Menunggu Tanggung Jawab TNI Dalam Insiden Peledakan Amunisi Garut

Bandung, IDN Times - Mabes TNI Angkatan Darat (AD) masih belum menyampaikan penyebab utama terjadinya kecelakaan dalam peristiwa peledakan amunisi kedaluwarsa di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Senin (12/5/2025). Keterlibatan sipil yang direkrut oleh TNI AD menjadi perhatian khusus berbagai pihak. TNI AD pun didesak bertanggung jawab, dan tidak lagi melibatkan sipil dalam pekerjaan berbahaya itu.
Empat dari total 13 korban peristiwa itu merupakan anggota TNI, dan sisanya tercatat sebagai masyarakat sipil. Keempat anggota TNI ini yaitu Kolonel Cpl Antonius Hermawan; Mayor Cpl Anda Rohanda; Kopda Eri Dwi Priambodo; dan Pratu April Setiawan. Semuanya merupakan Tim Gupusmi 3 Jakarta.
Sementara sembilan warga sipil yang meninggal ialah Rustiawan yang berasal dari Kampung Cimerak, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Korban kedua adalah Iyus, asal Kampung Cidahon, Desa Jatimulya, Kecamatan Pameungpeuk. Sementara korban ketiga bernama Anwar Munawar, warga Kampung Cikoneng, Desa Pameungpeuk, Kecamatan Pameungpeuk.
Selanjutnya, korban keempat yakni Endang Rahmat warga asal Kampung Ciudian, Desa Ciudian, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut; korban kelima yakni Toto Hermanto warga Kampung Cimerak, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong; selanjutnya korban atas nama Irfan Maulana warga Cimerak Desa Sagara Kecamatan Cibalong.
Korban lain yakni Agus Gustaman warga Cimerak Desa Sagara Kecamatan Cibalong; Yusrizal warga Kampung Cimerak Desa Sagara; dan Dadang Iis Kampung Sakamangan Desa Mekarwangi Kecamatan Cibalong.
TNI AD kini masih melakukan investigasi dan menyebut sudah melakukan pemeriksaan dan memintai keterangan terhadap 46 orang saksi guna mengetahui secara pasti penyebab peristiwa tersebut. Para saksi ini berasal dari warga sipil dan juga pihak internal TNI AD.
"Tim investigasi sudah meminta keterangan beberapa saksi, dari masyarakat ada 21 orang dan dari unsur TNI ada 25 orang," ucap Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana melalui keterangan resmi yang diterima, Kamis (15/5/2025).
Selain memeriksa para saksi, TNI AD juga melakukan pencocokan keterangan saksi dengan fakta-fakta yang ada di lokasi kejadian. Selanjutnya, barang bukti yang kini sudah dikumpulkan nantinya akan dianalisis.
"Ada beberapa unsur yang perlu diuji, sehingga itu memerlukan waktu," kata dia.
Sebelum dilakukan investigasi, Wahyu sempat mengklaim jarak peledakan amunisi kedaluwarsa ini sangat jauh dari pemukiman warga. TNI juga mengklaim peledakan ini dilakukan sesuai Standard Operating Procedure (SOP).
Lalu seperti apa keterangan warga mengenai SOP dan jarak peledakan amunisi kedaluwarsa di lokasi? Apakah klaim TNI AD benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan?
Berikut hasil reportase dari IDN Times di lapangan pada 13-14 Maret 2025.
1. Temuan langsung di lokasi: jarak peledakan tidak jauh dari pemukiman

