Kemarau 2019, 166 Ribu KK Terdampak Kekeringan di Jawa Barat

Pemerintah diminta waspadai gejolak harga pangan

Bandung, IDN Times - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat (Jabar) telah mengeluarkan data terbaru terkait dampak kekeringan di musim kemarau 2019. Per 5 Agustus 2019 setidaknya terdapat 166.957 kepala keluarga (KK) yang terdampak kekeringan.

Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Jabar, Budi Budiman Wahyu menuturkan, dari 27 kabupaten/kota yang ada di Jabar tidak seluruh daerah mengalami kekeringan dan minim supali air bersih. Total hanya ada 20 kabupaten/kota yang terdampak musim kemarau tahun ini dari segi kebutuhan air, yang diperkirakan menyentuh 374 desa. Sedangkan salah satu kota yang dianggap tidak terdampak kekeringan adalah Bandung.

1. 20 ribu hektare lahan pertanian kekurangan suplai air

Kemarau 2019, 166 Ribu KK Terdampak Kekeringan di Jawa BaratDok.IDN Times/Istimewa

Selain memberikan bantuan suplai air bersih ke daerah rumah warga yang memang kesuiltan mendapatkan air, BPBD beserta pemerintah daerah berupaya membantu penanganan air untuk irigasi areal pertanian.

Berdasarkan data sementara, setidaknya terdapat 20.621,57 hektare (ha) lahan pertanian yang alami kekeringan. "Yang paling luas terdapat di Indramayu dengan luas kekeringan mencapai 12.503 hektare. Kita terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk lahan pertanian," ujar Budi, Senin (5/8).

Dari 20 kabupaten/kota yang kesulitan air, tidak semua memiliki areal pertanian kering akibat tidak adanya aliran air dari irigasi. Sebagian hanya berdampak pada kebutuhan warga untuk air bersih yang digunakan dalam keseharian

2. Petani mulai menganggur karena tidak bisa menggarap lahan

Kemarau 2019, 166 Ribu KK Terdampak Kekeringan di Jawa BaratANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Sejumlah petani di Desa Cibiuk Kaler, Kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menganggur karena lahan pertanian garapannya kering tidak bisa digunakan bertani dampak musim kemarau yang sudah berlangsung hampir tiga bulan.

"Ya sekarang karena kekeringan petani di sini ada yang menganggur tidak bisa bertani," kata Kepala Desa Cibiuk Kaler Enggis Erawan dilansir Antara.

Ia menuturkan, sebagian besar masyarakat Desa Cibiuk Kaler profesinya sebagai petani dengan menggarap sejumlah tanaman pangan salah satunya padi. Namun, dampak kemarau yang berlangsung lama, kata dia, lahan pertanian garapan petani di Desa Cibiuk Kaler sudah keras mengering tidak bisa bercocok tanam karena tidak ada pasokan air.

"Lahan pertanian di desa kami ini mengandalkan air hujan, sementara aliran air dari Bendungan Copong belum ada," katanya.

Dengan kondisi ini beberapa petani saat ini ada yang ikut bekerja ke saudaranya di luar daerah yaitu menjadi pedagang atau pekerja buruh lainnya.

"Ada juga beberapa petani yang ke luar daerah untuk berdagang selama kemarau ini," katanya.

Kondisi tanah pesawahan di desa tersebut sudah belah, bahkan banyak tanaman padi yang mengering, padi yang sudah memasuki usia panen tidak tumbuh banyak bulir padi. Tanah sawah yang kering, bahkan gagal tanam dan gagal panen tersebut dimanfaatkan masyarakat pejalan kaki sebagai jalan pintas.

3. Waspada lonjakan harga pangan akibat kekeringan

Kemarau 2019, 166 Ribu KK Terdampak Kekeringan di Jawa BaratIDN Times/Debbie Sutrisno

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan meminta pemerintah memperhatikan secara lebih seksama terkait harga stabilitas harga pangan terutama di tengah fenomena kekeringan yang melanda berbagai daerah serta tetap terus mewaspadai potensi ancaman terjadinya inflasi ke depannya.

"Hal yang patut mendapat perhatian ekstra dari pemerintah ialah menjaga stabilitas harga pangan di tengah kondisi kemarau panjang yang saat ini melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian atas gagal panen di sejumlah daerah berisiko pada meningkatnya harga komoditas yang beredar di pasaran," kata Pingkan.

Menurut dia, pemerintah perlu mengedepankan kebijakan yang mengharmonisasikan hulu hingga hilir serta terobosan kerja sama antara pemerintah di segala lapisan, termasuk membuka peluang kerja sama yang melibatkan sektor swasta.

Hal tersebut, lanjutnya, berguna untuk meminimalkan gangguan produksi dan meningkatkan penetrasi distribusi diharapkan pemerintah dapat merealisasikan target terkait stabilitas harga pangan tersebut.

"Pangan atau kelompok bahan makanan menjadi salah satu dari tujuh kelompok utama yang mempengaruhi inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) selain kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; kelompok perumahan, listrik, air, gas dan bahan bakar; kelompok sandang; kelompok kesehatan; kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga; serta kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan," paparnya.

Pingkan mengingatkan pentingnya keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, serta koordinasi dan komunikasi yang efektif dalam rangka menjaga tingkat inflasi agar tetap berada pada level rendah.

Ia berpendapat bahwa pada hakekatnya, stabilitas dan rendahnya tingkat inflasi suatu negara memainkan peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Tanah Air.

Baca Juga: Kota Bandung Diprediksi Kekeringan Air Tanah 50 Tahun Mendatang

Baca Juga: Kekeringan, Warga Gunungkidul Jual Ternaknya untuk Membeli Air Bersih

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya