Batik Trusmi Cirebon, Kawasan Bersejarah yang Terjebak dalam Kekacauan

- Kawasan Batik Trusmi di Cirebon akan ditata ulang setelah mendapat perhatian dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
- Penataan kawasan ini penting untuk mengembalikan ruh budaya dan nilai spiritual, serta menekankan ciri khas lokal yang ramah pejalan kaki.
- Pembebasan trotoar dari lapak PKL menjadi langkah awal penataan, tetapi pedagang kecil merasa khawatir dengan relokasi ke pasar.
Cirebon, IDN Times - Kawasan Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon, akhirnya masuk daftar prioritas penataan usai mendapat perhatian langsung dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Sentra batik legendaris ini akan ditata ulang, bukan hanya untuk keindahan visual, tapi demi mengembalikan ruh budaya yang selama ini tertimbun kekacauan tata ruang.
Langkah awal dimulai dengan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Jalan Syekh Datul Kahfi, Desa Weru Lor yang selama ini menjadi wajah depan kawasan Trusmi.
1. Jalur batik yang sesak

Trusmi, yang terdiri dari dua desa, yaitu Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon di merupakan pusat batik Cirebon yang sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Namun ironisnya, kondisi fisiknya jauh dari bayangan kawasan budaya unggulan. Trotoar tergusur lapak, kabel-kabel bergelantungan seperti akar tua, dan jalanan rusak menyulitkan wisatawan menikmati keunikan kawasan ini.
Hampir setiap rumah di Trusmi berfungsi ganda sebagai tempat produksi atau galeri batik. Namun potensi ini seolah terabaikan oleh tata kelola ruang yang semrawut dan tidak ramah pejalan kaki.
Banyak pengunjung mengeluhkan pengalaman yang tidak nyaman saat mengunjungi sentra batik yang seharusnya bisa menjadi ikon budaya dan ekonomi Cirebon.
"Kalau terus begini, orang datang bukan karena nyaman, tapi hanya karena butuh batik. Padahal bisa lebih dari itu," ucap Adinda Aulia salah satu pengunjung dari Bandung di Kawasan Batik Trusmi, Sabtu (7/6/2025).
2. Trusmi harus bangkit dengan ciri khas lokal

Dedi Mulyadi menyampaikan, identitas budaya Cirebon terlalu kaya untuk dibiarkan tenggelam dalam kesemrawutan. Dalam kunjungannya, ia menyoroti pentingnya penataan kawasan berbasis arsitektur khas Kacirebonan.
"Trusmi harus mencerminkan karakter Cirebon, baik dari tampilan fisik, kuliner, hingga atmosfer sosialnya. Kita perlu perda yang mengatur arsitektur lokal, bukan sekadar mengejar modernitas kosong," tegas Dedi.
Ia juga menekankan, kawasan ini tidak hanya sekadar pasar batik, tetapi juga tapak sejarah yang memiliki nilai spiritual. Warisan Ki Gede Trusmi, ulama sekaligus pembatik harus diangkat dalam bentuk tata ruang dan atmosfer kota yang menghormati akar budaya tersebut.
Tak hanya itu, Dedi menyarankan penataan ulang becak tradisional agar tampil sebagai ikon visual, serta penertiban zona kuliner agar penyajian makanan khas Cirebon seperti empal gentong dan nasi lengko tampil menarik dan konsisten secara estetika.
3. Di antara revitalisasi dan nafas pedagang kecil

Langkah awal penataan dimulai dari pembebasan trotoar Jalan Syekh Datul Kahfi dari lapak PKL. Kepala Satpol PP Kabupaten Cirebon, Imam Ustadi, menjelaskan, pihaknya tidak sekadar menertibkan, tetapi juga menyediakan solusi dengan mengarahkan pedagang masuk ke Pasar Pasalaran.
Namun, tidak semua pedagang menyambut rencana ini dengan lapang dada. Holifah (39), yang telah empat tahun berjualan batik di trotoar jalan itu, mengaku kaget karena proses relokasi terlalu cepat. “Kalau harus pindah mendadak ke dalam pasar, sewa mahal. Kami ini pedagang kecil, bukan pemilik toko besar,” ujarnya sembari menahan tangis.
Rohmat, pedagang lain, menyebut, relokasi sering menjadi mimpi buruk. “Kami pernah digusur dulu, tapi pembeli langsung berkurang. Lapak resmi belum tentu menjamin dagangan laku,” katanya.
Pemerintah daerah pun dihadapkan pada dilema abadi, yaitu bagaimana menata ruang publik tanpa membunuh ekonomi informal yang justru menjadi denyut hidup kawasan tersebut.
Bupati Cirebon, Imron Rosyadi, mengakui penataan Trusmi sudah lama direncanakan, bahkan sejak 2012. Namun realisasinya selalu tertunda akibat lemahnya koordinasi antardinas dan minimnya dukungan anggaran prioritas.
“Kami butuh political will kolektif dan perencanaan menyeluruh lintas sektor agar Trusmi bisa benar-benar berubah,” ujar Imron.
Menurut Imron, jika berhasil ditata seperti Malioboro di Yogyakarta, Trusmi bukan hanya menjadi etalase batik, tetapi juga etalase peradaban Cirebon.