Area peledakan ini diapit oleh tiga rukun warga: RW 12, Kampung Cimerak; RW 13, Kampung Haminte; dan RW 14, Kampung Yayasan atau Pantai Cijeruk Indah. Pintu utama untuk masuk ke lokasi terletak di Jalan Raya Cikaengan-Pameungpeuk di mana ada sebuah plang yang bertuliskan "Dilarang Masuk Daerah Penghancuran Munisi Akfir Gupusmu III", disertai gambar tengkorak dan bendera merah.
Di sekitar area juga terdapat pertanian warga seperti jagung, padi, lahan karet dan satu warung milik warga. Akses jalan menuju lokasi tidak terlalu besar, hanya bisa dilalui satu mobil.
Terdapat pula beberapa jalan kecil yang bisa menyambungkan ke pemukiman warga, salah satunya kampus Cimerak. Adapun area peledakan ada di lahan milik BKSDA.
Sementara jarak antara perkampungan dengan lokasi peledakan cukup dekat. Jika diukur dengan garis lurus dari titik peledakan ke kampung warga berjarak 500-800 meter. Bahkan, itu tidak lebih daripada dua kilometer ke Kampung Yayasan, Kampung Cimerak.
"Kampung-kampung itu yang bersentuhan dengan areal peledakan," kata Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Sagara, Doni David.
IDN Times pun sempat melihat langsung titik peledakan saat pemakaman jenazah korban bernama Toto Hermanto di TPU Haminte. Dari TPU, siapa pun bisa melihat jelas titik peledakan ini. Bahkan, ada jalan kecil yang bisa menembus area peledakan dan tidak dijaga dengan ketat.
2. TNI AD libatkan warga sipil termasuk sembilan orang korban sipil

Dalam penjelasan resminya, Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat tidak menjelaskan secara gamblang keterlibatan sembilan orang warga sipil yang meninggal dunia dalam peristiwa ini. Mereka hanya menyatakan bahwa telah melaksanakan pengecekan terhadap personel maupun kesiapan yang berkaitan dengan lokasi peledakan, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Mereka bahkan memastikan semuanya dalam keadaan aman.
Namun, bicara soal personel, mereka tidak rinci apakah sembilan orang itu masuk dalam bagian atau tidak. Sementara narasumber yang ditemui IDN Times termasuk keluarga korban sipil menyatakan bahwa anggota keluarga mereka sering diperbantukan oleh TNI dalam kegiatan peledakan amunisi kedaluwarsa tersebut.
Seperti korban Agus keluarga dari korban Rustiawan mengungkapkan, almarhum dan dirinya adalah buruh yang bekerja membantu TNI. Bahkan dia sudah melakukan aktivitasnya dalam sepuluh tahun terakhir.
Agus mengakui dirinya berperan membuka amunisi sebelum peledakan. Dia melakukan kegiatan itu tanpa pelatihan khusus dan hanya secara otodidak. "Kami bukanlah pemulung tapi buruh harian yang bekerja dengan TNI. Saya mendapatkan uang harian sekitar Rp150.000 dari adik (korban Rustiawan)" ungkapnya.
Keluarga korban lainnya, Toto, juga memastikan almarhum memang sering dilibatkan dalam proses peledakan ini. Pelibatan itu tidak hanya terjadi di wilayah Garut saja, melainkan juga di luar Pulau Jawa. Artinya, korban diperbantukan oleh TNI AD dalam setiap urusan pemusnahan amunisi.
"Almarhum bukan pemungut, atau pengambil puing-puing sisa ledakan. Itu kan ada sertifikatnya, jadi bukan (pemungut)," kata kaka ipar korban, Siti Aminah.
Salah satu warga Kampung Cimerak, Dede Nurdiana pun membenarkan lima orang korban dari desa yang sama, Rustiawan, Toto Hermanto, Irfan Maulana, Agus Gustaman, Yusrizal, sering diperbantukan oleh pihak TNI AD.
"Jadi korban yang di sini itu pekerja, bukan warga sipil yang memungut. Ini pekerja khusus. Mereka pekerja rutin kalau ada pemusnahan pasti ikut," katanya.
Keluarga korban, Endang Rahmat warga Kampung Ciudian, Desa Ciudian, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut pun memastikan, almarhum bekerja atas ajakan salah satu korban sipil lainnya untuk menurunkan amunisi.
"Suami saya pergi bilangnya mau kerja ambil padi, tapi diajak sama bos kerja nurunin barang peledak. Suami saya itu sopir dan baru ikut kerja sama bos itu (Rustiawan)," kata Dede istri dari Endang Rahmat saat ditemui di RSUD Pameungpeuk.
Bahkan, ongkos dari kerja tersebut belum diketahui berapa besarannya, dan tercatat belum dibayarkan.
"Ongkosnya tidak tahu, karena belum dibayar, dan pernah bilang tiga hari lagi pulang. Hari Sabtu saya sempat mau ke situ, tapi gak boleh karena jauh. Perjalanan tiga jam, dan ada mes di lokasi kejadian," tutur Dede.
3. Pemerintah desa dan kecamatan membenarkan bahwa sembilan korban warga sipil berstatus pekerja

