Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pengamat: Gaya Kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi Narsistic Autocratic

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi turun ke sungai di Sukabumi (IDN Times/Fatimah)

Bandung, IDN Times - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi telah memimpin selama 20 hari lamanya, terhitung sejak dilantik Presiden Prabowo Subianto, Kamis (20/2/2025). Dedi juga sudah melakukan beberapa tindakan yang berdampak kepada masyarakat secara langsung selama 20 hari ini.

Beberapa langkah yang telah dilakukan politisi Partai Gerindra ini di antaranya seperti mencopot jabatan Kepala Sekolah SMAN 16 Kota Depok, Siti Faizah. Hal ini dilakukan karena sekolah kedapatan melakukan study tour di tengah adanya surat edaran larangan piknik tersebut. 

Keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra, terutama dari PHRI. Mereka cemas larangan itu berdampak pada menurunnya jumlah okupansi.

Dedi Mulyadi juga sempat meminta sekolah SMA hingga SMK swasta di Jawa Barat mengembalikan ijazah para siswa-siswi yang ditahan dengan berbagai alasan. 

Persoalan ini muncul bahkan sebelum Dedi dilantik sebagai gubernur, dan akhirnya perkumpulan sekolah swasta baru mengembalikan beberapa ijazah saja, dan meminta pemerintah provinsi memberikan penambahan Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dengan nominal yang ditambah dari sebelumnya yakni Rp600 ribu per siswa.

1. Terlalu narsis

Dedi Mulyadi mantan Bupati Purwakarta 2008-2018

Yang teranyar, ialah soal penanganan banjir untuk wilayah Kabupaten dan Kota Bogor hingga Bekasi dengan mengevaluasi tata ruang dari puncak. Salah satunya yaitu tindakan membongkar kawasan objek wisata Hibisc Fantasy Puncak, dengan alasan tambahan bahwa pembongkaran dilakukan karena ada ketidak-sesuaian izin.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Parahyangan (Unpar) Kristian Widya Wicaksono mengatakan, Dedi Mulyadi merupakan sosok yang autocratic atau memiliki kekuasaan mutlak dan tidak mau mendengarkan masukan.

Widya pun menyindir sikap narsis yang dilakukan Dedi Mulyadi. Hal itu dibuktikan dengan intensitasnya dalam mengunggah konten di media sosial pribadinya.

"Kalau melihat polanya dalam beberapa pekan ini, saya cenderung mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan adalah autocratic. Dalam gaya kepemimpinan ini, sang pemimpin memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi," ujarnya.

"Dengan begitu, pemimpin cenderung mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan pihak yang lain. Hanya saja dengan kebiasaannya yang narsistik dalam media sosial, jadinya saya menambahkan istilah narsistic-autocratic," ujarnya.

2. Berdampak pada organisasi perangkat daerah

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat diwawancara di lokasi wisata Hibisc Fantasy di Puncak, Kabupaten Bogor , Jawa Barat, Kamis (6/3/2025). (Istimewa).

Gaya kepemimpinan seperti itu, Widya memastikan, memiliki dampak negatif. Salah satunya yaitu perangkat daerah di lingkungan Pemprov Jabar tidak mendapatkan informasi yang lengkap atas keputusan sang gubernur.

"Dampaknya bawahan kurang terinformasikan dengan keputusan yang diambil, sehingga tidak jarang bawahan juga tidak mengetahui konsekuensi dari keputusan yang sudah dibuat atasannya," ujarnya.

"Alhasil ketika dampak keputusannya buruk maka bawahan seolah hanya berperan sebagai pemadam kebakaran saja. Berbeda halnya kalau bawahan dilibatkan dari awal dalam pengambilan keputusan," ujar Kristian.

3. Wagub seperti tidak diberikan ruang untuk berperan

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Di sisi lain, Dedi dinilai menjalankan kepemimpinannya secara one man show, tanpa melibatkan wakilnya Erwan Setiawan. Ia menilai hal tersebut tidak baik dan kurang kolaboratif.

Sebab, sejak pelantikan, peran Erwan Setiawan nyaris tak terlihat. Padahal seharusnya menurut dia, Dedi bisa melakukan pembagian tugas dengan wakilnya.

"Dalam beberapa pekan kepemimpinan beliau (Dedi Mulyadi), saya merasakan bahwa peran Wagub (Erwan) kurang tampak. Menurut saya perlu pembagian tugas yang sama di antara keduanya, sehingga tampak sinergitas kepemimpinan keduanya," tuturnya.

Dalam memimpin Jawa Barat, sosok Wakil Gubernur dan Gubernur harus bekerja bersama menjalankan roda kepemerintahan. Namun, yang terjadi saat ini hanya sosok gubernur yang begitu dominan.

"Sebab bagaimana pun masyarakat memilih mereka sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur. Jadi tidak bisa juga jika peran salah satunya begitu dominan sementara yang lainnya tampak seperti tidak bekerja sama sekali," ungkapnya.

Sementara itu baik Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan keduanya merupakan pejabat publik dari hasil Pilkada 2024. Artinya, mereka sama-sama menerima penghasilan dari APBD yang sumbernya dibiayai masyarakat.

"Mereka berdua menerima penghasilan dari APBD yg sumbernya dibiayai dari pajak dan retribusi yang dibayarkan masyarakat sehingga keduanya harus menunjukkan kinerja yang pantas dan accaptable bagi masyarakat Jawa Barat," ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us