutkan Farhan lebih ideal untuk diterapkan di Kota Bandung yang menghadapi keterbatasan lahan. Selain itu, teknologi mencakup pemilahan otomatis, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), dan pabrikasi mesin mandiri.
"Kapasitas 100 ton per hari di atas lahan 1.600 meter persegi tentu sangat menarik. Kita perlu lebih banyak fasilitas seperti ini," katanya.
Selain itu, Farhan mengungkapkan, Bandung tidak akan mengandalkan model waste-to-energy seperti di kota lain. Dia menginginkan daerah yang dipimpinnya terbuka dengan teknologi lainnya yang lebih praktis.
"Kami ingin membangun ekosistem terbuka yang inklusif. Tidak hanya andalkan satu teknologi besar, tapi berbagai inovasi skala menengah dan kecil yang bisa cepat diterapkan," jelasnya.
Meski begitu, hal tersebut masih penjajakan dan belum diputuskan kerja sama nantinya akan seperti apa. Perusahaan dari Tiongkok ini akan terlebih dahulu melihat beberapa TPST di Kota Bandung.