DPRD Kota Cirebon Kantongi Tunjangan Rumah Rp52 Juta, Rakyat Melongo

- DPRD Kota Cirebon menerima tunjangan rumah antara Rp45,8 juta hingga Rp52,9 juta per bulan. Total 35 anggota DPRD berpotensi menyentuh angka puluhan miliar rupiah.
- Pemerintah daerah menegaskan kebijakan ini bukan keputusan sepihak, melainkan berdasar aturan hukum yang jelas. Langkah ini dianggap sah dari sudut pandang regulasi.
- Warga Kota Cirebon merespons keras kebijakan tersebut. Mereka menganggap nominal tunjangan sangat tinggi dibanding realitas keuangan daerah dan kondisi masyarakat pascakerusuhan
Cirebon, IDN Times - Pemerintah Kota Cirebon menetapkan kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi 35 anggota DPRD. Angkanya membuat banyak kalangan terperangah, karena berkisar antara Rp45,8 juta hingga Rp52,9 juta per bulan, tergantung posisi jabatan.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Wali Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2025 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota DPRD.
1. Setiap tahun terima tunjungan hingga Rp550 juta

Dalam regulasi tersebut, tunjangan diberikan lantaran pemerintah daerah belum mampu menyediakan rumah dinas beserta perlengkapannya untuk para legislator.
Ketua DPRD berhak atas Rp52,9 juta per bulan, Wakil Ketua memperoleh Rp48,2 juta, dan anggota DPRD masing-masing menerima Rp45,8 juta. Semua jumlah itu masih akan dikurangi potongan pajak sesuai aturan perundang-undangan.
Jika dihitung setahun penuh, Ketua DPRD bisa membawa pulang sekitar Rp635 juta hanya dari pos tunjangan rumah, Wakil Ketua Rp579 juta, dan setiap anggota DPRD mendekati Rp550 juta.
Dengan total 35 anggota, belanja daerah untuk kebutuhan tersebut berpotensi menyentuh angka puluhan miliar Rupiah.
2. Argumen legalitas dan mekanisme

Pemerintah daerah menegaskan, kebijakan ini bukan keputusan sepihak, melainkan berdasar aturan hukum yang jelas. Pasal 17 dalam perwali mengamanatkan selama rumah negara belum tersedia, maka tunjangan perumahan wajib diberikan.
Sementara Pasal 19 mengatur mekanisme untuk menghindari penerimaan ganda, misalnya ketika suami-istri sama-sama menjabat atau salah satunya merangkap sebagai wali kota.
Dari sudut pandang regulasi, langkah ini sah. Pemerintah berpegang pada standar nasional bahwa tunjangan merupakan hak anggota dewan.
Namun, yang memicu perdebatan bukan soal hak atau tidak hak, melainkan besaran nominal dianggap sangat tinggi dibanding realitas keuangan daerah dan kondisi masyarakat pascakerusuhan yang masih membutuhkan banyak pemulihan.
3. Reaksi warga yang kontras

Kebijakan ini segera menuai komentar keras dari warga Kota Cirebon. Ahmad Fauzi, seorang pedagang di Pasar Kanoman, mengaku tidak percaya ketika mendengar angka tunjangan yang mencapai hampir Rp50 juta per bulan.
"Kami ini pedagang kecil, bayar kontrakan rumah saja kadang harus utang. Kok dewan bisa dapat tunjangan sebesar itu hanya untuk rumah? Rasanya jauh sekali jaraknya dengan masyarakat,” ujarnya.
Nada serupa datang dari Siti Rahmawati, ibu rumah tangga asal Kecamatan Kejaksan. Ia menilai pemberian tunjangan boleh saja dilakukan, tetapi nominalnya mesti realistis dan sesuai kondisi masyarakat.
“Kalau rumah dinas memang tidak ada, ya wajar diberi tunjangan. Tapi jangan sampai rakyat melihat wakilnya hidup terlalu mewah, sementara sekolah butuh perbaikan, jalan desa banyak yang rusak, dan layanan kesehatan masih terbatas,” katanya.