Camilan Khas Tanah Sunda, Jejak Rasa Nusantara yang Kian Mendunia

- Be'chips mengangkat ekonomi lokal dengan memanfaatkan bahan baku lokal dan memberdayakan petani serta UMKM lainnya.
- Produk dari Indonesia semakin digemari warga asing, terbukti dari peningkatan ekspor produk UMKM ke luar negeri.
- Kolaborasi menjadi kunci sukses bagi UMKM, dengan pola kemitraan dan kurasi produk yang baik untuk masuk ke pasar modern.
Bandung, IDN Times - Batagor. Camilan dari Indonesia khususnya Bandung ini sangat mudah ditemukan di banyak sudut. Terbuat dari tahu dan bakso ikan yang kemudian digoreng, penganan ini disajikan dengan bumbu kacang yang kental, kecap manis, dan sambal. Rasanya yang lezat membuat batagor menjadi salah satu penganan kerap dicari masyarakat.
Namun, bagaimana jika batagor ini kemudian bisa dirasakan masyarakat luar Jawa Barat bahkan sampai ke luar negeri? Batagor dari Be'chips mampu merealisasikannya. Produk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah ini (UMKM) dari Kota Bandung ini sukses menghadirkan batagor sampai ke lidah negara termasuk Negeri Matahari alias Jepang.
Niko Saputra. Dialah sang pemilik Be'chips yang mampu mengubah persepsi masyarakat bahwa camilan dari Tanah Sunda bukan sekedar enak di lidah orang lokal, tapi juga bisa mendunia. Menurutnya, makanan dari Bandung termasuk camilan seperti batagor, basreng, atau keripik, mempunyai kekhasan dalam segi rasa dan bentuk. Keunikan ini yang coba digali oleh Niko hingga akhirnya mulai berjualan sejak 2015 dan melakukan transformasi pada 2018.
Dia menuturkan, mencari produk makanan untuk dijual gampang-gampang sulit. Harus ada barang yang berbeda agar produk jualannya bisa lebih laku dibandingkan UMKM lainnya. Hal ini yang coba dilakukan Niko. Ketika banyak pelaku usaha yang berjualan sekedar mengikuti tren, dia mencari produk yang unik dan tak banyak dijual UMKM lain.
"Karena kalau kita cuman ikut memang sanggup bersaing sama yang sudah besar-besar. Kan kita niru jadinya. Yang gitu biasanya ga bertahan lama, dan peniru lebih banyak yang hilang. Makanya dari situ saya belajar ga cuman ikut-ikutan saja, percuma," ungkap Niko kepada IDN Times saat pelepasan ekspor Be'chips ke Jepang bersama Bank Indonesia Jawa Barat, Rabu (24/9/2025).
Identitas produk, lanjutnya, harus bisa dicari oleh para pelaku usaha yang ingin bisnisnya berjalan jangka panjang. Salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan mengembangkan produk sendiri sehingga punya nilai yang tidak dimiliki penjual lainnya, meski barang yang didagangkan cukup mirip.
Seiring berjalannya waktu, Be'chips saat ini sudah memiliki sembilan produk di antaranya Batagor Chips, Tempe Chips, Banana Cruncy Bites, dan Keripik Talas. Khusus untuk Batagor Chips sendiri ada tiga varian yakni orisinal, pedas, dan gurih.
Cita rasa varian ini yang kemudian membuat Be'chips menjadi buruan masyarakat luar negeri. Menurutnya, setelah melakukan berbagai eksperimen ternyata lidah orang luar termasuk di Jepang suka dengan camilan yang gurih dan pedas. Kesukaan tersebut yang coba disajikan Niko dalam produk sehingga tidak hanya digemari di dalam negeri, tapi juga bisa menjangkau pasar ekspor.
Menurutnya, langkah untuk bisa menjual barang ke luar negeri memang tidak mudah. Dia melakukan berbagai cara termasuk ikut banyak pameran hingga akhirnya ada pembeli dari Taiwan yang ingin membeli barangnya. Setelah itu, Niko kembali menawarkan produk melalui pameran di Trade Expo Indonesia pada 2022, di sana dia bertemu dengan pembeli dari Jepang yang tertarik membawa Be'chips untuk dipasarkan di negeri tersebut.
"Sampai sekarang peminatnya terus bertambah dan kita makin sering ekspor ke luar negeri seperti Jepang. Tahun lalu saja kita sudah tiga kali pengiriman, dan untuk pengiriman sekarang kita ada 19.400 produk nilai jualnya sekitar Rp250 juta," ungkap Niko.
