Gen Z dan Milenial Indonesia Tak Percaya Partai Politik Bebas Korupsi

Bandung, IDN Times - Kepercayaan milenial dan gen z terhadap partai politik (parpol) bersih dari praktik korupsi sangat minim dan ada kecenderungan tidak percaya dengan parpol. Hal ini terungkap dalam survei IDN Research Institute, Indonesia Millenial and Gen Z Reporter (IMGR) 2025.
Survei dilakukan dari bulan Maret hingga Agustus 2024, dengan 1.500 responden dengan 750 milenial dan 750 gen z di 12 kota besar, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.
IDN Research Institute menggunakan survei dengan kombinasi metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, pengumpulan data melalui pengambilan sampel secara acak.
Milenial didefinisikan sebagai mereka yang berusia 28 hingga 43 tahun, sedangkan gen z mencakup individu berusia 12 hingga 27 tahun pada tahun 2024.
1. Milenial dan gen Z tidak percaya Parpol bersih dari praktik korupsi

Dalam laporan ini, menyatakan milenial dan gen z masih ragu-ragu terhadap keberadaan lembaga-lembaga politik yang bebas dari korupsi, dan perilaku skeptisisme ini kebanyakan di kalangan penduduk kota besar.
Selanjutnya, generasi milenial dan gen z Indonesia juga semakin kecewa dengan integritas lembaga politik, tercermin dari tingkat kepercayaan yang sangat rendah-hanya 3,06 dari 5,00 dalam hal kepercayaan bahwa partai politik bebas dari korupsi.
Ketidakpercayaan yang mendalam ini terutama terjadi di daerah perkotaan, di mana kenyataan pahit dari korupsi terasa selalu ada dan tak terhindarkan.
Skeptisisme para kelompok milenial dan gen z meluas ini turut mengancam untuk melepaskan generasi yang seharusnya bisa menjadi kekuatan yang kuat untuk perubahan atau agen perubahan.
Ketika kepercayaan sudah terkikis, maka akan dibarengi dengan ketidak mauan untuk berpartisipasi dalam proses politik, dan membuat kaum muda merasa bahwa suara mereka tidak didengar dan suara mereka tidak efektif.
Tantangan bagi lembaga-lembaga politik sudah jelas: yaitu tidak hanya harus berbicara tentang perubahan, tetapi juga harus mewujudkannya dengan cara-cara yang nyata dan transparan yang beresonansi dengan kaum muda.
2. Mendukung kerja sama internasional dan toleransi

Sementara, dalam urusan globalisme dan nasionalisme, generasi milenial dan gen z memiliki keseimbangan yang cermat. Kelompok ini secara keseluruhan mendukung kerja sama internasional, budaya dan toleransi, dengan skor 3,84 pada skala 5 poin untuk gen z, dan sedikit lebih rendah untuk Generasi Milenial dengan skor 3,82.
Hal itu menunjukkan, meskipun kedua kelompok ini menghargai peran Indonesia di panggung global, kebanyakan juga menyadari pentingnya keragaman budaya di dalam negeri. Menariknya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, topik kewarganegaraan ganda tidak menjadi topik hangat-skornya hanya sedikit di atas 3,00 untuk kedua kelompok.
Yang lebih menonjol adalah empati para milenial dan gen z terhadap korban perang di luar negeri baik di Palestina, Ukraina, atau di tempat lain, skornya 3,97 untuk gen Z dan 3.98 untuk generasi milenial. Anak-anak muda Indonesia ini merasakan hubungan yang kuat dengan isu-isu kemanusiaan global.
Empati ini sejalan dengan dukungan mereka yang lebih luas untuk kerja sama internasional dalam catatan yang lebih ringan namun tetap signifikan, grn z menunjukkan antusiasme yang lebih besar dibandingkan dengan generasi milenial terhadap partisipasi Indonesia di bidang olahraga internasional.
Hal ini mengisyaratkan adanya rasa kebanggaan nasional yang mulai tumbuh di kalangan generasi muda; sesuatu yang dapat dipupuk lebih lanjut dalam berbagai kegiatan budaya dan kemasyarakatan.
3. Dapat terlibat langsung dengan pembuat kebijakan

