Alibi Cuaca Ekstrem Iringi Banjir Bandang Berulang di Kabupaten Cirebon

- Pemerintah daerah menyalahkan cuaca ekstrem sebagai penyebab banjir
- Masyarakat menuntut langkah cepat dan perubahan kebijakan tata ruang
- Banjir merendam permukiman, sekolah, dan pusat usaha di Cirebon
Cirebon, IDN Times - Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dilanda banjir dalam sepekan terakhir. Hujan dengan intensitas tinggi yang turun hampir setiap hari membuat sejumlah kecamatan terendam air dengan ketinggian bervariasi, mulai dari 30 sentimeter hingga mencapai 1,5 meter di titik terparah.
Permukiman warga, sawah, fasilitas umum, hingga akses jalan utama lumpuh. Aktivitas ekonomi warga terganggu, sekolah terpaksa diliburkan, dan sebagian keluarga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, sebanyak 10.827 jiwa dari 4.107 kepala keluarga (KK) terdampak dalam peristiwa tersebut.
Diketahui, banjir merendam 3.923 unit rumah yang tersebar di 24 desa pada sembilan kecamatan. Meski sempat menggenangi permukiman, seluruh wilayah terdampak kini dipastikan sudah surut. Tidak ada laporan korban jiwa dalam kejadian tersebut.
Selain rumah warga, banjir juga mengenai berbagai fasilitas umum. BPBD mencatat empat sekolah, sebelas tempat ibadah, serta 179,98 hektare lahan sawah ikut terendam akibat luapan air sungai dan hujan berintensitas tinggi.
Kondisi ini membuat aktivitas masyarakat sempat lumpuh, terutama di wilayah yang airnya bertahan cukup lama sebelum akhirnya surut.
Dari sembilan kecamatan terdampak, Kecamatan Plumbon menjadi wilayah dengan dampak paling besar. Di daerah tersebut tercatat 2.161 rumah terendam, bahkan sebagian mengalami kerusakan ringan hingga sedang.
Sementara itu, wilayah lain yang juga terdampak antara lain Kecamatan Sumber dengan 159 rumah, Kecamatan Tengahtani sebanyak 672 rumah, dan Kecamatan Talun mencapai 931 rumah. Adapun kecamatan lainnya meliputi Mundu, Weru, Gunungjati, Kedawung, Dukupuntang, dan Plumbon.
Selain rumah, banjir juga merusak sejumlah tembok penahan tanah (TPT) di bantaran sungai, dengan tingkat kerusakan bervariasi dari ringan hingga berat, terutama di wilayah Sumber sampai Plumbon.
Di lapangan, warga mengeluhkan banjir yang datang tidak seperti biasanya. Air bercampur lumpur masuk ke rumah, merusak perabot, dan meninggalkan endapan tebal.
“Dulu tidak pernah banjir. Sekarang bisa sampai dada orang dewasa, dua hari belum juga habis,” ujar seorang Ramdan, warga Kedungsana, Kecamatan Plumbon, Jumat (26/12/205). Kondisi ini menambah beban masyarakat yang baru saja berupaya pulih dari banjir sebelumnya.
1. Narasi cuaca ekstrem dari pemerintah daerah

Pemerintah daerah menyebut cuaca ekstrem sebagai penyebab utama banjir. Bupati Cirebon, Imron Rosyadi mengatakan, curah hujan tinggi dinilai berada di luar kendali manusia, sehingga banjir dianggap sebagai bencana alam yang sulit dihindari.
Pernyataan ini berulang kali disampaikan dalam setiap kejadian banjir, seolah menjadi penjelasan tunggal atas persoalan yang terus berulang dari tahun ke tahun.
"Curah hujan sedang tinggi, sehingga sungai tidak lagi mampu menampung debit air," kata Imron beberapa waktu lalu.
Namun, narasi tersebut menuai kritik. Warga menilai pemerintah terlalu mudah berlindung di balik faktor alam, tanpa mengakui adanya persoalan struktural dalam tata kelola ruang dan lingkungan.
Bagi warga, cuaca ekstrem memang nyata, tetapi dampaknya akan jauh lebih kecil jika daya dukung lingkungan masih terjaga. Tanpa itu, hujan lebat sekadar menjadi pemicu dari masalah yang telah lama menumpuk.
2. Minim langkah cepat dan tuntutan perubahan

