Jadi Kontroversi, Penjelasan Dedi Mulyadi Soal Gerakan Poe Ibu

- Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjelaskan kontroversi Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang meminta warga menyisihkan Rp1.000 per orang.
- Penjelasan Dedi Mulyadi bahwa SE ini bukan kebijakan mewajibkan mengumpulkan uang, melainkan ajakan moral untuk menggerakkan solidaritas sosial di lingkungan masing-masing.
- Dedi menegaskan bahwa gerakan ini bersifat sukarela dan uangnya tidak masuk ke kantong pemerintah provinsi atau gubernur, melainkan digunakan untuk membantu masyarakat di daerah itu sendiri.
Bandung, IDN Times - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memberikan penjelasan mengenai Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang belakangan menjadi kontroversial karena mengharuskan para warga menyisihkan Rp1.000 per orang.
Mulanya kebijakan ini keluar melalui Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang mana merupakan ajakan moral agar masyarakat Jawa Barat kembali menghidupkan semangat solidaritas sosial dan gotong royong di lingkungan masing-masing. Namun, masyarakat banyak salah mengartikan.
Dedi memastikan, SE ini bukanlah kebijakan yang mewajibkan masyarakat atau aparatur pemerintah untuk mengumpulkan uang. Ia menampik isu yang menyebut program ini sebagai bentuk pungutan berkedok gotong royong.
"Tidak ada kebijakan gubernur yang nyuruh ngumpulin uang dari mulai anak sekolah, guru, bangunan, ASN, Rp1.000. Tidak ada kebijakan itu," tegas Dedi, Senin (6/10/2025).
1. Dana untuk membantu masyarakat langsung

Menurutnya, ajakan untuk menyisihkan uang tersebut sebagai langkah menggerakan solidaritas sosial. Adapun uang itu digunakan untuk masyarakat di daerah itu sendiri bukan masuk ke kantong pemerintah provinsi atau gubernur.
"Yang ada adalah gubernur mengajak, menghimbau pada seluruh jajaran pemerintah, dari mulai RT, RW, kepala desa, kepala kelurahan, camat, bupati, walikota, untuk sama-sama membangun solidaritas sosial," jelasnya.
Dedi mencontohkan banyak persoalan kecil di masyarakat yang sering luput dari perhatian negara. Misalnya, warga miskin yang mendapat layanan rumah sakit gratis, namun tak punya ongkos untuk menuju rumah sakit atau biaya menunggu keluarga yang dirawat.
"Banyak orang yang rumah sakitnya gratis, tetapi tidak punya biaya untuk ongkos ke rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk nungguin di rumah sakit, tidak punya biaya untuk bolak-balik kemoterapi dari Cirebon ke Jakarta," ujarnya.
2. Aparat kewilayahan harus memantau langsung

Karena itu, ia ingin masalah-masalah kecil seperti itu bisa diselesaikan di tingkat komunitas. Ia mengusulkan agar di setiap RT ada bendahara atau orang yang dipercaya mengelola dana solidaritas sukarela warga.
"Masalah itu harus diselesaikan di tingkat lingkungannya masing-masing, di tingkat RT. Cari bendahara atau orang yang bisa dipercaya. Kemudian setiap hari orang menyimpan uang Rp1.000 di kotak di depan rumahnya. Nanti kalau ada orang sakit dan tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakit, orang yang mengelola uang itu bisa memberikannya," tutur Dedi.
Transparansi juga menjadi poin penting dalam gerakan ini. Ia meminta agar setiap pengumpulan dan penyaluran dana dilaporkan secara terbuka kepada warga, misalnya melalui grup WhatsApp RT.
"Setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA, dan grup WA sangat mudah," katanya.
Dedi menambahkan, di tingkat kabupaten, bupati dapat mengoordinasikan kegiatan ini agar lebih efektif. Ia mencontohkan, rumah dinas kepala daerah bisa menjadi tempat warga mengadu jika ada kebutuhan mendesak.
"Bupati bisa mengkoordinir para agennya. Nanti setiap hari di rumah dinasnya ada yang mengadu, maka dia bisa melayani. Ketika anak tidak punya sepatu ke sekolahnya, maka bisa dibantu," jelas Dedi.
3. Uang tidak masuk ke gubernur atau pemerintah provinsi

Dedi menegaskan, tidak ada satu pun uang hasil gerakan ini yang akan dikelola oleh dirinya pribadi atau pemerintah provinsi.
"Gubernur tidak akan mengambil uang itu dan tidak akan mengkolektifkan. Saya hanya mengelola dan operasional gubernur sampai hari ini yang saya gunakan untuk layanan rakyat di wilayah Jawa Barat. Maka itu juga akan dikelola oleh bendahara yang ditunjuk oleh Sekretaris Daerah," katanya.
Lebih jauh, Dedi menjelaskan bahwa gerakan ini bukan hal baru, melainkan praktik yang sudah lama hidup di masyarakat Jawa Barat.
"Di lingkungan masyarakat di seluruh Jawa Barat banyak sekali daerah-daerah yang sudah melaksanakan ini. Bagi mereka yang sudah melaksanakan tinggal dioptimalkan layanannya, bagi yang belum silakan dicontoh daerah-daerah yang sudah berhasil," ucapnya.
Dedi menekankan kembali bahwa Gerakan Poe Ibu bersifat sukarela, bukan kewajiban. Ia berharap ajakan ini menjadi cara sederhana untuk menumbuhkan empati dan saling membantu di tengah masyarakat.
"Bukan kewajiban, hanya ajakan. Mari kita nolong sesama. Barangkali hari ini kita memberikan sumbangsih pada orang, bisa jadi suatu saat kita yang mengalami kesulitan dan akhirnya ada tempat di mana kita bisa meminta pertolongan," kata dia.