Kampus Swasta Makin Sulit Cari Mahasiswa Baru

- Keseteraan antara PTN dan PTS harus diwujudkan
- PTS bisa mati sendiri jika jumlah mahasiswa terus menurun
- Kuliah di kampus swasta bukan pilihan utama bagi mahasiswa
Bandung, IDN Times - Jumlah mahasiswa yang masuk ke kampus swasta terus mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi di berbagai daerah termasuk di Bandung dan sekitarnya. Dalam tiga tahun terakhir ada penurunan yang signifikan banyaknya mahasiswa baru memilih kampus negeri (PTN) di bandingkan kampus swasta (PTS).
Dari data yang dihimpun IDN Times, di kampus Universitas Parahyangan (Unpar) misalnya, dari 2.455 mahasiswa baru jenjang D-3, S-1, S-2, S-3, dan Program Profesi Insinyur pada 2021 yang diterima, pada 2025 jumlahnya hanya mencapai 2.075.
Di kampus Universitas Islam Bandung (Unisba), pada 2021 jumlah mahasiswa baru mencapai 2.692, sedangkan pada 2025 angkanya hanya 1.992. Di kampus Unikom pada 2021 mahasiswa baru yang masuk ada 3.071, sementara ada 2024 jumlahnya hanya 2.462.
Kondisi ini menjadi perhatian serius dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI). Sebab, jika dibiarkan begitu saja banyak kampus swasta makin kekurangan mahasiswa dan bisa berdampak pada berbagai hal termasuk penutupan PTS tersebut.
"Ini sudah terjadi beberapa tahun terakhir, khususnya ketika kampus negeri sekarang menjadi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) mereka bisa cari mahasiswa lebih banyak dengan jalur mandiri," kata Ketua ABPPTSI Jawa Barat Dr. Ricky Agusiady kepada IDN Times, Jumat (26/9/2025).
Dia menjelaskan, dengan perubahan kampus negeri menjadi PTN-BH mereka memiliki kemandirian yang lebih luas dalam mengelola keuangan, akademik, dan organisasi, serta dapat membuat keputusan secara mandiri sesuai dengan tujuannya sendiri.
1. Harus ada keseteraan

Ricky menjelaskan, permasalahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Asosiasi PTS termasuk pihak yayasan sudah berulang kali melakukan komunikasi hingga disksusi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi. Namun, hingga sekarang tidak ada solusi kongkrit dalam menjaga jumlah mahasiswa swasta minimal tetap stabil.
Yang jadi persoalan adalah tidak ada kesetaraan untuk PTN dan PTS dari pemerintah. Contohnya dalam masalah anggaran, uang yang masuk ke PTS dari 20 persen APBN untuk pendidikan hanya sekitar 5 persen, sisanya masuk ke PTN. Padahal selama ini jumlah PTS itu lebih banyak menampung mahasiswa di Indonesia mencapai 80 persen.
Kemudian dari sistem kuota penerimaan mahasiswa, kampus PTN harusnya bisa menjaga agar sesuai dengan ketersediaan kelas dan pengajar atau dosen. Bukan justru mereka terus membuka kelas hingga mencari dosen dari kampus swasta.
"Ini bagaimana kalau pemerintah tidak mengatur. Istilahnya ini kita dikasih senjata bambu runcing mereka sudah AK47. Kalah mau bagaimana juga," ungkap Ricky.
2. Perlahan PTS bisa mati sendiri

Menurutnya, selama ini PTS terus melakukan inovasi agar bisa bersaing dengan PTN dalam memberikan pendidikan kepada mahasiwa. Walaupun banyak PTS yang hanya mengandalkan biaya pendidikan dalam operasional kampus, sehingga ketika ada penurunan jumlah mahasiwa akan menganggu keuangan.
Meski demikian, ketika jumlah mahasiswa terus menurun setiap tahunnya maka lambat laut kampus swasta bisa saja kesulitan dalam menjalankan pendidikan yang akhirnya harus tutup karena ada ketidakseimbangan antara biaya yang harus dikeluarkan dan yang didapat.
"Lambat laun PTS mulai berkurang, bisa mati sendiri," ungkap Ricky.
Untuk PTS agar bisa terus berjalan dan meningkatkan kapasitasnya minimal mahasiswa baru setiap tahun harus berada di angka 5.000. Ketika angkanya mulai turun ke 2.000 bahkan hanya 1.000 jelas akan ada kesulitan.
Dari informasi yang dihimpun IDN Times, saat ini setidaknya ada 20 PTS di Jabar dan Banten dari sekitar 350 PTS yang mendapat pengawasan ketat dari LLDIKTI. Itu dikarenakan adanya pelanggaran aturan hingga pelanggaran tata kelola.
Ricky mengatakan, salah kelola itu bisa jadi kerena mereka coba memutar uang dari uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa atau dana lain demi operasional kampus. Yang jadi perhatian, salah kelola ini juga bisa jadi karena memang mereka harus memutar otak agar kampus tetap hidup di tengah minimnya mahasiswa.
"Yang bahaya kalau kampus ini ditutup ini jalannya panjang lagi (untuk berdiri). Tapi kalau seperti ini bisa jadi akhir tahun ini bisa ada yang berhenti (PTS)," kata dia.
3. Kuliah di kampus swasta bukan pilihan utama

Salah satu mahasiswa yang kuliah di kampus swasta, Muhammad Hafidz (23), mengatakan bahwa kuliah di PTS jelas bukan pilihan utama karena dia ingin masuk ke PTN dengan jalur seleksi agar biaya kuliah tidak begitu malah. Namun, karena gagal dia memilih masuk ke PTS dengan mencari yang memberikan beasiswa kartu Indonesia Pintar (KIP).
"Tapi itu sebelumnya belum tau sih, belum tau dimana kampusnya, cuman tau ada beasiswa KIP, apply lah," kata dia.
Dengan beasiswa KIP yang tidak sulit didapat karena berdasarkan usulan dari anggota Dewan dia mendapatkanya setelah itu baru mendapatkan kampus dan jurusannya.
Menurutnya, untuk masuk ke kampus negeri khususnya lewat jalur mandiri harganya selangit, tidak murah. Maka, untuk kuliah dia lebih baik mencari kampus yang biaya tidak begitu mahal. Apalagi kampus tersebut bisa memberikan banyak beasiswa untuk mahasiswa jelas akan jadi pilihan.
Hal senada disampaikan Tahlita. Dia menyebut bahwa kuliah di kampus swasta sudah pasti karena tidak diterima di kampus negeri. Meski masuk ke PTS dia tetap mencari kampus yang akreditasinya bagus dan lulusannya banyak dikenal perusahaan karena berpengaruh pada pekerjaan setelah lulus.
"Jadi balik lagi kalau ke kampus swasta juga pasti yang dicari kan jurusan sesuai atau tidak sama minat. Biaya juga ngaruh karena banyak swasta juga mahal kan, jadi menyesuaikan. Dan dilihat lulusannya gimana tuh cepet kerja atau relasinya bagus atau tidak. Itu sih paling," kata dia.