Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sejumlah Tokoh di Jabar yang Layak Dapat Gelar Pahlawan

perjuangan tanah pahlawan

Bandung, IDN Times - Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah menyiapkan sejumlah nama untuk diusulkan meraih gelar pahlawan nasional. Nama-nama tersebut dianggap layak menyandang gelar pahlawan karena memiliki peran penting bagi Indonesia.

Pengkajian calon pahlawan ini bakal dilakukan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) yang dipimpin Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra. Dia merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad).

Prof. Dr. Reiza pihaknya telah mendapat rekomendasi sejumlah nama dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan akan segera dikaji. Di antara nama-nama tersebut adalah Lasminingrat dari Garut, Soleh Iskandar dari Bogor, dan Solihin GP.

Pada 2024, sudah ada dua nama yang diusulkan yaitu R. Suryadi Suryadarma dari Cirebon dan Abbas Abdul Jamil dari Kabupaten Cirebon, yang telah diajukan pada Maret 2024.

Prof. Reiza menjelaskan bahwa proses pengajuan Suryadi Suryadarma telah diterima oleh TP2GP dan akan dibahas oleh dewan gelar yang bersidang pada September atau Oktober. Ia berharap usulan ini bisa lolos dan bersaing dengan provinsi lainnya, mengingat Suryadi Suryadarma memiliki kualifikasi yang sangat baik sebagai calon Pahlawan Nasional.

"Suryadi Suryadarma adalah tokoh yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) pertama dan terlama dalam sejarah Indonesia, serta turut menginisiasi pembentukan BKR pada masa Presiden Soekarno," ujarnya, Selasa (5/11/2024).

Selain itu, pengusulan nama Mochtar Kusumaatmaja dan Ibu Inggit Garnasih juga masih dalam daftar tunggu untuk dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional.

Prof. Reiza berharap pemerintah daerah dan masyarakat Jawa Barat, termasuk di pemerintahan pusat, dapat mendukung proses pengusulan ini melalui lobi-lobi yang diperlukan.

Berikut sejumlah nama yang dianggap layak mendapat gelar Pahlawan Nasional:

1. Lasminingrat, tokoh intelektual perempuan dari Garut

IDN Times/Istimewa

Dikutip dari laman budaya.jogjaprov.go.id, Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada than 1843. Dia merupakan putri seorang ulama/kyai, penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria.

Lasmi juga merupakan istri kedua dari Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut. Wafat pada 10 April 1948 dalam usia 105, jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya.

Lasminingrat memiliki kecerdasan luar biasa, di mana ia mendapat pendidikan di sekolah Belanda di daerah Sumedang. Selama di Sumedang, Lasminingrat diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman.

Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya.

Perjuangan Lasminingrat diawali dari dunia kepenulisan. Salah satu buah tangannya dengan menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid, kemudian Warnasari Atawa Roepa-roepa Dongeng. Kedua karyanya tersebut telah menjadi salah satu buku pelajaran bukan saja di Garut, tetapi tersebar hingga daerah luar jawa yang diterjemahkan dalam Bahasa Melayu.

Setelah menikah dengan Bupati, perhatian Lasminingrat beralih ke bidang pendidikan khususnya pendidikan untuk perempuan yang diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Kautamaan Puteri pada 1911 setelah berhasil mendukung usaha Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Putri.

Tidak banyak orang mengetahui atau mengenal Lasminingrat, yang disebut oleh “Sang Pemula” sebagai pribadi perempuan yang berada di luar zamannya. Padahal sebutan itu sendiri mempunyai arti kekaguman yang mendalam terhadap seorang perempuan yang tampil lain dari perempuan pada umumnya.

Dalam usia ke-32 tahun dalam kesibukannya sebagai istri kedua Bupati, ia berhasil menyadurkan banyak cerita karya Grimm yang popular di Eropa. Tujuan penyadurannya itu tidak lain agar masyarakat, khususnya perempuan Sunda, dapat membaca karya-karya penulis Eropa tersebut dan mengambil hikmahnya.

Kumpulan sadurannya itu kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1875 oleh percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerji, dengan judul Tjarita Erman. Pada tahun berikutnya atau 1876, terbit karyanya yang kedua yang diberi judul Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng.