Kemudian, generasi milenial dan gen z menggunakan gagasan untuk terlibat dengan para pembuat kebijakan. Mereka percaya bahwa ada peluang untuk memengaruhi kebijakan, tetapi keyakinan tersebut masih jauh dari kuat, dengan skor kepercayaan diri rata-rata 3,48 dari 5.
Jelas bahwa mereka melihat beberapa potensi untuk membuat perbedaan, tetapi mereka juga sangat menyadari adanya rintangan. Hanya 5 persen dari mereka yang berpikir bahwa sangat mungkin untuk terlibat langsung dengan para pembuat kebijakan dengan cara yang benar-benar penting.
Sementara 45 persen melihatnya sebagai hal yang mungkin, tetapi tidak terlalu mudah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pintu keterlibatan politik tidak tertutup rapat, namun pintu tersebut hampir tidak terbuka, membuat banyak anak muda merasa terjebak di luar.
Pandangan yang hati-hati ini mencerminkan realitas yang dihadapi banyak anak muda ketika mencoba untuk terhubung dengan mereka yang berkuasa. Hambatan-hambatannya nyata-entah itu birokrasi yang berbelit-belit, kurangnya akses, atau hanya perasaan bahwa suara mereka tidak akan membuat perbedaan.
Hambatan-hambatan ini dapat menyebabkan frustrasi dan, bagi sebagian orang, rasa keterlibatan dalam proses politik. Namun, hal ini juga menunjukkan adanya peluang besar untuk perbaikan.
Jika ingin generasi milenial dan gen z merasa benar-benar dapat terlibat dengan para pembuat kebijakan, perlu menciptakan cara-cara yang lebih mudah diakses dan nyata bagi mereka untuk melakukannya.
Hal ini dapat berarti pendidikan kewarganegaraan yang lebih baik, membuat proses politik menjadi lebih transparan, atau membuat platform di mana kaum muda dapat secara langsung berbagi ide dan kekhawatiran mereka dengan para pembuat keputusan.
Membangun koneksi ini dapat membuat seluruh proses terasa tidak terlalu mengintimidasi dan lebih mudah dilakukan, sehingga memberikan kepercayaan diri bagi kaum muda untuk melangkah maju dan terlibat.
Pada akhirnya, meskipun saat ini generasi milenial dan gen z mungkin melihat kemampuan mereka untuk terlibat dengan para pembuat kebijakan masih terbatas, ada banyak ruang untuk mengubahnya.
Dengan membuka lebih banyak jalan untuk keterlibatan nyata dan menunjukkan bahwa suara mereka dapat menghasilkan perubahan nyata, kami dapat membantu mengubah optimisme yang hati-hati menjadi partisipasi aktif, memastikan generasi ini memiliki kursi yang nyata dalam membentuk masa depan.
4. Tanggung jawab terhadap lingkungan

