Kala Cirebon dan Brebes Bertaut Lewat Jembatan Gantung Pramuka

- Lebih dari sekadar penyeberangan
Sejak pagi buta, derap langkah warga terdengar bergema di papan jembatan sepanjang 160 meter itu. Ibu-ibu membawa keranjang berisi sayur-mayur, bapak-bapak memikul karung beras atau pakan ternak, dan anak-anak sekolah menyusuri tali pegangan dengan ragu tapi yakin. - Bukan tanpa risiko. Sungai Cisanggarung dikenal ganas saat musim hujan tiba. Air yang meluap bisa naik drastis, menghanyutkan apa pun yang menghalangi arusnya. Beberapa warga masih ingat saat air sempat hampir menyentuh lantai jembatan.
- Lebih dari sekadar penyeberangan
Sejak pagi buta, derap langkah warga terdengar bergema di papan jembatan sepanjang 160 meter itu. Ibu-ibu membawa keranjang berisi sayur-mayur, bapak-bapak memikul karung beras atau pakan ternak, dan anak-anak sekolah menyusuri tali pegangan dengan ragu tapi yakin. - Sungai Cisanggarung dikenal ganas saat musim hujan tiba. Air yang meluap bisa naik drastis, menghanyutkan apa pun yang menghalangi arusnya. Beberapa warga masih ingat saat air sempat hampir menyentuh lantai jembatan.
Cirebon, IDN Times - Di ujung timur Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kalirahayu, Kecamatan Losari, sebuah jembatan gantung sederhana menggantung setia di atas Sungai Cisanggarung.
Di sinilah, ribuan langkah kaki tiap hari bertaruh nyawa demi satu tujuan sederhana: bisa melintas ke seberang, membawa harapan, rezeki, dan keberlangsungan hidup.
Jembatan itu dikenal warga sebagai Jembatan Pramuka, namun maknanya jauh melampaui nama.
Bagi masyarakat Desa Kalirahayu di Cirebon, Jawa Barat, dan Desa Limbangan di Brebes, Jawa Tengah, jembatan ini bukan hanya sekadar rangkaian baja ringan dan tali tambang, tetapi nadi penghubung dua dunia yang berbeda—dua provinsi, dua desa, dan dua realitas yang saling menopang.
1. Lebih dari sekadar penyeberangan

Sejak pagi buta, derap langkah warga terdengar bergema di papan jembatan sepanjang 160 meter itu. Ibu-ibu membawa keranjang berisi sayur-mayur, bapak-bapak memikul karung beras atau pakan ternak, dan anak-anak sekolah menyusuri tali pegangan dengan ragu tapi yakin.
“Kalau tidak lewat sini, kami harus mutar jauh, bisa 7 sampai 10 kilometer, dan itu makan waktu dan ongkos,” tutur Saminah (48), warga Kalirahayu yang tiap hari menyeberang ke Pasar Limbangan di wilayah Brebes.
Pasar Limbangan memang menjadi pusat aktivitas ekonomi warga Kalirahayu. Letaknya yang strategis dan lengkap membuat warga Cirebon bagian timur menggantungkan hidup pada denyut pasar di seberang sungai.
Namun, untuk menuju ke sana, tak ada akses darat lain yang memadai, selain jembatan ini.
2. Bahaya yang menanti

Bukan tanpa risiko. Sungai Cisanggarung dikenal ganas saat musim hujan tiba. Air yang meluap bisa naik drastis, menghanyutkan apa pun yang menghalangi arusnya. Beberapa warga masih ingat saat air sempat hampir menyentuh lantai jembatan.
“Waktu banjir besar tahun kemarin, air sampai nyaris menyentuh kaki. Ngeri, tapi kalau tidak menyeberang, saya tidak bisa jualan,” kata Taryo (55), pedagang sayur yang tiap pagi menyeberang sambil memanggul dagangan.
Karena itu, warga selalu waspada, apalagi bila langit tampak mendung. Tak ada lampu penerangan di jembatan. Bila hari sudah gelap, warga menyeberang hanya berbekal cahaya senter dari ponsel, sambil berharap papan-papan kayu penopang tidak lapuk atau lepas.
Menariknya, jembatan ini bukan hasil proyek formal pemerintah. Ia berdiri berkat inisiatif sosial dari Pramuka Jawa Barat, dibantu relawan Vertical Rescue Indonesia dan dukungan warga sekitar.
Dibangun pada akhir 2021 dalam tempo kurang dari sebulan, jembatan ini mencatat sejarah sebagai jembatan gantung pertama hasil gotong royong Pramuka lintas provinsi.
Material jembatan sebagian didatangkan dari sumbangan berbagai pihak. Proses pembangunannya pun dilakukan secara manual. Tanpa alat berat, warga dan relawan bahu-membahu mengikat, mengangkat, dan menyusun bagian demi bagian. Semua dilakukan dengan prinsip kebersamaan.
3. Simbol solidaritas lintas batas

Kini, jembatan ini tak hanya berfungsi sebagai penghubung fisik, tetapi juga simbol solidaritas. Ribuan orang menyeberang setiap hari, membawa serta cerita tentang bagaimana masyarakat bisa mandiri dan saling peduli, tanpa menunggu program formal pemerintah.
“Warga dari dua desa ini beda provinsi, tapi rasa kekeluargaannya kuat. Kami semua jaga jembatan ini, bersihkan, dan perbaiki bila ada yang rusak,” ujar Warsono.
Di musim panen, jembatan ini semakin sibuk. Hasil bumi dari Kalirahayu, padi, sayur, bahkan ternak, menyeberang ke Limbangan untuk dijual atau ditukar barang.
Di sisi lain, kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya juga mengalir dari Brebes ke Cirebon melalui jalur ini.
Namun usia jembatan kini mulai menunjukkan kerentanan. Beberapa papan sudah mulai rapuh, kabel seling kadang bergetar kencang saat angin kencang menerpa. Belum lagi, bila ada kendaraan roda dua melintas, getarannya bisa membuat pengendara harus ekstra hati-hati.
Warga berharap, pemerintah kabupaten maupun provinsi bisa turun tangan, setidaknya membantu perawatan jembatan atau membangun jembatan permanen sebagai akses penghubung dua desa tersebut.
Bagi warga Kalirahayu dan Limbangan, jembatan ini adalah bukti gotong royong bisa membelah keterisolasian, menyambung asa di tengah arus deras sungai dan kesenjangan kebijakan.
“Selama jembatan ini berdiri, kami bisa hidup, bisa sekolah, bisa jualan,” ujar Saminah sambil tersenyum. Di matanya, jembatan itu bukan sekadar jalur penyeberangan, tapi jalan harapan.