Cirebon akan Bangun Pabrik Energi dari Sampah, Siap Gantikan Batubara

- Cirebon akan membangun pabrik energi dari sampah
- Sampah diubah menjadi bahan bakar alternatif pengganti batubara
- Kapasitas fasilitas RDF ditingkatkan dua kali lipat untuk mengolah 100 ton per hari
Cirebon, IDN Times - Kabupaten Cirebon tengah bersiap memasuki era baru dalam pengelolaan sampah. Pemerintah daerah kini menyiapkan pembangunan fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF), yakni teknologi pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif pengganti batubara.
Proyek ini disebut-sebut akan menjadi tonggak penting dalam upaya transisi energi bersih di daerah tersebut.
1. Dari tumpukan sampah ke energi baru

Selama ini, sebagian besar sampah di Kabupaten Cirebon hanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ciledug dan beberapa titik penampungan sementara.
Namun, kondisi itu segera berubah setelah proyek fasilitas RDF rampung. Hasil olahan sampah nantinya akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Fitroh Suharyono, mengungkapkan pihaknya kini tengah memperbarui dokumen Readiness Criteria (RC) yang menjadi salah satu prasyarat teknis pembangunan.
Dokumen tersebut perlu disesuaikan karena data lama sudah tidak menggambarkan kondisi terkini.
“Data volume sampah pada 2022 masih di bawah 60 ton per hari, tapi sekarang sudah mencapai 90 hingga 100 ton per hari. Jadi, semua perhitungan teknis harus direvisi,” ujar Fitroh, Selasa (21/10/2025).
2. Kapasitas ditingkatkan dua kali lipat

Lonjakan jumlah sampah itu membuat desain proyek ikut berubah. Awalnya fasilitas dirancang hanya mampu mengolah 50 ton per hari, namun kini Pemkab Cirebon meminta kapasitasnya dinaikkan menjadi 100 ton.
Tujuannya agar fasilitas baru tidak langsung kewalahan saat mulai beroperasi.
“Mereka awalnya siapkan desain 50 ton, tapi kami minta dinaikkan jadi 100 ton. Ini sedang dihitung ulang kebutuhan infrastruktur dan daya dukungnya,” kata Fitroh.
Pembangunan fasilitas ini dibiayai melalui kerja sama dengan Asian Infrastructure Bank (AIB) yang berperan sebagai lembaga donor.
Penandatanganan kontrak dengan AIB dijadwalkan berlangsung 31 Oktober 2025, bersamaan dengan finalisasi dokumen Detail Engineering Design (DED) dan kajian lingkungan.
Nilai investasi proyek sebelumnya ditaksir sekitar Rp90 miliar, namun angkanya bisa meningkat karena kapasitas yang diperbesar dua kali lipat.
Fitroh menegaskan, tambahan biaya bukan bentuk pemborosan, melainkan langkah antisipatif agar fasilitas RDF bisa beroperasi optimal selama bertahun-tahun.
3. Menyiapkan sistem dan pengelola profesional

Selain urusan teknis, DLH Cirebon juga menyiapkan rencana pengelolaan operasional.
Pemerintah daerah mempertimbangkan dua opsi: memperkuat Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang sudah ada atau mengubahnya menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) agar memiliki fleksibilitas keuangan dan manajemen.
“Pengelolaan RDF ini tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Harus profesional, berkelanjutan, dan terbuka terhadap kerja sama swasta,” jelasnya.
Lahan seluas lebih dari satu hektare sudah disiapkan untuk lokasi proyek. DED sementara telah selesai disusun, dan tinggal menyesuaikan dengan hasil revisi kapasitas. DLH menargetkan konstruksi dapat dimulai segera setelah Kementerian PUPR memberikan izin pelaksanaan fisik.
Fasilitas RDF nantinya akan menghasilkan bahan bakar padat dari sampah rumah tangga yang dapat digunakan langsung di industri semen.
Meski belum bisa dipakai untuk pembangkit listrik, Fitroh optimistis pemanfaatannya akan terus berkembang seiring kebijakan co-firing yang didorong pemerintah pusat.
“Untuk pabrik semen seperti Indocement bisa langsung pakai, karena bentuknya curah. Kalau PLTU masih butuh penyesuaian teknologi pembakaran,” ujarnya.
Menurut Fitroh, proyek ini bukan sekadar solusi teknis terhadap masalah sampah, tetapi juga investasi sosial dan lingkungan. Dengan fasilitas RDF, Cirebon diharapkan