Bagi generasi milenial dan gen z, tanggung jawab lingkungan bukan hanya sekadar kata kunci-ini adalah kekuatan pendorong dalam cara mereka menjalani hidup. Kelompok ini juga tidak puas hanya dengan berbicara tentang perlunya keberlanjutan; mereka secara aktif melakukan perubahan.
Sebanyak 55 persen turut mengadopsi produk ramah lingkungan. Lebih dari separuh generasi muda ini telah memilih produk yang lebih baik untuk planet ini.
Pergeseran perilaku konsumen ini sangat signifikan, yang mencerminkan preferensi yang semakin meningkat terhadap keberlanjutan daripada kenyamanan. Baik itu memilih barang yang dapat digunakan kembali, memilih merek dengan praktik etis, atau menghindari plastik sekali pakai, milenial dan gen z memimpin dalam mendorong pasar yang lebih berkelanjutan.
Tren ini menunjukkan kesadaran yang semakin mendalam bahwa pilihan yang mereka buat sebagai konsumen memiliki dampak langsung terhadap lingkungan.
Kemudian, 53 persen anak muda memilah sampah organik dan non-organik. generasi ini membuat langkah maju dalam pengelolaan limbah.
Lebih dari setengahnya secara aktif memisahkan sampah organik dan non-organik, sebuah praktik yang mungkin terlihat kecil namun memiliki implikasi yang besar.
Dengan bertanggung jawab terhadap sampah mereka, mereka berkontribusi terhadap budaya yang lebih luas dalam menjaga lingkungan.
Langkah menuju pengelolaan sampah yang lebih baik ini mencerminkan pemahaman bahwa mengurangi sampah di TPA dan meningkatkan daur ulang merupakan langkah penting dalam memerangi degradasi lingkungan.
Selanjutnya, 48 persen memanfaatkan sumber energi terbarukan. Hampir setengah dari generasi milenial dan gen z menggunakan atau tertarik untuk menggunakan sumber energi terbarukan.
Meningkatnya minat terhadap tenaga surya, angin, dan opsi energi terbarukan lainnya menunjukkan adanya kesadaran akan perlunya melepaskan diri dari bahan bakar fosil dan mengurangi jejak karbon.
Mereka memahami bahwa pilihan energi yang dibuat hari ini akan berdampak jangka panjang terhadap planet ini, dan mereka sangat ingin menggunakan alternatif yang lebih bersih dan berkelanjutan.
5. Gaya hidup ramah lingkungan masih menjadi PR

Dalam menghadapi tantangan hidup berkelanjutan terlepas dari komitmen yang kuat terhadap tanggung jawab lingkungan, milenial dan gen z menghadapi tantangan yang signifikan dalam mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan sepenuhnya.
Rintangan-rintangan ini menyoroti kompleksitas dalam membuat pilihan yang berkelanjutan di dunia saat ini: 55 persen mengubah kebiasaan sehari-hari merupakan bagian tersulit dari hidup ramah lingkungan adalah kebiasaan harian yang perlu diubah.
Entah itu beralih dari produk sekali pakai ke produk yang dapat digunakan kembali.
Selain itu, mengurangi konsumsi energi, atau mengubah kebiasaan transportasi, perubahan ini membutuhkan usaha dan konsistensi.
Bagi banyak orang, tantangannya adalah membuat kebiasaan baru ini menjadi kebiasaan kedua, bukan hanya upaya sesuai kurangnya kesadaran masyarakat.
Masih ada sebagian besar masyarakat yang belum sepenuhnya memahami atau memprioritaskan kehidupan yang ramah lingkungan. Kurangnya kesadaran ini dapat memperlambat adopsi praktik-praktik berkelanjutan yang lebih luas, karena norma-norma masyarakat masih condong ke arah kenyamanan dan efektivitas biaya daripada keberlanjutan.
Generasi muda Indonesia ini menavigasi dunia yang penuh dengan tantangan, terutama di bidang politik, globalisme, dan isu-isu lingkungan. Meskipun ada keinginan yang jelas untuk perubahan, namun untuk melangkah maju, diperlukan pembangunan kembali kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, meningkatkan peluang keterlibatan masyarakat, dan membuat kehidupan yang berkelanjutan menjadi lebih mudah diakses dan terjangkau.
Indonesia terus berevolusi, pengaruh generasi milenial dan gen z dalam membentuk masa depan negara ini tidak dapat diremehkan. Keterlibatan mereka, yang didorong oleh perpaduan antara ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada saat ini dan jangkauan teknologi yang memberdayakan.
Mengatasi hambatan untuk keterlibatan politik yang lebih dalam - seperti kesenjangan pengetahuan dan ketakutan akan intimidasi - akan menjadi sangat penting.