Ketika Musik Jadi Corong untuk Sampaikan Kritik Sosial

Bandung, IDN Times - Bandung saat ini masih menjadi salah satu kiblat musik di Indonesia. Banyak musisi yang lahir di kota ini dan karyanya dikenal luas di seluruh daerah. Aliran musik para musisi atau band juga bervariasi, lirik yang mereka ciptakan pun tak sedikit yang menyinggung tentang persoalan sosial di Tanah Air.
Penulis dan Dosen Fakultas Industri Kreatif Telkom University, Idhar Resmadi mengatakan, saat ini band dengan aliran hardcore, punk, hip hop, hingga band metal di Kota Bandung cukup banyak memperhatikan mengenai masalah-masalah yang ada di negeri ini. Lirik lagu mereka pun dikemas sedemikian mungkin agar tetap masuk di telinga para penikmat musik, tanpa mengesampingkan kritik sosial tersebut.
“Mungkin liriknya tidak secara eksplisit seperti band Sukatani, tapi tetap ada isi dalam lagu yang mereka ciptakan dan mereka bawakan di setiap penampilannya yang memang menyinggung persoalan sosial,” kata Idhar kepada IDN Times, Sabtu (1/3/2025).
Lirik musik yang memperlihatkan persoalan sosial oleh musisi di kota Bandung memang bukanlah hal baru. Sejak era 90-an Bandung memang sudah dikenal sebagai kiblatnya musik metal dan aliran musik lain yang banyak Menyinggung masalah ini. Tak sedikit pula musisi yang lagunya harus diturunkan atau tidak boleh diperdengarkan lagi karena dianggap menyinggung atau bisa menimbulkan sentimen negatif pada pemerintah.
Salah satu band yang cukup keras juga dalam setiap liriknya adalah Jeruji dan Homecide. Sementara saat ini Dongker jadi band dari Bandung yang liriknya cukup menyentil. “Cuman bedanya mereka tidak viral saja seperti Sukatani,” paparnya.
1. Tiap masa pasti tetap ada

Menurut Idhar, kritik pada pemerintah pasti ada setiap masanya. Maka, bukan tidak mungkin saat ini pula banyak muncul lagu-lagu yang sebenarnya mewakili ketidakpuasan masyarakat atas kinerja aparat yang seharusnya menaungi.
Namun, Cara mengkritiknya ini kembali lagi ke Bagaimana genre musik itu dibawakan oleh band tertentu atau juga kata-kata yang digunakan. Kalau musik punk memang mayoritas liriknya lebih frontal, Dan ini juga yang dilakukan oleh Sukatani ketika membuat lagu dengan judul ‘Bayar, Bayar, Bayar’.
“Jadi memang beda-beda kalau mungkin dulu karena lebih ketat pemerintahnya jadi lirik yang digunakan juga tidak secara langsung ditujukan untuk mengkritisi persoalan sosial. Bisa juga band tersebut menggunakan idiom bahasa Inggris sehingga dianggap biasa saja walaupun liriknya sebenarnya mengkritisi,” ungkap Idhar.
Meski demikian, dia meyakini bahwa saat ini masih banyak musisi yang cukup fokus untuk mengkritisi kinerja pemerintah atau persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Mereka juga masih sering tampil di panggung-panggung pertunjukan walaupun jumlah penontonnya tidak terlalu besar.
2. Pembungkaman sudah bukan jamannya

Idhar menyebut, Di zaman sekarang saat era teknologi dan media sosial sudah semakin berkembang pembungkaman musik dari musisi justru bisa berdampak buruk kepada mereka yang melakukannya. Ketika Ikam demokrasi kita semakin meningkat maka cara orang berekspresi pun semakin banyak termasuk dengan membuat musik atau lirik-lirik tertentu yang dinyanyikan baik di panggung atau kegiatan apapun.
Saat karya tersebut kemudian dianggap berbahaya oleh pemerintah dan dihilangkan atau tidak bisa ditampilkan, justru ini akan menjadi bumerang. “Masifikasinya ini makin berkembang,” ujarnya.
Terlebih dalam beberapa waktu terakhir pembungkaman bukan hanya kepada musik saja, ada juga karya lukis yang hendak dipamerkan di Jakarta kemudian tidak jadi. Ada juga rencana pementasan teater di salah satu kampus negeri di Bandung yang itu pun dilarang oleh kampusnya.
Di era sekarang Masyarakat sudah tidak bodoh mereka bisa melihat mana yang memang dianggap karya tidak layak atau sekedar mencemooh dengan karya yang relevan pada kehidupan sehari-hari. Artinya, berkaca dari kasus pembredelan lagu milik Sukatani ini bisa menjadi alat untuk masyarakat termasuk pegiat seni lainnya menilai bahwa ada ketakutan dari pemerintah terkait karya seni yang mereka ciptakan.
3. Tetap harus ada koridor dalam berkesenian

Menurutnya, sebuah karya seni bukan tidak mungkin melanggar aturan atau norma yang ada di Indonesia. Dalam berkesenian tetap harus ada koridor yang bisa ditaati setiap pelaku seni termasuk para musisi. Jangan sampai mereka keluar batas termasuk dengan menghina lambang negara atau institusi lainnya yang sebenarnya itu tidak layak.
“Contoh liriknya ini ada ‘Kemanusiaan yang Adil dan Biadab’. Nah ini kan seperti menghina Pancasila. Jadi tidak pakai simbol atau slogan yang selama ini dipakai oleh institusi,” papar Idhar.
Di sisi lain, dia berharap para musisi tetap kompak ketika ada persoalan yang kaitannya dengan musisi lain. Meski kekompakan ini baru terlihat sangat baik dalam kasus Sukatani, Idhar optimistis industri musik dalam negeri bisa berkembang ketika ada kerja sama para musisinya.