Tata Ruang Kabupaten Cirebon Gagal Lindungi Warga

- Deforestasi dan kerusakan DAS menjadi penyebab banjir bandang di Sumber
- Tata kelola lingkungan yang buruk dan perubahan iklim meningkatkan ancaman banjir
- Banjir bandang merendam permukiman, merusak infrastruktur, dan melumpuhkan aktivitas masyarakat
Cirebon, IDN Times - Anggota Komisi empat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Rokhmin Dahuri menjelaskan, banjir bandang yang menerjang Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bukan sekadar bencana musiman akibat hujan deras.
Peristiwa ini mencerminkan krisis ekologis yang lebih dalam, hasil dari kombinasi deforestasi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), tata kelola lingkungan yang buruk, serta dampak perubahan iklim.
Hujan berintensitas tinggi yang mengguyur wilayah Cirebon pada Selasa (23/12/2025) sore memicu luapan air secara tiba-tiba dari kawasan hulu. Aliran deras menerjang permukiman warga, merusak infrastruktur, dan melumpuhkan aktivitas masyarakat.
Di beberapa titik, ketinggian air dilaporkan mencapai lebih dari satu meter.
1. Tutupan hutan hanya belasan persen

Rokhmin menilai banjir bandang di Sumber tidak bisa dilepaskan dari rusaknya ekosistem hulu yang selama ini menjadi penyangga alami siklus air. Menurutnya, deforestasi yang terus terjadi telah menggerus daya serap tanah terhadap air hujan.
“Ketika hutan di hulu DAS rusak atau berubah fungsi, air hujan tidak lagi tertahan. Ia langsung mengalir deras ke hilir dan menimbulkan banjir bandang. Ini hukum alam yang tidak bisa ditawar,” kata Rokhmin kepada wartawan, Rabu (24/12/2025).
Ia mengungkapkan, di banyak wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat, tutupan hutan terus menurun dan berada jauh di bawah ambang ideal. Secara ekologis, tutupan hutan minimal 30 persen dari suatu wilayah diperlukan untuk menjaga keseimbangan tata air.
Namun faktanya, di sejumlah daerah tutupan hutan hanya berkisar belasan hingga dua puluhan persen.
Selain deforestasi, Rokhmin menyoroti kondisi DAS yang semakin kritis akibat sedimentasi, erosi, dan alih fungsi lahan di kawasan hulu. Kerusakan ini menyebabkan sungai kehilangan kapasitas alaminya untuk menampung dan mengalirkan air saat curah hujan tinggi.
“DAS kita banyak yang sakit. Hulu gundul, sungai dangkal, bantaran dipenuhi bangunan. Ketika hujan ekstrem datang, bencana tinggal menunggu waktu,” ujarnya.
2. Banjir bandang masih mengancam

Faktor lain yang tak kalah penting adalah lemahnya tata kelola lingkungan di daerah. Saluran drainase yang tersumbat sampah, buruknya pengelolaan sungai, serta tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan memperparah dampak banjir di kawasan permukiman.
Di sisi lain, perubahan iklim global turut meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan ekstrem. Rokhmin menegaskan bahwa kondisi ini membuat wilayah yang ekosistemnya sudah rusak menjadi semakin rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
“Perubahan iklim itu seperti memperbesar luka yang sudah ada. Kalau hutannya rusak dan DAS kritis, maka hujan ekstrem pasti berujung banjir bandang,” kata dia.
Rokhmin mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk serius melakukan rehabilitasi hutan dan DAS, memperketat izin alih fungsi lahan, serta membenahi tata kelola lingkungan secara menyeluruh.
Menurutnya, pemulihan ekosistem bukan hanya soal biaya, tetapi investasi jangka panjang untuk keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekonomi.
“Kalau kita tidak berbenah sekarang, banjir seperti di Sumber akan terus berulang, bukan hanya di Cirebon, tapi di banyak daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
3. Sore mencekam di pusat Kabupaten Cirebon

Diberitakan sebelumnya, hujan berintensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (23/12/2025) sore, menyebabkan banjir di sejumlah titik. Dua wilayah terdampak utama adalah Kecamatan Sumber dan Talun, dengan banjir terparah terjadi di Sumber, mencapai ketinggian sekitar satu meter.
Pantauan kemarin menunjukkan, genangan masih menutup beberapa ruas jalan utama dan permukiman warga. Air berwarna kecokelatan mengalir deras, membawa lumpur serta sampah rumah tangga. Warga tampak sibuk menyelamatkan barang berharga dengan memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi.
Di Kecamatan Sumber, banjir merendam permukiman padat penduduk dan area pertokoan. Banyak rumah terendam hingga setinggi dada orang dewasa, sehingga aktivitas masyarakat lumpuh total. Sekolah, kantor, dan pusat usaha terpaksa menghentikan kegiatan akibat akses jalan yang tidak bisa dilalui.
Dampak parah juga terjadi pada gudang sebuah supermarket di Sumber. Banjir menyapu sebagian barang dagangan hingga hanyut terbawa arus, dengan kardus berisi kebutuhan pokok berserakan atau mengapung di genangan air.
Di Kecamatan Talun, ketinggian air berkisar 30–70 sentimeter. Meski lebih rendah dibanding Sumber, banjir tetap mengganggu mobilitas warga. Banyak sepeda motor mogok saat menerobos genangan, sementara sebagian kendaraan memilih berputar arah.
Banjir menyebabkan kemacetan panjang di Jalan Sultan Agung hingga Jalan Fatahillah, dengan antrean kendaraan mencapai sekitar empat kilometer. Lalu lintas tersendat karena pengendara melambatkan laju atau berhenti akibat kendaraan mogok.
Warga yang terjebak kemacetan memilih berteduh di tepi jalan sembari menunggu air surut. Beberapa warga berinisiatif mengatur lalu lintas secara manual, meski kondisi genangan membuat penguraian arus kendaraan sulit.


