2. Sholeh Iskandar, salah satu pendiri LVRI

IDN Times/Istimewa

Nama lain yang coba diajukan dapat rekomendasi gelar pahlawan nasional adalah Sholeh Iskandar. Di Kota Bogor saat ini, nama Sholeh lebih banyak dikenal sebagai nama jalan.

Sholeh Iskandar adalah sosok ulama dan pejuang asal Bogor yang semasa hidupnya telah memberikan sumbangsih yang cukup besar saat masa revolusi maupun pasca-revolusi mulai dari tingkat lokal hingga internasional.

Hal itu dipaparkan Edi Sudarjat dalam bukunya yang berjudul Bogor Masa Revolusi 1945-1950, Sholeh Iskandar dan Batalyon 0 Siliwangi terbitan Komunitas Bambu, Juni 2015.

Mengutip laman kotabogor.go.id, dijelaskan bahwa saat masa revolusi Sholeh Iskandar memimpin pasukan yang jumlahnya mencapai seribu personel. Saat memimpin Batalyon VI salah satu bukti ketangguhannya mampu meledakan tank baja sekutu terbesar jenis Sherman di daerah Leuweung Kolot, Ciampea, Bogor.

Lokasi peledakan itu kemudian dinamai Kampung Tank dan Batalyon VI direorganisasi menjadi Batalyon 0.

Pasca-revolusi, tidak sedikit capaian yang ditorehkan Sholeh Iskandar yang juga dikenal sebagai kyai. Pada 1950 Sholeh Iskandar membangun perumahan modern di Desa Pasarean, Pamijahan, Bogor, sehingga prestasinya diakui UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai perumahan modern pertama di dunia ketiga.

Kemudian di tahun 1960, Sholeh Iskandar mendirikan lembaga pendidikan agama sekaligus keterampilan hidup yang pertama di dunia Islam internasional yaitu Pondok Pesantren (Ponpes) Pertanian Darul Fallah di Ciampea, Bogor.

Selanjutnya pada 1988 ia memprakarsai berdirinya Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika majelis Ualam Indonesai (LPPOM MUI) yang kemudian berkembang menjadi lembaga sertifikasi halal tingkat internasional.

Di tingkat nasional, pada 1959 bersama rekan-rekan seperjuangannya, Sholeh Iskandar mendirikan perusahaan Karoseri pertama di Indonesia, yang pada 1963 direorganisasi membentuk PT.Gunung Tirtayasa.

Ia juga mendirikan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) tahun 1957; mendirikan museum perjuangan Bogor (1958); hingga mendirikan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Jawa Barat (1972) yang berkembang menjadi Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKPPI).

Sementara itu di level nasional, pejuang yang lahir pada 5 April 1922 itu mendirikan Universitas Ibnu Chaldun Bogor (1961) dan diubah menjadi Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) pada tahun 1974; mendirikan Yayasan Rumah Sakit Islam Bogor (YARSIB) yang kemudian berhasil membangun Rumah Sakit Islam Bogor; hingga memprakarsai berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Ummah (1992).

Saat meninggal Sholeh dikebumikan di Desa Barengkok, Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

3. Solihin GP

Dok. Antara News

Solihin GP atau biasa disapa Mang Ihin merupakan mantan Gubernur Jawa Barat pada periode 1970-1975. Dia dilahirkan sejak 97 tahun yang lalu, yakni pada 21 Juli 1926. Solihin mengenyam bangku pendidikan di antaranya Europeesche Lagere School (ELS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bogor; Sekolah Staf Komando Angkatan Darat; dan US Army Infantry School.

Adapun sebelum menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Solihin GP mengawali kariernya di dunia militer terlebih dahulu.

Selain itu, dia juga dikenal dengan sebutan sesepuh Jawa Barat dan Siliwangi. Dia juga merupakan pendiri Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

Lebih lanjut, berikut perjalanan karir Solihin GP selama hidupnya: (1954-1956) Guru SSKAD di Bandung; (1964-1968) Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar; (1968-1970) Gubernur Akabri Umum dan Darat di Magelang; (1970-1975) Gubernur Jawa Barat; (1977-1992) Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan; (1992-1997) Anggota Dewan Pertimbangan Agung; hingga (1998) Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Solihin wafat tahun ini tepatnya pada 5 Maret 2024 pada usia ke-97 tahun.