Be'chips pun akhirnya sekarang bisa mejeng di berbagai etalase toko modern di luar negeri seperti Don Quijote atau Don Don Donki yang mirip dengan Family Mart, AEON, dan 7-Eleven untuk daerah Fukuoka, Nagashima, Shinjuku, Osaka, sampai Tokyo.
1. Angkat ekonomi lokal

Dalam membuat produk ini, Be'chips memanfaatkan ekosistem lokal secara keseluruhan. Mulai dari bahan baku yang didapat langsung hingga pengerjaan di rumah produksi. Niko mengatakan, hingga saat ini dia tidak mencari bahan baku dari luar negeri karena hasil bumi dari Indonesia sangat melimpah. Misalnya untuk ubi talas, pisang, hingga kedelai dia dapatkan dari petani di daerah Jawa Timur. Sedangkan ikan untuk bahan baku batagor dia dapatkan dari nelayan di Pantura Jawa Barat.
Untuk kedelai yang menjadi bahan baku tempe, Be'chips selama ini tidak mengandalkan impor karena masih ada petani kedelai di dalam negeri. Produksi dari mereka masih ada yang belum terserap secara maksimal dan ini yang coba dikembangkan oleh Niko.
Tak sekedar membeli bahan baku, pria 32 tahun ini juga melakukan pembinaan kepada seluruh petani yang menyuplai bahan baku ke Be'chips. Dengan demikian pertanian lokal tetap tumbuh dan perekonomian mereka pun terbantu ketika Be'chips terus berproduksi.
Untuk keripik talas Niko sampai melakukan pembinaan kepada para petani agar mereka bisa lebih paham cara menanam dan memilih hasil panen yang baik. Ubi talas yang kualitas bagus kemudian dikirim ke Be'chips agar bisa diolah khususnya untuk permintaan ekspor.
"Kita sampai ke plastik, kardus dan lainnya semua pakai lokal walaupun bisa dibeli dari luar negeri. Tapi kita ingin bantu industri lokal juga biar ekosistem di dalam negerinya yang jalan," kata Niko.
Sementara untuk pekerja, lanjutnya, saat ini jumlahnya di Kota Bandung mencapai 19 orang. Selain itu ada juga pekerjaan yang dilakukan di luar Jawa Barat bekerjasama dengan para UMKM lainnya. Niko menyebut bahwa selama ini banyak UMKM yang juga andal dalam membuat produk makanan. Sehingga, ketika ada permintaan yang tinggi dan tidak bisa dikerjakan sendiri di pabrik Be'chips, dia mengajak UMKM lain membuat produk serupa dengan standar perusahaan agar tetap bisa memenuhi order tersebut.
"Jadi tenaga kerja keserap banyak kan di sektor lain," ungkapnya.
Menduniakan camilan dari Jawa Barat agar bisa dicicipi masyarakat luar negeri tidak hanya dilakukan Be'chips. Di Sukabumi, sepasang suami istri, Handry dan Vivi, melakukan hal serupa. Bukan mochi yang selama ini menjadi ciri khasnya, mereka justru membuat keripik tempe dan mampu menghadirkan penganan ini sampai ke Thailand, Malaysia, Kanada, New Zealand, Korea Selatan, sampai Australia.
Handry menuturkan, membuat keripik tempe berawal dari kondisi dia yang tidak bekerja karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia bercerita, awalnya tak ada terpikir untuk menjadi seorang pengusaha keripik tempe. Pekerja kontraktor ini awalnya mengerjakan banyak proyek di Jakarta, tapi pada 2007 dia harus terkena PHK.
Hijrah bersama istri ke Sukabumi, Handry awalnya ingin mencari pekerjaan yang mirip. Sayangnya niatan itu tidak mudah karena lowongan pekerjaan di Sukabumi tidak banyak. Dia kemudian bekerja sebagai tim pemasaran rokok yang dijual untuk para petani.
Cukup lama menjadi penjual rokok di lapangan, Handry merasa bosan dengan bekerja untuk orang lain. Dia lantas bersama istrinya yang juga sudah lama terkena PHK mencoba berwirausaha sendiri dengan berjualan keripik tempe.
"Pas 2014 ini saya coba buat keripik tempe ini. Perjalanannya sangat panjang banyak tantangannya sampai sekarang bisa sebesar ini," kata Handry ditemui di Sukabumi ketika melakukan ekspor keripik tempe Kahla ke Arab Saudi beberapa waktu lalu bersama Bank Indonesia Jawa Barat.