Pernyataan korban sipil dipekerjakan oleh TNI pun diperkuat oleh Camat, Sekdes dan BPD Desa Sagara. Mereka kompak menyebut bahwa sembilan korban sipil sudah lama diperbantukan dan sering mengikuti kegiatan peledakan di luar wilayah Garut.
"Mereka (korban) bekerja sama dengan TNI jadi kuli diperbantukan. Kalau sertifikat kurang tahu kebetulan saya mengikuti tidak sampai selesai," kata Sekdes Desa Sagara, Agus Susanto.
Setali tiga uang, Doni David, Kepala BPD Desa Sagara membenarkan para korban ini sudah lama bekerja bersama TNI untuk peledak amunisi tidak layak pakai. Dalam pernyataannya dia memastikan para sipil ini bekerja otodidak.
"Kalau itu, mereka itu bisanya otodidak. Tidak ada sertifikasi, cuma sering dilibatkan, bahkan sering diundang ke Mabes TNI, Mabes Polri untuk pekerjaan yang sama."
"Beliau itu timnya kurang lebih ada 20 oranglah. Dari 20 orang, satu tim itu, kemarin saja tim Pak Rustiawan itu baru pulang dari Papua, dari Sulawesi, dari Maluku. Itu sama pekerjaannya untuk meledakkan bom," kata Doni.
Sementara, Camat Cibalong, Kabupaten Garut, Faizal mengakui tidak mengetahui secara pasti mengenai hal tersebut. Dia juga belum melihat secara jelas sertifikat keahlian yang banyak disampaikan beberapa pihak termasuk keluarga korban.
"Kalau tadi bahasa ada sertifikat dan sebagainya saya juga tidak melihat secara fisik. Sertifikatnya apa, karena saya tidak ke sana, tapi itu sudah seperti orang yang dipercayai saja," jelas Faizal saat dikonfirmasi, Rabu (14/5/2025).
Adapun salah satu korban yang disebut memiliki sertifikat dan dianggap sebagai ketua kelompok pembantu peledakan amunisi kedaluwarsa dari sipil ini yaitu Rustiawan atau biasa dipanggil Pak Ruh.
Faizal memastikan, Pak Ruh memang sering diandalkan. Soal ia yang menjadi perekrut pekerja sipil lainnya, Faizal tidak mengetahui.
"Pak Ruh itu otodidak atau bagaimana saya tidak mengetahui, tetapi selama sekian puluh tahun Pak Ruh itu andal, bahkan pernah menjadi tutor. Beliau kalau saya dengar itu pernah dibawa ke luar pulau Jawa," kata dia.

