Pekerja Industri Kecil Berharap Dapat Juga Potongan PPh 21

Bandung, IDN Times - Pemerintah berencana menerapkan pembebasan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja di sektor padat karya yang bergaji di bawah Rp10 juta per bulan. Pembebasan ini bakal diterapkan mulai tahun 2025 guna menjaga daya beli di tengah kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai).
Dengan aturan tersebut maka nantinya hanya pekerja yang selama ini bekerja di industri besar dan sedang dengan minimal mempekerjakan 200 orang baru bisa mendapatkan potongan tersebut. Sedangkan perusahaan yang pekerjanya di bawah 200 orang maka mereka tidak bisa mendapatkan pembebasan pajak tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS) terakhir pada 2022 setidaknya ada 1.901.198 jumlah tenaga kerja di industri besar/sedang. Dari data tersebut jumlah industri yang menyerap paling banyak pekerja ada di Kabupaten Bekasi dengan 445.951 orang. Setelah itu ada Kabupaten Bogor 217.879 orang, Kabupaten Bandung 195.750 orang, Karawang 157.845 orang, dan Kota Cimahi 82.395 orang.
Sementara daerah paling sedikit pekerja di sektor industri besar/sedang ada di Pangandaran dengan 945 orang, Kota Sukabumi 2.342 orang, Kota Banjar 4.189 orang, dan Kabupaten Tasikmalaya 4.185.
Masih berdasarkan data BPS Jabar, jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Barat pada 2022 adalah 23,45 juta orang. Namun, pada tahun tersebut pekerja formal yang tercatat hanya mencapai 10,65 juta orang, sedangkan sisanya adalah pekerja informal yang angkanya mencapai 12,81 juta.
Di balik langkah pemerintah memberikan pembebasan PPh 21 untuk pekerja sektor paday karya, banyak pekerja yang juga berharap bisa mendapatkan pembebasan tersebut karena gajinya masih berada di bawah 10 juta. Salah satunya adalah Setia, wanita 32 tahun yang bekerja di Bandung ini merasa tidak adil ketika pemerintah hanya memberikan potongan untuk sektor padat karya.
"Gaji saya masih di bawah 10 juta, kantor saya juga orangnya hanya sedikit, jadi tidak bisa dapat pembebasan potongan dong? Harusnya ya sama saja dapat, kan gajinya sama belum tinggi," ujar Setia saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (26/12/2024).
Sebagai perempuan yang sudah menikah dan punya satu anak, memang selama ini dia mendapatkan potongan gaji tanpa tanggungan. Potongan gaji PPh21 per bulan bisa di atas Rp100 ribu. Uang sebesar ini jelas akan cukup bermanfaat ketika pemerintah juga memberikan pembebasan kepada seluruh pekerja yang gajinya di bawah Rp10 juta, termasuk dirinya.
"Ya lumayan kan buat tambah-tambah kan kalau nanti PPN jadi naik semua barang jelas naik juga harganya," kata dia.
1. Jangan tebang pilih

Hal senada disampaikan Ade (40). Salah satu pekerja di lembaga pendidikan ini menyebut bahwa pembebasan pajak penghasilan seharusnya dilakukan seluruhnya untuk siapapun yang selama membayar pajak ke pemerintah. Apalagi bagi pekerja yang gaji di bawah Rp10 juta memang sudah selayaknya dibebaskan dari PPh21 meski nominalnya tidak terlalu besar.
"Ya jangan padat karya aya dibebasin, kita juga mau lah kan sama-sama gajinya di bawah Rp10 juta," ujar Ade.
Menurutnya, pemerintah jangan hanya memilih memberikan bantuan untuk pekerja sektor padat karya saja. Sebab, banyak juga pekerja non-sektor tersebut yang harus dibantu apalagi ketika nantinya ada penerapan kenaikan PPN yang bisa berdampak pada banyak barang yang dibeli masyarakat.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjadjaran Ferry Hardiyanto mengatakan, penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan memang akan dirasakan oleh seluruh orang yang berbelanja. Artinya baik mereka yang selama ini bekerja di sektor padat karya, sektor formal, maupun informal akan sama merasakan dampaknya.
Persoalan ini yang kemudian membuat pemerintah menilai akan ada penurunan daya beli dari masyarakat ketika ada kenaikan PPN 12 persen.
2. Agak sulit berikan pembebasan PPh pada industri kecil

Di sisi lain, Ferry menilai bahwa pemberian pembebasan pajak penghasilan untuk industri kecil ini tidak bisa langsung diterapkan tahun depan. Berbeda dengan industri padat kerya atau industri besar/sedang yang datanya sudah cukup lengkap di kantor pajak. Sehingga langkah untuk pemberian pembebasan pajak penghasilan bisa dilangsung dieksekusi dalam waktu dekat bersamaan dengan kenaikan PPN.
"Kalau yang industri besar ini mereka sudah pasti para pekerjanya sudah terdaftar dalam perpajakan sehingga datanya bisa tahu mana yang layak dapat pembebasan PPhmana yang tidak, beda dengan industri kecil karena agak sulit saking banyaknya," kata Ferry.
Di sisi lain, pemberian pembebasan pajak penghasilan ini bagi perusahaan besar khususnya padat kerya seperti industri tekstil atau manufaktur juga diharap bisa sedikit meringankan pengeluaran yang harus dikeluarkan perusahaan tersebut dengan adanya kenaikan upah minimum kabupatn/kota (UMK) untuk 2025.
Yang jadi pekerjaan rumah pemerintah khususnya di daerah adalah mendata perusahaan besar/sedang yang memang bisa mendapatkan pembebasan pajak ini. Karena bisa jadi ada perusahaan selama ini masuk padat karya atau karyawan lebih dari 200 orang tapi belum melaporkan pajak para pegawainya, padahal bisa mendapatkan bantuan fiskal lainnya dari pemerintah.
3. Sejumlah risiko ketika PPN naik jadi 12%

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) mengungkap sejumlah risiko yang mungkin terjadi dengan naikknya tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2024.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.
"Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," ucapnya, dikutip Kamis (26/12/2024).
Selain itu, ada juga efek distribusi dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Meskipun masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak.
"Pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga ini. Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan," tuturnya.
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga akan berdampak pada sisi daya saing, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata. Kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah.
"Situasi ini juga dapat mempengaruhi investasi asing karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan," tegas Riefky.
Sementara itu terjadi juga peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global.