Sang istri, Vivi, menuturkan bahwa selama ini tempe sering dianggap sebagai makanan orang kecil bahkan orang miskin. Padahal tempe ini sudah menjadi makanan tradisional dari Sukabumi bahkan di daerah lain di Indonesia juga. Ingin mengubah persepsi itu, Vivi coba berkreasi agar tempe bisa dinikmati bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.
"Ada segelintir orang yang bilang tempe ini makanan orang bawah, makanya saya geregetan ingin tempe ini dikenal banyak orang," kata dia.
Ketika awal berjualan Vivi langsung terjun di bisnis keripik tempe. Dia menilai tempe yang dijadikan keripik ini bisa tahan lebih lama untuk dikonsumsi ketimbang tempe basah yang biasa dijual di warung. Perlahan tapi pasti, tempe buatannya mampu diterima lidah masyarakat, bahkan sejak 2016 dia coba menjualnya ke luar negeri melalui sejumlah teman dan saudara yang bekerja di sana.
"Sekarang kita mampu memberdayakan masyarakat sekitar juga dari keripik tempe," kata dia.
Keberhasilan ekspor keripik tempe ini tidak terlepas dari berbagai pelatihan dan pendampingan dari KPwBI Jabar membentuk landasan transformasi Kahla, dari segi promosi, kemasan, pengelolaan keuangan, hingga kesiapan menghadapi pasar ekspor. Tak hanya itu, Kahla juga terlibat aktif dalam program Onboarding UMKM digital yang menjadi bagian dari upaya digitalisasi UMKM untuk meningkatkan efisiensi produksi, distribusi, serta promosi melalui kanal digital seperti di lokapasar dan media sosial.
2. Produk dari Indonesia makin digemari warga asing

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, produk UMKM dari Indonesia termasuk makanan sangat digemari di luar negeri. Per April 2025 saja, nilai ekspornya mencapai 57,61 juta dolar AS (Rp947,4 miliar). Angka fantastis ini didapat dari serangkaian business matching yang diikuti ratusan pelaku usaha lokal, termasuk banyak yang baru pertama kali menjajaki pasar global.
Dari total tersebut, 36,11 juta dolas AS (Rp593,8miliar) sudah berupa purchase order (PO), sementara 21,49 juta dolar AS (Rp353,4 miliar) masih dalam tahap potensi transaksi. Kegiatan business matching ini difasilitasi oleh perwakilan dagang Indonesia di 33 negara, melibatkan 46 Atase Perdagangan dan ITPC secara daring. Program ini membantu UMKM mempromosikan produk, eksplorasi pasar, dan bertemu calon pembeli luar negeri secara langsung.
Peningkatan ekspor itu salah satunya didapat dari penjualan Be'chips yang mendapatkan pelatihan dari berbagai lembaga pemerintah termasuk Kementerian Perdagangan (Kemendag). "Tentu ini menjadi motivasi untuk UMKM lain bahwa ekspor itu bukan hal yang mustahil bisa dilakukan dan kita juga bisa menguasai pasar dagang internasional," ungkap Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Fajarini Puntodewi.
Menurutnya, Jawa Barat ini menjadi provinsi kedua yang UMKM-nya mampu memberikan pendapatan besar untuk pemerintah dari segi ekspor. Artinya ekosistem untuk menjual barang ke luar negeri dari provinsi ini sudah ada tinggal bagaimana meningkatkannya termasuk melalui pelatihan dan bantuan pencarian pasar.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Muhamad Nur menyebut bahwa ekspor ini merupakan langkah penting dalam meningkatkan daya saing UMKM lokal di kancah global. Hal ini juga sejalan dengan tujuan program pengembangan UMKM yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mendorong UMKM naik kelas. Dari kelompok subsisten, naik kelas menjadi UMKM potensial, lanjut ke UMKM Sukses, lalu UMKM Go Digital, hingga UMKM Ekspor sehingga turut berperan dalam memperkuat neraca pembayaran Indonesia.
Melalui kegiatan pelepasan ekspor sepeti yang dilakukan Be'chips dan Kahla, diharapkan makin banyak UMKM di Jawa Barat yang termotivasi untuk meningkatkan aspek 5K (Kualitas, Kuantitas, Kapasitas, Kontinuitas, Kemasan) dan 2S (Standarisasi dan Sertifikasi) sehingga semakin berdaya saing di pasar internasional.
