Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisruh Royalti Musik, UMKM Wajib Bayar, Pembagian ke Musisi Abu-abu

1354964151.jpg
Ilustrasi konser band. Dokumentasi Band Alone At Last
Intinya sih...
  • Pelaku usaha merasa terbebani
  • Harus ada pembagian royalti yang lebih jelas
  • Penagihan royalti bukan isu baru
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Saat ini, mendengarkan musik di tempat umum seperti kafe, hotel, atau restoran, tidak lagi gratis. Karya tersebut harus dibayar entah itu dari anggaran pemilik usaha atau pembeli melalui barang dan jasa yang mereka dapatkan.

Perselisihan atas royalti ini pun menjadi perbincangan di masyarakat dan pelaku usaha karena mereka merasa keberatan ketika dibebani hal tersebut. Di sisi lain, pembayaran royalti kepada musisi pun dianggap masih membingungkan karena tidak ada rincian secara jelas.

Salah satu pemilik kafe di Kota Bandung, Arnold Dharmmadhyaksa, mengatakan, sejak membuka kafe Jabarano dia sengaja tidak memutar musik dari musisi manapun. Sebab, dia sudah sempat mendengar adanya persoalan royalti yang harus dibayar dari lagu yang diperdemgarkan oleh pembeli di kafenya.

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) pun kemudian dipilih di mana Jabarano sengaja membuat musik sendiri. Sayangnya, usaha ini tetap tidak membuat kafe tersebut lepas dari pemantauan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tempat usahanya tetap mendapatkan surat dari LMKN agar membayar royalti musik yang diputar walau dibuat dengan AI.

"Jadi intinya lagu apapun yang diputar (termasuk hasil AI) ini harus bayar ke mereka (LKMN). Saya juga bingung awalnya, tapi ga mau masalah ya sudah kita bayar saja," ungkap Arnold saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (28/8/2025).

1. Bakal kurangi pemasukan pelaku usaha

ilustrasi mahasiswa sedang buat tugas di kafe (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)
ilustrasi mahasiswa sedang buat tugas di kafe (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Dia menuturkan, uang yang harus dibayar dihitung dari kursi yang ada di tenant setiap tahunnya. Untuk Jabarano sendiri pembayaran terakhir ke LMKN mencapai Rp60 juta.

Arnold mengatakan bahwa pembayaran ini jelas akan berdampak pada pemasukan. Dan untuk menjaga agar arus kas usaha tetap berjalan baik, salah satu caranya adalah menaikkan harga makanan dan minuman yang dijual pada masyarakat.

Meski demikian, cara itu tidak selalu dilakukan semua pelaku usaha. Ada juga pebisnis yang kemudian tidak memasukan biaya tersebut pada produk, tapi jelas akan ada penurunan pada pemasukannya.

"Beda-beda caranya agar mereka tetap bisa bayar ke LKMN tapi juga tidak memberatkan konsumen. Kalau kita sekarang sih masih belum mau menaikkan harga, jadi ya ambil dari kas yang didapat," ungkap Arnold.

Hal lain yang dilakukan Jabarano sekarang adalah menjadi produser musik dan mendaftar ke sebuah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia yang mengelola hak cipta musik para pencipta dan penerbit. Arnold ingin tahu apakah musik yang mereka ciptakan dan ditagih oleh LMKN bisa menjadi uang kembali dari royalti musik.

2. Harus ada pembagian yang lebih jelas

1617896136.jpg
Ilustrasi konser band

Salah satu anggota band Alone At Last, Triyana Mulia Saputra mengatakan bahwa penagihan royalti ini memang pentimg karena itu sudah menjadi hak dari setiap orang baik itu pencipta lagu, komposer, atau pihak lain yang membuat sebuah karya musik bisa didengar, dapat mendapatkan. Sebabm itu memang sudah menjadi hak yang sedari dulu didapatkan, tidak hanya sekarang setelah banyaknya perdebatan.

Meski demikian, keinginan mendapatkan royalti dari musik yang diperdengarkan di kafe atau hotel itu semua kembali lagi ke musisinya, apakah mereka mau mengambil atau tidak. Namun, secara luas memang tetap harus ada royalti dari setiap karya yang kemudian digunakan atau didengarkan orang lain termasuk musik dari band maupun solois.