4. Soerjadi Soerjadarma, tokoh pendiri AURI

Foto Suryadi Suryadarma. IDN Times/Istimewa

Soerjadi Soerjadarma lahir di Kota Banyuwagi, Propinsi Jawa Timur, 6 Desember 1912, anak dari R. Suryaka Soerjadarma pegawai bank di Banyuwangi, yang masih memiliki garis keturunan dari Kraton Kanoman, Cirebon.

Buyutnya adalah Pangeran Jakaria alias Aryabrata dari Kraton Kanoman. Sedangkan kakeknya adalah Dokter Pangeran Boi Suryadarma. Suryadarma ikut keluarga kakeknya di Jakarta setelah menjadi yatim piatu.

Kariernya diawali ketika Suryadarma mengikuti pendidikan perwira di KMA (Koninklijke militaire Academic), yang saat itu hanya ada di Breda Negeri Belanda. Kemudian pada September 1931, ia mendaftarkan diri masuk pendidikan perwira di KMA Breda dan menjadi kadet (taruna) KMA.

Dasar-dasar kemiliteran dan kepemimpinan Suryadarma diperolehnya ketika mengikuti Akademi Militer di Breda, Belanda, yang ditempuh selama tiga tahun. Setelah lulus dari Akademi Militer Breda pada 1934, Soerjadarma ditempatkan di Satuan Angkatan Darat Belanda di Nijmigen, Negeri Belanda. Satu bulan kemudian ia dipindahkan ke Batalyon I Infantri di Magelang sampai bulan November 1936.

Dengan status sebagai perwira dengan pangkat Letnan Dua, akhirnya Soerjadarma mendaftarkan diri sebagai Calon Cadet Penerbang.

Suryadarma tercatat dua kali mengikuti tes masuk Sekolah Penerbang, namun selalu gagal dengan alasan ia menderita sakit Malaria. Namun berkat keuletan dan kemauan yang keras, pada tes yang ketiga Soerjadarma akhirnya dapat diterima menjadi siswa penerbang yang diselenggarakan di Kalijati.

Pada masa penjajahan Jepang, para perwira KNIL mendapat kesempatan untuk melarikan diri ke Australia, namun Soerjadarma tetap memilih untuk tetap tinggal di tanah air. Selama penjajahan Jepang, Soerjadarma banyak mengalami kesulitan. Melalui ajakan Komisaris Polisi Yusuf, ia menjadi Polisi Jepang,  meski sesudah proklamasi ia bergabung dengan pejuang-pejuang bangsa lainnya dalam mempertahankan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia.

Suryadarma ikut serta dalam berbagai pergerakan pascakemerdekaan. Dia dipercaya sebagai Kepala Staf TRI AU dengan pangkat Komodor Udara paa 1946. Tugas dan tanggung jawab Soerjadarma sebagai KSAU cukuplah berat, lebih-lebih pada waktu itu masih banyak masalah nasional maupun masalah dalam tubuh AURI sendiri yang harus diselesaikan dan dibenahi.

Lahirnya AURI bersamaan waktunya dengan masa perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan dan mempertahankan kedaulatan serta kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Sejak memegang pimpinan AURI, Soerjadarma banyak melakukan penerbangan ke berbagai daerah di Indonesia. Ia dengan berani ikut terbang ke Yogyakarta, dari cross-country flight ke Gorda (Serang), dengan menggunakan Cureng, pesawat peninggalan Jepang.

Pada 27 Februari 1948, Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma mendapat tugas rangkap sebagai KSAP (Kepala Staf Angkatan Perang) Republik Indonesia. Dan ketika Belanda melakukan aksi Militer II tahun 1948, ia ikut tertawan bersama pimpinan Republik yang lain, dan dibuang ke Pulau Bangka.

Kemudian tahun berikutnya, dalam memperkuat delegasi Indonesia menghadapi perundingan dengan pihak Belanda di KMB, Soerjadarma turut sebagai penasihat militer.