Hingga banjir merendam banyak rumah, pemerintah daerah dinilai belum menunjukkan langkah cepat dan terukur. Upaya yang dilakukan masih sebatas penanganan darurat: menyalurkan bantuan logistik, mendirikan posko, dan mengerahkan petugas untuk evakuasi.
Sementara itu, langkah jangka panjang seperti evaluasi izin perumahan, normalisasi sungai, dan pemulihan daerah resapan belum terdengar jelas.
Masyarakat menuntut pemerintah tak lagi sekadar memadamkan api saat bencana datang, tetapi berani melakukan koreksi kebijakan. Evaluasi tata ruang, moratorium izin di kawasan rawan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan dianggap mendesak.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon tengah mengkaji kemungkinan menghentikan pemberian izin pembangunan perumahan baru sebagai langkah mitigasi banjir dan bencana ekologis. Namun, kebijakan ini masih dalam tahap pertimbangan mengingat tingginya kebutuhan hunian di wilayah tersebut.
Menurut Imron, kebijakan penghentian izin perumahan bukan perkara sederhana. Pemkab harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan kebutuhan masyarakat akan hunian yang terus meningkat.
"Kami ingin kebijakan yang diambil bukan sekadar larangan, tetapi juga solusi yang berkelanjutan. Misalnya, memprioritaskan pembangunan di kawasan yang aman dan tetap mempertahankan daerah resapan air,” ujarnya.
3. Sore mencekam di Cirebon

Diberitakan sebelumnya, hujan berintensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (23/12/2025) sore, menyebabkan banjir di sejumlah titik. Dua wilayah terdampak utama adalah Kecamatan Sumber dan Talun, dengan banjir terparah terjadi di Sumber, mencapai ketinggian sekitar satu meter.
Pantauan beberapa waktu lalu, menunjukkan, genangan menutup beberapa ruas jalan utama dan permukiman warga. Air berwarna kecokelatan mengalir deras, membawa lumpur serta sampah rumah tangga. Warga tampak sibuk menyelamatkan barang berharga dengan memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi.
Di Kecamatan Sumber, banjir merendam permukiman padat penduduk dan area pertokoan. Beberapa rumah terendam hingga setinggi dada orang dewasa, sehingga aktivitas masyarakat lumpuh total. Sekolah, kantor, dan pusat usaha terpaksa menghentikan kegiatan akibat akses jalan yang tidak bisa dilalui.
Dampak parah juga terjadi pada gudang sebuah supermarket di Sumber. Banjir menyapu sebagian barang dagangan hingga hanyut terbawa arus, dengan kardus berisi kebutuhan pokok berserakan atau mengapung di genangan air.
Di Kecamatan Talun, ketinggian air berkisar 30–70 sentimeter. Meski lebih rendah dibanding Sumber, banjir tetap mengganggu mobilitas warga. Banyak sepeda motor mogok saat menerobos genangan, sementara sebagian kendaraan memilih berputar arah.
Banjir menyebabkan kemacetan panjang di Jalan Sultan Agung hingga Jalan Fatahillah, dengan antrean kendaraan mencapai sekitar empat kilometer. Lalu lintas tersendat karena pengendara melambatkan laju atau berhenti akibat kendaraan mogok.
Warga yang terjebak kemacetan memilih berteduh di tepi jalan sembari menunggu air surut. Beberapa warga berinisiatif mengatur lalu lintas secara manual, meski kondisi genangan membuat penguraian arus kendaraan sulit.

















