106 Kasus Pernikahan Anak Terjadi di Cirebon Sepanjang 2024

Cirebon, IDN Times - Fenomena pernikahan dini di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Dinas Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) setempat menunjukkan, angka pernikahan di bawah umur masih tinggi.
Berdasarkan laporan, sepanjang 2024 tercatat ada 106 kasus pernikahan anak di bawah usia 18 tahun. Angka ini bukan hanya mencerminkan kenyataan sosial yang mengkhawatirkan, tetapi juga tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat.
1. Faktor penyebab yang kompleks

Kepala DPPKBP3A Kabupaten Cirebon, Eni Suhaeni mengatakan, ada berbagai faktor yang mempengaruhi tingginya angka pernikahan dini di Kabupaten Cirebon. Faktor ekonomi seringkali menjadi alasan utama, di mana keluarga yang hidup dalam kemiskinan merasa pernikahan anak adalah solusi untuk mengurangi beban ekonomi.
Menurutnya, budaya dan tradisi yang mengakar kuat juga memainkan peran signifikan, dengan pandangan bahwa pernikahan di usia muda adalah hal yang lumrah dan diinginkan.
"Selain faktor ekonomi dan budaya, rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman akan hak-hak anak juga menjadi faktor pendorong utama. Banyak orang tua yang belum memahami dampak negatif jangka panjang dari pernikahan dini terhadap anak-anak mereka," kata Eni, Jumat (16/8/2024).
2. Dampak negatif pernikahan dini

Pernikahan dini membawa berbagai dampak negatif, terutama bagi anak perempuan. Aspek kesehatan adalah salah satu yang paling mengkhawatirkan, karena anak hamil di usia muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kesehatan serius.
Selain itu, pendidikan anak-anak ini seringkali terputus, menghambat mereka dalam mencapai potensi maksimal di masa depan. Dampaknya, mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan yang mempengaruhi generasi berikutnya.
Menyadari tingginya angka pernikahan dini, kata Eni, Pemerintah Kabupaten Cirebon telah berupaya keras melakukan berbagai program untuk menekan angka tersebut.
Program sosialisasi dan edukasi tentang bahaya pernikahan dini dan pentingnya pendidikan bagi anak telah digencarkan di berbagai kecamatan.
"Kami bekerja sama dengan tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya menunda usia pernikahan hingga anak siap secara fisik, mental, dan ekonomi," kata Eni.
Selain itu, peran aktif dari masyarakat sangat diperlukan. Organisasi kemasyarakatan, pemuka agama, dan para tokoh adat diharapkan dapat berkontribusi dalam mengubah pandangan masyarakat terhadap pernikahan dini.
Sosialisasi yang dilakukan di tingkat akar rumput, seperti melalui majelis taklim, pertemuan warga, dan kelompok arisan, dianggap sebagai pendekatan efektif untuk menjangkau masyarakat luas.
3. Perlu peran yang lebih luas

Meskipun upaya pemerintah sudah berjalan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Keterlibatan sektor swasta dan media massa dalam kampanye melawan pernikahan dini sangat diperlukan untuk memperluas jangkauan sosialisasi.
Sementara itu, penguatan hukum juga menjadi kunci, dengan memastikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak benar-benar diterapkan secara efektif.
"Sosialisasi harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas. Pihak berwenang perlu melakukan pemantauan dan tindakan preventif yang lebih serius terhadap praktik pernikahan di bawah umur," kata Eni.