"Keberhasilan ekspor ini diharapkan juga menjadi inspirasi bagi pengusaha UMKM lainnya untuk terus berkembang dan berkontribusi dalam mendorong ekspor Jawa Barat" kata dia
Pada Triwulan II 2025, Nur memastikan ada pertumbuhan positif dari segi ekspor sebesar 0,63 persen (yoy/tahunan) meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 0,25 persen (yoy). Bank Indonesia bersama Pemerintah Daerah dan Kementerian/Lembaga lainnya akan terus memperkuat sinergi dan kolaborasi guna mendukung UMKM Indonesia naik kelas, sehingga turut berkontribusi dalam upaya mendukung target pertumbuhan ekspor Indonesia sekitar tujuh persen pada 2025.
Terpisah, Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Muslimin Anwar mengatakan bahwa saat ini tantangan global ekspor dikenakan tarif resiprokal di Amerika, maupun terkait geopolitik internasional dan dalam negeri. Maka perlu dilakukan beragam kegiatan termasuk pelatihan agar UMKM bisa naik kelas dan memberi dampak pada penguatan pasar ekspor produk dalam negeri.
Salah satu kegiatan yang diselenggarakan BI Jabar adalah Karya Kreatif Jawa Barat (KKJ) dan West Jawa Sharia Ekonomic Festval (WJSEF) beberapa waktu lalu. Pada kegiatan terdapat 200 pelaku UMKM ikut serta untuk mencari konsumen baru termasuk dari luar negeri. Menurutnya, sektor UMKM berkontribusi 61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Oleh karena itu, keberadaan UMKM harus terus diperkuat, salah satunya agar lebih banyak yang mampu menembus pasar mancanegara.
"KKJ mempertemukan dari kalangan berpotensi dengan penyuplai dalam hal ini UMKM binaan. Kemudian terjadilah transaksi yang kita harapkan,” jelas Muslimin Anwar.
3. Kolaborasi jadi kunci

Tantangan pelaku usaha kecil mikro kecil menengah (UMKM) di tengah persaingan pasar yang semakin ketat tidak bisa lagi dijawab dengan kerja individu. Pelaku usaha kecil dituntut untuk membangun jejaring, memperluas kolaborasi, dan mencari mitra yang mampu membuka pintu pasar yang lebih besar.
Salah satu tantangan pelaku saat ini adalah produk UMKM memiliki potensi besar, namun terhambat akses pasar. Ketua DPD Aprindo Jawa Barat, FX Yudi Hartanto mengungkap, dengan pola kemitraan, produk UMKM bisa masuk rak-rak toko atau ritel modern.
"Atau dipromosikan dalam kegiatan bersama, sehingga memperkuat branding sekaligus meningkatkan daya saing," kata Yudi.
Menurut Yudi yang juga Head of Administrator Borma Group kemitraan lokal adalah pintu masuk nyata bagi UMKM untuk naik kelas. Bekerja sama dengan ritel modern, koperasi, maupun komunitas bisnis akan memberi UMKM ruang untuk memperluas distribusi sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen.
“UMKM tidak bisa lagi berjalan sendiri, tapi harus menjadi bagian dari ekosistem bisnis yang saling mendukung,” tegasnya.
Lelly Christin selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Bunda Mulia, yang menekankan pentingnya inovasi berkelanjutan dalam strategi UMKM. Menurutnya, inovasi berkelanjutan tidak hanya terletak pada produk, melainkan juga dalam model bisnis, pemasaran, hingga pengemasan produk yang ramah lingkungan.
“UMKM kuat bukan hanya karena produknya, tapi juga karena strategi yang dijalankan dan inovasi yang konsisten. Pelaku usaha harus mampu membaca peluang, mengelola sumber daya, dan membangun diferensiasi agar tetap relevan di pasar,” jelas Lelly.
Sementara itu, Ketua Bidang UMKM Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI), Irwan S Widjaja lebih menyoroti pentingnya kurasi produk UMKM agar bisa masuk ke pasar modern. Menurutnya, kurasi bukan sekadar proses seleksi, tetapi juga bentuk pendampingan untuk memastikan produk memiliki kualitas, legalitas, dan kelengkapan standar yang diakui konsumen maupun retailer.
Ia menuturkan, kurasi berfungsi sebagai filter yang membantu UMKM menampilkan produk yang relevan, berkualitas, dan siap bersaing. Faktor seperti legalitas usaha, sertifikasi halal, izin edar BPOM, hingga kelengkapan informasi pada label kemasan merupakan syarat mutlak yang perlu diperhatikan.
"Tanpa itu, produk UMKM akan sulit menembus pasar modern maupun global,” tegas Irwan.