4. Komnas HAM dan polisi harus segera ungkap peristiwa ini

Dari semua fakta-fakta ini Mabes TNI masih belum juga memberikan penjelasan mengapa warga sipil dilibatkan dalam proses ini. Alih-alih bisa menjawab hal itu, Amnesty International Indonesia (AII) menilai keterlibatan warga sipil dalam aktivitas pemusnahan amunisi merupakan kecerobohan fatal yang dilakukan oleh TNI. Apalagi, amunisi merupakan barang terbatas.
"Penanganan terhadap amunisi itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Individu yang mengurus amunisi sudah pasti harus dibekali dengan keahlian khusus. Tidak mungkin seseorang yang tidak punya keahlian mengenai bahan amunisi lalu menangani proses pemusnahannya. Itu sangat berbahaya!" kata Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid.
Selain itu, tidak semua anggota TNI dibekali pengetahuan untuk memusnahkan amunisi. Maka, AII mendorong dilakukan investigasi yang menyeluruh dan tidak hanya melibatkan TNI.
"Komisi I DPR di bidang pertahanan juga harus mengambil peran optimal untuk memastikan seluruh fakta yang terjadi di balik peristiwa ini diketahui. Sehingga, keluarga korban memiliki hak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi," tutur dia.
AII juga mendorong Komnas HAM ikut di dalam tim investigasi independen untuk mengusut penyebab jatuhnya korban jiwa dalam pemusnahan amunisi di Garut. Sebab, ada kewajiban negara untuk memastikan hak hidup manusia terlindungi, apalagi berkaitan dengan masyarakat sipil.
"Bahkan, kepolisian sebenarnya wajib ikut serta di dalam proses penyelidikan terhadap perkara ini. Karena perkara itu ada di daerah kepentingan umum, terutama di lahan milik BKSDA dan bukan lahan punya militer," katanya.
Senada dengan AII, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta pengungkapan kasus ini harus dilakukan oleh Komnas HAM di luar internal TNI. Hal ini dilakukan agar menjamin integritas pengusutan, dan kepolisian wajib terlibat, mengingat warga sipil yang menjadi korban cukup banyak serta lokasi kejadian bukan berada dalam zona militer.
"Koalisi meminta Komnas HAM aktif dalam mengambil langkah penyelidikan, guna mengungkap fakta dan mengevaluasi sistem yang ada. Negara tidak boleh mengabaikan korban akibat kelalaian dalam implementasi kebijakan yang berisiko tinggi," ungkap koalisi dalam keterangannya.
5. Sudah saatnya ada UU tata kelola senjata

Sementara kehadiran petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Indonesia masih buram. Sejatinya, tidak ada syarat atau keterangan yang menyatakan memperbolehkan melibatkan warga sipil baik teknis untuk menggali lubang peledakan, atau mengangkut amunisi ke lubang tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemeliharaan Amunisi di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia di mana pasal 10-20 pada hurup I tertulis bahwa;
"Penyingkiran dan preservasi, merupakan kegiatan teknis pemilahan dan pengelompokan jenis amunisi yang kondisinya baik, rusak dapat diperbaiki maupun rusak tidak dapat diperbaiki dalam rangka pemeliharaan dan perbaikan maupun pemusnahan."
Dalam peraturan itu tidak dijelaskan secara rinci mengenai SOP pemusnahannya seperti apa. Merespons hal ini, pengamat militer sekaligus guru besar dari Universitas Padjadjaran, Muradi, menilai sudah saatnya ada peraturan yang jelas mengenai tata kelola senjata, baik untuk amunisi atau lainnya.
"Momentum ini untuk ditata, dikelola. Undang-Undang ini masih yang lama, kemarin sempat dibahas sempat menjadi naskah akademik tapi tidak ditindaklanjuti," ujar Muradi.
"Sekarang kan senjata dan bahan peledak tidak hanya kepentingan militer tapi industri dan itu harus dilakukan tata kelola yang baik," katanya.
Menurut Muradi, beberapa negara lainnya sudah sangat matang dan serius dalam melakukan tata kelola ini, seperti di beberapa negara Asia yang berdekatan dengan Indonesia.
"China sudah jauh lebih rapih, Taiwan juga," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah provinsi juga ikut meminta agar tata kelola ini diperbaiki kembali dan meminta jangan lagi warga sipil dilibatkan untuk membantu pemusnahan amunisi kadaluwarsa itu.
"Ke depannya akan menjadi perhatian utama. Kalau saya sih cenderung warga sipil yang di Garut tidak boleh lagi terlibat dalam kegiatan itu," kata Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Menurutnya, meskipun warga yang dilibatkan tersebut mengaku sudah terlatih dalam kegiatan pemusnahan ini, ada baiknya agar menjaga tidak terjadi peristiwa serupa warga sipil jangan lagi dilibatkan.
"Bukan orang yang terlatih, walaupun dia mengatakan saya terlatih, tapi kan pekerjaannya bukan ranah sipil," tuturnya.