Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Indramayu Juara Konsumsi Rokok Terbanyak di Jabar, Disusul Karawang

ilustrasi tembakau (pexels.com/Thibault Luycx)
ilustrasi tembakau (pexels.com/Thibault Luycx)
Intinya sih...
  • Pantura dominasi daerah perokok berat
    • Indramayu, Subang, Karawang, dan Kuningan mencatat konsumsi rokok tertinggi di Jawa Barat
    • Faktor sosial dan ekonomi wilayah pesisir memengaruhi tingginya konsumsi rokok
    • Beban ekonomi rumah tangga
      • Konsumsi rokok tinggi mengakibatkan pengeluaran rumah tangga yang tinggi
      • Potensi menekan alokasi kebutuhan lain seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan
      • Aspek kesehatan dan edukasi publik
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Indramayu, IDN Times - Kabupaten Indramayu, Jawa Barat didaulat sebagai daerah dengan perokok yang menghabiskan rokok paling tinggi di Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat tahun 2024, rata-rata perokok di Indramayu menghisap 95,32 batang rokok per pekan, atau sekitar 13–14 batang per hari.

Kepala BPS Jawa Barat, Darwis Sitorus, menyebutkan angka ini menjadi yang tertinggi di antara 27 kabupaten/kota di provinsi tersebut. Ia mengatakan, temuan ini menggambarkan masih kuatnya budaya merokok di kalangan masyarakat, terutama di wilayah pesisir dan perdesaan.

“Konsumsi rokok di Jawa Barat masih cukup tinggi. Indramayu menjadi daerah dengan rata-rata batang rokok yang dihisap perokok paling besar. Ini mencerminkan perilaku merokok belum banyak berubah,” ujar Darwis di Bandung, Selasa (28/10/2025).

Berdasarkan data yang sama, rata-rata perokok di Jawa Barat secara keseluruhan menghabiskan 76,11 batang per minggu, atau sekitar 10–11 batang per hari. Artinya, secara umum setiap perokok di provinsi ini mengonsumsi hampir setengah bungkus rokok setiap hari.

1. Pantura dominasi daerah perokok berat

ilustrasi tanaman tembakau (pixabay.com/Beeki)
ilustrasi tanaman tembakau (pixabay.com/Beeki)

Selain Indramayu, wilayah pantai utara Jawa Barat juga mencatat angka konsumsi rokok yang tinggi. Kabupaten Subang berada di posisi kedua dengan 91,89 batang per pekan, disusul Kabupaten Karawang (89,45 batang) dan Kabupaten Kuningan (89,37 batang).

Sementara itu, Kabupaten Purwakarta menempati posisi kelima dengan 83,89 batang per pekan. Darwis menilai, dominasi wilayah pantura ini tidak lepas dari faktor sosial dan ekonomi. Banyak masyarakat di kawasan tersebut bekerja di sektor informal seperti nelayan, buruh tani, dan pekerja harian yang kerap menjadikan rokok sebagai sarana relaksasi.

“Di banyak wilayah pesisir, merokok dianggap bagian dari aktivitas sosial. Bahkan sering menjadi simbol keakraban atau teman bekerja di lapangan. Ini tantangan tersendiri bagi upaya pengendalian konsumsi rokok,” kata Darwis.

2. Beban ekonomi rumah tangga

Proses Pemilahan Daun Tembakau Deli di Gudang Klambir Lima yang dikelola PTPN II pada 2015 (IDN Times/Arifin Al Alamudi)
Proses Pemilahan Daun Tembakau Deli di Gudang Klambir Lima yang dikelola PTPN II pada 2015 (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Dengan tingkat konsumsi sebesar itu, pengeluaran rumah tangga untuk rokok di Indramayu tergolong tinggi. Jika satu bungkus rokok berisi 12 batang dijual rata-rata Rp25.000, maka seorang perokok dapat menghabiskan sekitar Rp700.000–800.000 per bulan hanya untuk membeli rokok.

Darwis menyebut, pengeluaran tersebut berpotensi menekan alokasi kebutuhan rumah tangga lain seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

“Konsumsi rokok yang tinggi tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga kesejahteraan ekonomi keluarga,” katanya.

Ia menambahkan, hasil survei tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk memperkuat kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) serta meningkatkan edukasi masyarakat terkait bahaya rokok.

3. Aspek kesehatan dan edukasi publik

ilustrasi tanaman tembakau (unsplash.com/Reba Spike)
ilustrasi tanaman tembakau (unsplash.com/Reba Spike)

Selain faktor ekonomi, tingginya konsumsi rokok juga berimplikasi pada meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti kanker paru, penyakit jantung, dan stroke.

BPS menilai data ini perlu menjadi dasar kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat.

“Data statistik bukan sekadar angka; ia memberi arah kebijakan. Kalau kita tahu konsumsi rokok tinggi di wilayah tertentu, maka intervensi kesehatan harus lebih fokus ke sana,” ujar Darwis.

Ia menegaskan, penurunan prevalensi merokok perlu diiringi dengan pendekatan budaya yang sesuai karakter masyarakat setempat. Kampanye antirokok tidak cukup hanya dengan peringatan bahaya, tapi juga perlu menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan gaya hidup.

Darwis menutup dengan imbauan agar pemerintah daerah tidak hanya fokus pada pengendalian konsumsi, tetapi juga pada peningkatan kesadaran publik.

"Kalau perilaku tidak berubah, angka ini akan sulit turun. Karena pada akhirnya, data ini adalah potret kebiasaan kita sendiri,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

Genangan Tak Kunjung Usai, Farhan Akui Bandung Kejar-kejaran dengan Hujan

28 Okt 2025, 12:19 WIBNews