Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Gerakan Poe Ibu Dedi Mulyadi Dikritik DPRD, Dinilai Terlalu Memaksa

IMG-20250826-WA0028.jpg
Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi (IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Intinya sih...
  • Gerakan Poe Ibu Dedi Mulyadi dikritik DPRD Jabar karena dinilai terlalu memaksa masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari.
  • Anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari, menyoroti potensi beban baru bagi masyarakat dan kepatuhan ASN serta siswa sekolah terhadap gerakan ini.
  • Zaini juga mempertanyakan dasar hukum gerakan ini dan mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola keuangan daerah.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi turut mendapatkan kritik dari anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari. Gerakan yang menyarankan agar masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari itu dinilai berpotensi disalahartikan dan memunculkan beban baru bagi masyarakat.

Adapun semangat dari gerakan ini yaitu gotong royong dan solidaritas sesama masyarakat. Namun, Zaini berpendapat kebijakan seperti Poe Ibu yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor: 149/PMD.03.04/KESRA terkesan dipaksakan atas nama solidaritas.

"Terkait dengan gerakan Sapoe Sarebu yang dicanangkan Gubernur Jabar, saya ingin menggarisbawahi, gerakan Poe Ibu ini gerakan yang menurut saya dipaksakan atas nama kesetiakawanan," ujar Zaini, Senin (6/10/2025).

1. Satu sisi sekolah melarang ada iuran tersebut

WhatsApp Image 2025-06-17 at 12.34.15 (3).jpeg
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di Hotel Borobudur Jakarta Pusat (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Dalam SE ini turut mengimbau ASN, siswa sekolah, hingga masyarakat umum menyisihkan uang Rp1.000 per hari untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Zaini menuturkan, hal ini berpotensi menimbulkan persoalan baru. Terutama karena ASN pasti akan mengikuti arahan atasannya.

"ASN, siswa sekolah dan masyarakat diajak untuk menyisihkan seribu. Kalau ASN pasti akan mengikuti apa yang disampaikan oleh atasannya yaitu gubernur. Tapi bicara siswa sekolah, setiap ada pungutan apapun namanya di sekolah, itu dilarang, itu tidak boleh," ujarnya.

"Tapi sekarang gubernur mengajarkan, bahkan dilegalkan kalau itu bagian dari seribu Riah itu seolah-olah soliditas, rereongan ada di situ," ujarnya.

2. Gubernur dinilai menabrak aturan

IMG-20250805-WA0037.jpg
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Zaini mencontohkan, banyak aktivitas masyarakat yang justru dilarang dengan alasan serupa. Ia menyinggung fenomena warga yang meminta sumbangan di pinggir jalan untuk membantu pembangunan rumah ibadah atau pesantren.

"Saya contohkan, di pinggir jalan masyarakat meminta sumbangan bantuan untuk memfasilitasi sarana keagamaan, dilarang juga. Tapi tidak diberi solusinya. Untuk pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan malah jadi nol untuk bantuan hibahnya," ujarnya.

Ketua Fraksi PPP ini juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan dalam gerakan ini. Menurutnya, meski Gubernur Jabar mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, praktik di lapangan justru menunjukkan adanya inkonsistensi dengan regulasi lain.

"Rereongan Sapoe Sarebu ini menyandarkan pada PP Nomor 39 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, tapi di satu sisi Gubernur menabrak terkait rombongan belajar yang tertuang dalam peraturan menteri pendidikan yang sebanyak 36 dioptimalkan jadi 50 siswa," tutur Zaini.

3. Jangan pakai alasam banyaknya laporan

IMG-20250820-WA0013.jpg
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Lanjut Zaini, kebijakan semacam ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola keuangan daerah. Alih-alih mencari solusi struktural terhadap keterbatasan anggaran, pemerintah justru mendorong masyarakat ikut menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

"Menurut saya, model seperti ini tidak bagus di dalam tata kelola bernegara khususnya dalam keuangan. Artinya, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola tata keuangan negara, provinsi, sehingga masyarakat terus dilibatkan, padahal pajak masyarakat sudah hantarkan, sudah bayar," katanya.

Ia juga menyoroti cara pemerintah menggunakan alasan banyaknya pengaduan masyarakat di Lembur Pakuan Subang sebagai pembenaran bagi peluncuran gerakan ini.

"Jangan kemudian dengan dalih banyak masyarakat yang mengadukan ke Lembur Pakuan kemudian dijadikan alasan untuk memperkuat seolah-olah ini bagian dari kesetiakawanan," kata Zaini.

Menurutnya, semangat gotong royong sudah lama hidup di tengah masyarakat tanpa harus dilembagakan lewat surat edaran atau kebijakan formal.

"Masyarakat kalau ada yang sakit, tetangganya pasti bantu. Yang kurang mampu tidak makan, tetangganya pasti bakal bantu. Jadi jangan kemudian direduksi dengan institusionalisasi ini, masyarakat bergerak atas nama edaran. Tidak seperti itu," ucapnya.

"Masyarakat dari dulu rereongan, saling bantu, kerja sama satu sama lain," kata Zaini.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

Pelajar Sisihkan Rp1.000 Per Hari, Orangtua Siswa Kritik Dedi Mulyadi

06 Okt 2025, 15:04 WIBNews