- Menyimpang dari nasionalisme Bung Karno.
- Mengingkari semangat Trisakti.
- Melakukan de-Soekarnoisasi.
- Menjadi simbol anti-demokrasi dan penindasan rakyat.
- Belum ada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Mahasiswa Sukabumi Tegas Tolak Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

- Mahasiswa Sukabumi menolak usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional
- Kajian politik dan historis menunjukkan Soeharto tidak memenuhi syarat moral dan sejarah
- Orde baru dinilai menyimpang dari Trisakti, anti-demokrasi, dan penindasan rakyat
Kabupaten Sukabumi, IDN Times - Gelombang penolakan terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, datang dari kalangan mahasiswa di Sukabumi.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya menegaskan sikap menolak usulan tersebut karena menilai Soeharto tidak memenuhi kriteria moral dan historis sebagai pahlawan bangsa.
1. Kajian Politik: 'Soeharto Bukan Pahlawan'

Sikap penolakan itu disampaikan melalui kajian politik dan historis bertajuk 'Soeharto Bukan Pahlawan, Tetapi Pemimpin yang Tak Pernah Diadili' di Sekretariat GMNI Sukabumi Raya.
Kegiatan tersebut dihadiri para kader dari berbagai komisariat dan dipantik oleh Sekretaris Jenderal GMNI Sukabumi, Rifky Zulhadzilillah, bersama Wakabid Politik, Hukum, dan HAM, Gilang Tri Buana.
"Ini bentuk sikap ideologis kami. Secara moral, hukum, dan sejarah, Soeharto tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009," ujar Rifky, Sabtu (8/11/2025).
Menurutnya, kepemimpinan Soeharto justru menyimpang dari garis nasionalisme Bung Karno dan cita-cita Revolusi Indonesia. "Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme pembebasan, sedangkan nasionalisme Soeharto berubah menjadi nasionalisme penjinakan yang elitis dan pragmatis," katanya.
2. Orde baru dinilai menyimpang dari Trisakti

Wakabid Politik, Hukum, dan HAM GMNI Sukabumi, Gilang Tri Buana, menilai orde baru telah mengingkari ajaran Trisakti Bung Karno yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
"Politik luar negeri yang bebas aktif justru tunduk pada kepentingan Barat. Ekonomi berdikari berubah menjadi kapitalisme kroni, dan budaya bangsa digantikan oleh gaya hidup konsumtif," katanya Gilang.
Ia menambahkan, rezim orde baru juga bersifat anti-demokrasi karena menekan kebebasan politik, membungkam media, serta menindas gerakan mahasiswa, buruh, dan petani.
3. GMNI tolak pemutihan sejarah

Selain itu, GMNI menyoroti politik de-Soekarnoisasi yang dilakukan Soeharto. Menurut mereka, penghapusan peran Bung Karno dari sejarah nasional, pelarangan ajaran Marhaenisme, serta revisi buku pelajaran sejarah pada masa Orde Baru adalah bentuk pengkhianatan terhadap revolusi.
"Bung Karno dijadikan tahanan rumah hingga wafat. Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto tanpa mengakui hal itu sama saja memutihkan sejarah," ujar Rifky.
GMNI juga menolak klaim keberhasilan pembangunan orde baru yang dinilai semu dan hanya memperlebar kesenjangan sosial. Menurut Rifky, pahlawan sejati bukan hanya pemimpin pembangunan, tapi juga penjaga moral dan kemanusiaan. Soeharto, katanya, gagal memenuhi prinsip itu karena meninggalkan jejak pelanggaran HAM, korupsi, dan represi politik.
"Tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran. Penghargaan tanpa pertanggungjawaban hanya akan melukai korban dan keadilan sejarah," ujarnya.
GMNI Sukabumi Raya merumuskan lima alasan penolakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, yaitu:
"Pahlawan bukan yang dipuja kekuasaan, tapi yang membebaskan rakyat dari penindasan. Soeharto bukan simbol kepahlawanan, melainkan cermin kegagalan bangsa menegakkan keadilan sejarah," tutur Rifky.


