Pada 2000 Suryadarma dikukuhkan oleh KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan sebagai Bapak AURI sesuai surat keputusan KSAU nomor SKEP/68/VI/2000 tanggal 20 Juni 2000.

Selain itu, untuk mengenang jasa-jasanya, sejak 7 September 2001 nama Soerjadi Soerjadarma diabadikan menggantikan nama Lanud Kalijati. Dipilihnya Lanud Kalijati didasari karena merupakan salah satu pangkalan cikal bakal berdirinya TNI Angkatan Udara, yaitu tempat dilaksanakannya sekolah penerbang pertama dan sekolah-sekolah pendukung penerbangan lainya.

5. KH Abbas Abdul Jamil

Dok. Nu Online

KH Abbas Abdul Jamil atau lebih dikenal dengan Kiai Abbas Buntet, adalah seorang ulama yang berasal dari Buntet Cirebon, yang merupakan tokoh penting dalam Pertempuran 10 November 1945 dan dikenal dengan 'Sang Macan dari Barat'.

Ulama asal Cirebon itu dikenal sebagai Panglima Perang dalam Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan ia juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Dia merupakan putra sulung dari KH Abdul Jamil. Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, itu lahir pada 24 Dzulhijah 1300 H atau 1879 M di Cirebon. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar ilmu-ilmu agama, baik yang ia peroleh secara langsung dari sang ayah maupun ulama yang lain.

Ia belajar dengan Kiai Nasuha dari Plered, Cirebon, kemudian pesantren di Jatisari yang diasuh Kiai Hasan. Ia memperdalam ilmu tauhid kepada Kiai Ubaedah di Pesantren Giren, Tegal.

Ia menimba ilmu di Pesantren Tebuireng di Jombang bersama KH Hasyim Asy'ari.

Selama nyantri di Tebuireng, ia dikenal sebagai sosok pemuda yang cerdas, pemberani, pandai bergaul, berjiwa pemimpin, terampil, dan penuh kreativitas. Ia pun menjalin persahabatan dengan KH Wahab Chasbullah, putra KH Hasbulloh Said, pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang.

Ketika era sebelum merdeka, Pemerintah Kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya mendirikan banyak sekolah dengan tujuan bisa menghancurkan kekuatan para kiai dan pesantrennya. Untuk itulah, Kiai Abbas mendirikan madrasah di bawah pesantren dengan tujuan tetap bisa mengikuti perkembangan zaman, tapi eksistensi pesantren tetap dipertahankan.

Resolusi jihad dan perlawanan terhadap penjajah terus dilakukannya. Selain tampil dalam forum dalam organisasi pergerakan nasional, ia juga sering tampil mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan fisik.

Segala tindak-tanduk Kiai Abbas membuat Belanda geram. Berbagai ancaman pun dilakukan, tapi selalu bisa ditangkis olehnya. Ia bahkan mengadakan latihan perang di pesantrennya dan memberi nama pasukannya Asybal dan Athfal.

Begitu pula saat Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Pada zaman revolusi kemerdekaan, Pesantren Buntet tampil sebagai tempat penggemblengan pasukan PETA, Hizbullah, dan Sabilillah.

Saat Belanda bersikukuh melancarkan agresi militer kepada Indonesia sekalipun RI telah merdeka, para tokoh Muslim ini pun tampil untuk melawan. Fatwa resolusi jihad pun dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari.

Kiai Abbas ikut tampil di garis terdepan menuju Surabaya. Dalam perlawanan fisik langsung seperti ini, banyak kaum cendekiawan muslim yang gugur, tetapi tak pernah mematahkan semangat para mujahid yang berjuang demi tegaknya kemerdekaan RI dan Islam.

Pada masa kemerdekaan, Kiai Abbas diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kedudukannya sebagai DPR sementara. Ia menjadi perwakilan para ulama dari Jawa Barat.

Pada 1 Rabiul Awal 1365 H atau 1946, Kiai Abbas mengembuskan napas terakhir. Ia sangat terpukul setelah mendengar penandatanganan Perjanjian Linggarjati yang banyak merugikan bangsa Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
Debbie sutrisno
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us