"Kalau saya sekarang yang jadi pertanyaan besar adalah bagaimana pendistribusiannya sampai mana, seperti apa, karena sampai sekarang di Indonesia masih abu-abu untuk ini (pendistribusian royalti)," kata dia.

Dia menuturkan musisi di Kota Bandung sekarang jumlahnya sangat banyak dan tidak sedikit lagunya yang sudah diperdengarkan masyarakat secara luas. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan royalti tersebut karena memang tidak ada sosialisasi secara masif agar setiap musisi itu paham bagaimana mendapat hak tersebut.

Yang jadi pertanyaan dia dan banyak musisi lain, bagaimana batasan agar sebuah kafe atau tempat tertentu membayar royalti dan kemudian disalurkan kepada musisi. Sebab, tidak ada rincian secara rigid kapan musiknya diperdengarkan, sebanyak apa, sehingga mendapatkan nominal royalti tertentu.

"Sementara untuk saat ini royalty itu dikumpulkan dan dibagikan semua untuk anggota lembaga doang. Misalnya WAMI (Wahana Musik Indonesia, ) lah gitu kan, itu (uang) cuma bisa didistribusikan untuk anggota-anggota WAMI. Lah untuk yang band-band yang mereka dengar tapi tidak terdaftar di WAMI berarti enggak enggak dong?," ungkap Triyana.

3. Upaya penagihan royalti bukan isu baru

Ilustrasi uang rupiah (pixabay.com/Udik_Art)
Ilustrasi uang rupiah (pixabay.com/Udik_Art)

Sementara itu, Adtyawarman Dwi Putra dari pblisher 9iant Music And Publishing mengatakan bahwa pembayaran royalti atas karya yang dihasilkan musisi sebenarnya bukan hal baru. Sistem ini sudah lama disuarakan apalagi di luar negeri royalti yang dibayar kepada musisi adalah sesuatu yang lumrah.

Selama ini pemilik usaha atau masyarakat bisa menikmati musik di mana saja termasuk kafe, restoran, atau hotel, tanpa ada pemasukan kepada pemilik musik tersebut. Sedangkan di negara lain musisi sangat dihargai sehingga royalti dari setiap karya sangat diwajibkan. Terlebih dalam sebuah sebuah karya untuk mendapatkan royalti itu semestinya banyak celah, tidak hanya dalam pemutaran di kafe atau restoran semata saja.

Dia menuturkan, saat ini sudah banyak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berperan penting dalam industri musik untuk mengelola hak ekonomi pencipta lagu dan pemilik hak terkait. Namun, tidak mungkin LMK ini yang kemudian meminta secara langsung ke tempat usaha atau pihak mana saja yang menggunakan karya musik para musisi.

"Bukan hanya lagu ketika sudah rilis yang bisa mendaptkan hak, bahkan ketika itu belum rilis atau masuk produksi saja sudah ada haknya. Nah ini yang belum banyak orang paham termasuk musisinya," ungkap Adtyawarman.

Yang jadi soal sekarang adalah infrastruktur penagihan royalti ini belum terbangun secara baik di dalam negeri. Berbeda hal dengan di luar negeri di mana LMK saja bisa langsung mengirimkan royalti kepada musisi atau publisher secara dengan berapa banyak karya mereka digunakan dalam kegiatan apaun.

Menurutnya, selama ini banyak musisi dari berbagai organisasi bertemu dengan para pelaku usaha. Mereka mendukung industri kreatif Indonesia termasuk para musisi, tapi ketika ditagih royalti pelaku kreatif ini justru mereka keberatan.

"Padahal royalti ini kan ada ketika ada uang yang berputar. Artinya ada orang lain mendapat keuntungan. Misal, ketika ada transaksi duit di situ, ya jelas harus ada hak yang dibayarkan kepada musisi yang musiknya digunakan," papar Adtyawarman.

Dia menyebut bahwa selama ini para musisi memang merasa bahwa royalti yang mereka dapat tidak begitu besar, apalagi untuk band indie. Dengan royalti yang begitu kecil mereka merelakan hal tersebut, padahal sebuah royalti ini bersifat jangka panjang karena sebuah musik bisa didengarkan sampai kapanpun. Maka, penting saat ini untuk para musisi memahami bagaimana karya mereka bisa mendapatkan royalti secara baik sehingga ke depannya profesi sebagai musisi itu tidak dianggap sebelah mata.

Share
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us