Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Longsor Gunung Kuda yang Mengubur Asa, Menelan Nyawa

Proses pencarian korban di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Proses pencarian korban di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Intinya sih...
  • Longsor Gunung Kuda menelan 25 nyawa, dengan 21 jenazah telah ditemukan. Korban berasal dari berbagai daerah dan usia.
  • Dua pimpinan tambang ditetapkan sebagai tersangka karena melanjutkan operasi tambang meski sudah ada larangan resmi.
  • Tambang Gunung Kuda dianggap sebagai sumber penghidupan, namun kurangnya keselamatan kerja dan reklamasi menyebabkan bencana yang dapat dicegah.

Cirebon, IDN Times - Pagi itu, Jumat (30/6/2025), tak ada yang mencurigakan di kaki Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Seperti hari-hari sebelumnya, kabut tipis masih menyelimuti lereng-lereng berbatu, dan deru mesin ekskavator memecah keheningan pagi.

Di antara para pekerja tambang batu limestone itu, Sukardi (52 tahun) sibuk mengangkut batu. Rutinitas seperti biasanya yang sudah ia jalani lebih dari satu dekade.

Namun semua berubah dalam sekejap. Sekira pukul 10.00 WIB, tanah yang mereka injak berubah menjadi maut. Tanpa aba-aba, longsoran tebing batu setinggi puluhan meter itu ambruk, meluncur deras seperti tsunami tanah dan batu. Jeritan menggema.

Beberapa orang di sana mencoba berlari, yang lain tak sempat. Sukardi termasuk yang beruntung. Meski tertimpa bongkahan batu besar yang mematahkan kaki kirinya, ia berhasil diselamatkan oleh rekan-rekannya.

"Saya lagi angkut batu, tiba-tiba tanah kayak meluncur dari atas. Deras banget. Saya lari, tapi batu besar kena kaki. Untung teman menarik saya," tutur Sukardi, matanya sembab menahan emosi, saat ditemui di Bale Jaya Dewata, Kota Cirebon, Senin (2/6/2025).

1. Deretan nama yang kini hanya bisa dikenang

Korban selamat longsor Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon
Korban selamat longsor Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon

Longsor itu menelan 25 nyawa. Hingga saat berita ini ditulis, 21 jenazah yang berhasil ditemukan. Sisanya, empat orang tertimbun di bawah reruntuhan material longsor sedalam lima hingga sepuluh meter.

Mereka adalah Muniah (45), Heri Santono alias Tono (60), Dedi Setiadi (47), dan Nurhakiman (51)—semuanya warga Kabupaten Cirebon.

Sementara 21 nama korban yang telah ditemukan menjadi potret pilu yang tak akan mudah dilupakan. Dari Andri (41) hingga Puji Siswanto (50), mereka berasal dari berbagai daerah di Cirebon dan sekitarnya, termasuk Bandung, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka.

Usia mereka bervariasi, dari remaja seperti Rion Firmansyah (18), hingga orang tua seperti Sukadi (48) dan Sarwah (36).

2. Kenapa bencana ini bisa terjadi?

Tersangka kasus longsor Gunung Kuda Cirebon Ketua Koperasi Al Azhariyah, AK (kiri) dan Kepala teknik tambang, AR (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Tersangka kasus longsor Gunung Kuda Cirebon Ketua Koperasi Al Azhariyah, AK (kiri) dan Kepala teknik tambang, AR (IDN Times/Hakim Baihaqi)

Penyelidikan oleh Polresta Cirebon mengungkap fakta yang menyayat hati. Dua pimpinan tambang, Ketua Koperasi Al-Azhariyah, Abdul Karim, dan kepala teknik tambang (KTT) berinisial Ade Rahman, resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka diduga secara sadar melanjutkan aktivitas pertambangan meski telah menerima dua surat larangan dari Dinas ESDM, masing-masing tertanggal 6 Januari dan 19 Maret 2025.

"Tersangka AK mengetahui jelas adanya larangan, tapi tetap memerintahkan AR untuk melanjutkan operasi tambang. AR pun menjalankan kegiatan tambang tanpa mengindahkan prosedur keselamatan kerja," kata Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni.

Surat larangan itu dikeluarkan karena belum adanya persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Namun, demi keuntungan ekonomi, larangan itu diabaikan. Tambang terus beroperasi di medan berisiko tinggi, hingga akhirnya bencana terjadi.

Di rumah duka di Desa Cikalahang Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, suara tangis Euis belum reda. Sang istri masih berharap cemas, menunggu kabar dari tim SAR meski pencarian sudah dihentikan sejak Kamis (5/6/2025).

"Kalau bisa jasadnya ditemukan, saya ingin memakamkannya secara layak. Biar hati keluarga yang ditinggalkan tenang," ujar Euis lirih.

Sementara itu, di rumah keluarga Heri Santono di Blok Gambir, suasana tak kalah pilu. Anak-anaknya yang tinggal di luar kota pulang terburu-buru. Foto Heri dalam bingkai kayu dikelilingi bunga melati, meski tak ada jasad untuk disemayamkan.

