Cuaca Panas Ekstrem, Petani Cirebon Ubah Pola Kerja

- Produktivitas menurun, hasil panen tak lagi menjamin
- Suhu tinggi mengurangi hasil panen padi hingga 25 persen
- Keterbatasan air dan perubahan pola hujan sulit diatasi
- Petani bawang merah di ujung tanduk
- Tanaman bawang merah cepat busuk akibat tanah terlalu kering
- Harga bawang merah melonjak tajam akibat pasokan berkurang
- Ancaman kesehatan dan masa depan pertanian
- Paparan panas ekstrem dapat menyebab
Cirebon, IDN Times - Gelombang panas yang kian menyengat di Kabupaten Cirebon mulai kembali mengubah ritme hidup para petani. Cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim membuat mereka harus menyesuaikan pola kerja agar tetap bisa bertahan.
Usman, petani padi asal Desa Tegalsari, Kecamatan Plered, mengaku kini tidak lagi bisa bekerja seperti dulu. Jika sebelumnya ia memulai aktivitas sejak pagi, kini jadwalnya berubah drastis.
“Sekarang saya kerja sebelum subuh, berhenti saat matahari naik, lalu lanjut lagi menjelang sore. Kalau dipaksakan siang hari, bisa pingsan karena panasnya luar biasa,” ujarnya, Senin (20/10/2025).
Perubahan ritme kerja itu dilakukan bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, suhu di wilayah Cirebon sering menembus angka di atas 36 derajat Celsius pada siang hari, dengan tingkat kelembapan yang rendah.
Kondisi tersebut meningkatkan risiko dehidrasi, kelelahan, dan heatstroke bagi para petani yang harus bekerja di lahan terbuka selama berjam-jam.
1. Produktivitas menurun, hasil panen Tak lagi menjamin

Selain mengganggu kesehatan, suhu tinggi juga membawa dampak serius terhadap produktivitas pertanian. Usman mengungkapkan, lahan sawah miliknya seluas satu hektare kini tidak lagi mampu menghasilkan gabah seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Biasanya saya bisa panen lima ton per hektare. Sekarang paling banyak tiga ton. Tanaman cepat layu, air irigasi juga lebih cepat kering,” katanya.
Kondisi ini sejalan dengan data global yang menunjukkan setiap kenaikan suhu 1°C dapat menurunkan hasil pertanian padi dan jagung hingga 10–25 persen.
Petani di Cirebon kini menghadapi kenyataan pahit: bekerja lebih berat untuk hasil yang semakin sedikit. Keterbatasan air dan perubahan pola hujan membuat sistem pertanian tradisional sulit beradaptasi.
Jika situasi ini berlanjut, ketahanan pangan daerah bahkan nasional bisa terancam, terutama di wilayah yang bergantung pada produksi pertanian lokal.
2. Petani bawang merah di ujung tanduk

Tidak hanya tanaman padi yang terdampak, komoditas hortikultura seperti bawang merah pun kini berada dalam situasi genting.
Yanti, petani bawang di Kecamatan Babakan, mengaku kerap mengalami gagal panen akibat cuaca yang terlalu panas.
“Bawang cepat busuk karena tanahnya terlalu kering. Air yang disiram pagi hari langsung menguap, jadi tanaman banyak yang mati sebelum waktunya panen,” ujarnya.
Masalah ini tidak hanya memukul petani, tapi juga konsumen. Ketika hasil panen menurun, pasokan ke pasar ikut berkurang. Akibatnya, harga bawang merah melonjak tajam, memicu tekanan inflasi di tingkat rumah tangga.
“Kalau hasil turun, harga di pasar naik. Tapi kenaikan harga tidak otomatis bikin kami untung, karena biaya perawatan juga ikut naik,” tambah Yanti.
Beberapa petani kini mencoba beralih ke sistem kerja shift malam atau menggunakan peneduh sederhana di lahan, namun langkah ini belum mampu mengatasi dampak besar dari perubahan suhu global.
3. Ancaman kesehatan dan masa depan pertanian

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, paparan panas ekstrem dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius seperti dehidrasi, gagal ginjal, hingga gangguan jantung.
Kondisi ini kini mulai dirasakan di pedesaan Cirebon. “Kalau terlalu lama di bawah panas, kepala langsung pusing, jantung berdebar, dan tenggorokan kering,” kata Usman.
Yanti pun mengalami hal serupa. Ia bahkan membatasi jam kerja di ladang agar tubuh tidak kelelahan. Namun konsekuensinya, waktu untuk mengelola lahan semakin sempit.