Kurangi Emisi, Wakil Ketua MPR Ajak Warga Pindah ke Kompor Listrik

Bandung, IDN Times - Penggunaan gas dalam LPG yang dipakai untuk berbagai kebutuhan khususnya memasak di rumah masih dianggap lebih buruk dampaknya pada lingkungan dibandingkan dengan kompor listrik. Di sisi lain, saat ini LPG yang dipakai masyarakat gasnya masih banyak yang harus dibeli dari luar negeri.
Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengatakan, Indonesia merupakan negara yang begitu kaya dengan sumber-sumber energi terbarukan. Namun, sangat disayangkan kekayaan tersebut masih belum banyak tereksplorasi sehingga Indonesia masih bergantung pada impor minyak bumi dan gas untuk memenuhi kebutuhan sumber energi masyarakat.
"Kalau kita bisa memanfaatkan seluruh sumber energi terbarukan, kita bisa mengganti energi dari sumber fosil. Namun, untuk mengeksplorasi semua sumber energi terbarukan itu membutuhkan dana yang cukup besar," kata Eddy dikutip dari laman Unpad.ac.id, Minggu (27/4/2025).
1. Penurunan emisi terus diupayakan
Melakukan transisi energi, lanjutnya, juga tidak boleh mengorbankan ketahanan energi kita yang relatif rentan karena ketergantungan Indonesia pada impor yang masih besar. Tidak hanya menambah pengeluaran yang dibutuhkan oleh negara, penggunaan sumber energi fosil juga sangat tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan transisi energi dari energi sumber fosil menjadi energi terbarukan yang lebih hijau.
Eddy menjelaskan bahwa salah satu peran pemerintah dalam mempersiapkan transisi energi adalah dengan menyusun perangkat hukum untuk merancang fase transisi energi yang akan dikembangkan sekaligus memastikan bahwa terjadi penurunan emisi karbon dan menciptakan ketahanan energi. Tidak hanya itu, hal lainnya adalah dengan meningkatkan penyediaan transportasi umum bertenaga listrik untuk masyarakat.
“Industri juga harus diberikan peringatan terkait dengan emisi yang telah dikeluarkan, rumah tangga yang masih menggunakan LPG bisa diganti dengan kompor listrik, peningkatan kualitas bahan bakar untuk menurunkan emisi yang dihasilkan, saat ini juga mengembangkan teknologi Carbon Capture Storage (CCS), yaitu menginjeksi emisi karbon ke dalam reservoir kosong bekas pengeboran minyak, dan penerapan pajak karbon,” kata Eddy.
2. Perguruan tinggi harus banyak lakukan riset
Untuk mempercepat akselerasi transisi energi di Indonesia, Eddy berharap perguruan tinggi dapat ikut serta mengambil peran melalui kolaborasi yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan MPR. Maka, harus ada kolaborasi semua pihak termasuk perguruan tinggi agar bisa mempercepat akselerasi transisi energi di Indonesia.
“Saya ingin mengajak berbagai elemen untuk berkolaborasi, khususnya kalangan kampus karena yang dihasilkan adalah informasi berbasis riset. Teman-teman kampus mari kita berpikir, mari kita berkontribusi terhadap usulan-usulan yang bisa mempercepat proses akselerasi transisi energi ini agar lingkungan menjadi lebih baik,” ujarnya.
3. Unpad sudah mulai lalukan peralihan energi
Sementara itu, Kepala Pusat Keselamatan, Keamanan, dan Ketertiban Lingkungan Unpad Dr. Irwan Ary Dharmawan, S.Si., M.Si., menyampaikan bahwa saat ini Unpad telah menggunakan sumber energi baru dan terbarukan yang berasal dari surya panel untuk memenuhi 9% kebutuhan listriknya. Berbagai upaya terkait penghematan energi juga telah dilakukan, serta penanganan limbah air dan sampah yang ada di lingkungan kampus Unpad.
“Energi baru dan terbarukan yang ada di Unpad sudah mulai bergerak dengan menggunakan solar panel yang saat ini total produksinya 355 KWH dan ini baru memenuhi sebanyak 9% sumber energi yang dibutuhkan di Unpad. Oleh karena itu, kita akan menambah kapasitas panel surya hingga dapat memenuhi 30% kebutuhan listrik di Unpad,” jelas Irwan.*