3. Tambang harapan yang berubah jadi petaka

Gunung Kuda
Gunung Kuda

Tambang Gunung Kuda selama ini dianggap sebagai sumber penghidupan bagi ratusan warga. Batuan limestone dari sini dikirim ke berbagai kota, menopang pembangunan infrastruktur di Jawa Barat. Tapi tambang itu juga menyimpan bahaya besar.

"Kami kerja tanpa helm, tanpa sepatu. Enggak ada latihan evakuasi. Setiap hari, yang penting kerja, kerja, kerja," kata Sukardi dengan nada getir.

Tak ada sistem peringatan dini, tak ada pemeriksaan lereng, bahkan tidak ada pembekalan keselamatan. Semua terabaikan.

AK dan AR kini terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka juga bisa dijerat UU Ketenagakerjaan. Tapi bagi keluarga korban, hukuman itu tidak mengganti apa-apa, dan tak akan mengembalikan nyawa.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengunjungi lokasi bencana, mengatakan, "Ini bukan hanya soal pidana. Ini soal nyawa manusia. Kami akan evaluasi seluruh izin tambang di Jawa Barat. Jangan sampai tragedi seperti ini terulang lagi."

Sukardi kini hanya bisa duduk di rumah menatap dinding kosong. Kakinya masih dibalut gips, tapi luka yang lebih dalam ada di jiwanya. "Saya masih dengar teriakan teman-teman saya waktu itu. Masih kebayang semua...," ujarnya pelan.

Ia tak tahu masa depannya seperti apa. Tapi satu hal yang pasti: ia tak mau kembali ke tambang itu. "Nyawa bukan buat dijual," ujarnya.

4. Pelajaran untuk semua

Proses evakuasi korban longsor tambang galian C Gunung Kuda Cirebon. (Dokumentasi BNPB)
Proses evakuasi korban longsor tambang galian C Gunung Kuda Cirebon. (Dokumentasi BNPB)

Tragedi Gunung Kuda adalah pengingat keras akan pentingnya regulasi, pengawasan, dan kemanusiaan dalam industri pertambangan. Di balik batu-batu yang digali, ada peluh, darah, dan kadang nyawa.

Negara dan pengusaha tambang punya tanggung jawab besar agar setiap pekerja pulang dengan selamat. Tidak ada keuntungan ekonomi yang sepadan dengan satu nyawa pun.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Iwan Ridwan Hardiawan, tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dalam suaranya. "Reklamasi adalah kewajiban hukum. Itu bukan lagi sekadar janji, tapi harus dilakukan,” ujarnya dengan tegas.

Menurut Iwan, reklamasi yang semestinya menjadi upaya pemulihan lingkungan pascatambang telah berkali-kali diingatkan kepada para pengusaha. Namun imbauan itu seperti angin lalu. Lubang-lubang bekas tambang tetap menganga.

Vegetasi tidak pernah kembali tumbuh. Bekas galian berubah jadi gurun batu yang rawan bencana.

“Sejak 2020, wewenang memang ada di pemerintah pusat dan provinsi. Tapi kami tetap memantau. Setiap enam bulan, perusahaan wajib lapor soal pengelolaan lingkungannya. Dan kami tahu, banyak yang tidak sesuai kenyataan di lapangan,” tambahnya.

DLH telah memantau perubahan kawasan tambang Gunung Kuda melalui observasi jangka panjang. Hasilnya mengkhawatirkan. Bentang alam yang dahulu hijau kini berubah menjadi hamparan tanah terbuka. Citra satelit dari tahun 2009 hingga 2025 menunjukkan tren degradasi yang tajam.

Fungsi ekologis tanah ikut rusak. Air hujan yang semestinya terserap, kini mengalir bebas tanpa hambatan, mengikis tanah, mengguyur lereng, dan mempercepat terjadinya longsor.

Tak heran, ketika hujan deras turun pada akhir Mei lalu, dinding tambang yang tak pernah diperkuat itu runtuh begitu saja, menelan pekerja yang sedang beraktivitas di bawahnya.

Ironisnya, kewajiban reklamasi sebenarnya bukan hal baru. Dalam setiap izin tambang, termasuk dokumen UKL-UPL dan AMDAL, terdapat pasal-pasal jelas yang mewajibkan perusahaan menyiapkan rencana dan dana pemulihan lingkungan.

Bahkan, reklamasi seharusnya dilakukan secara bertahap, seiring berlangsungnya kegiatan eksploitasi.

“Reklamasi itu sudah disiapkan dari awal, artinya mereka punya waktu, dana, dan rencana. Tapi tidak dijalankan. Akhirnya, tanah jadi tidak stabil. Bencana seperti ini sebenarnya bisa dicegah,” kata Iwan.

DLH sendiri mengakui bahwa pihaknya tak tinggal diam. Meski wewenang utama kini berada di tingkat provinsi, DLH Kabupaten Cirebon mengklaim tetap melakukan pemantauan dan menyampaikan evaluasi.

“Kami sudah menjalankan fungsi kami. Tapi kami tidak bisa menindak tanpa kewenangan langsung. Karena itu, kami mendorong pemerintah provinsi untuk bertindak lebih tegas. Jangan tunggu kejadian lebih buruk,” tegas Iwan.

Share
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us