Pelaku Pidana di Bawah Lima Tahun Tidak Dipenjara, tapi Disanksi Sosial

- Sanksi sosial sebagai alternatif hukuman pidana di bawah lima tahun diterapkan di Jawa Barat
- Pelaku tindak pidana melakukan pekerjaan sosial untuk mengurangi beban negara dan menafkahi keluarga
- Program "Berdaya dan Berkarya" membantu mantan pelaku pidana memperoleh keterampilan baru setelah menjalani sanksi sosial
Bandung, IDN Times - Penerapan sanksi sosial sebagai alternatif hukuman pidana di bawah lima tahun telah diterapkan di wilayah Jawa Barat. Penerapan ini sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan antara Pemprov Jabar dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyatakan, hukuman bagi pelaku dengan ancaman pidana di bawah lima tahun sebaiknya tidak lagi dilakukan dengan pemenjaraan.
Hal itu, menurutnya. sejalan dengan penerapan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang mulai berlaku pada Januari 2026.
1. Ada aspek uang negara yang terselamatkan

Sebagai pengganti hukuman penjara, pelaku tindak pidana melakukan pekerjaan sosial, seperti membersihkan bantaran sungai, merapikan jalan yang ditumbuhi rumput liar, hingga memperbaiki drainase yang tersumbat.
Kebijakan tersebut dinilai bukan hanya humanis, tetapi juga mengefisienkan keuangan negara dan dapat memberdayakan masyarakat.
"Di sini ada aspek uang negara yang terselamatkan. Ketika orang berada di penjara, negara harus menanggung makan, minum, dan tenaga pengawas, tetapi produktivitasnya rendah. Kalau mereka bekerja sosial, selain mengurangi beban negara, juga melahirkan produktivitas," ujar Dedi.
2. Keluarga kerap kali jadi korban

Menurut Dedi, hukuman sosial bermanfaat bagi masyarakat karena pelaku tindak pidana tetap bisa menafkahi keluarga sehingga tidak menciptakan kemiskinan baru.
"Ketika seseorang dipenjara karena kasus ringan, keluarga sering kali ikut menanggung penderitaan. Istrinya harus menengok ke penjara, ongkosnya pinjam dulu. Anak tidak dinafkahi. Kalau dengan kerja sosial, keluarganya tetap bisa hidup layak, APBN efisien, dan produktivitas meningkat," katanya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI, Asep N. Mulyana menyatakan, Jawa Barat menjadi pionir penerapan sanksi sosial di Indonesia menjelang pemberlakuan KUHP baru.
"Ini adalah pendekatan baru dalam KUHP, di mana pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi kerja sosial, bukan hukuman penjara," kata Asep.
3. Diberikan keterampilan agar lebih berdaya

Asep menjelaskan, hukuman sosial hanya diberlakukan bagi pelaku dengan ancaman pidana di bawah lima tahun. Bentuk sanksinya akan disesuaikan dengan kebutuhan daerah serta profil pelaku.
"Kerja sosial itu tidak boleh mengganggu mata pencaharian utama pelaku. Kami akan sesuaikan dengan kondisi lokal, misalnya membantu dinas perhubungan, pekerjaan lapangan, atau kegiatan sosial di lingkungan masyarakat," ujarnya.
Selanjutnya, untuk mantan pelaku pidana, Kejaksaan menyiapkan program “Berdaya dan Berkarya”. Program tersebut membantu mantan pelaku pidana memperoleh keterampilan baru setelah menjalani sanksi sosial. Dengan begitu, proses reintegrasi sosial lebih cepat.
"Tujuannya agar setelah kembali ke masyarakat, mereka punya modal dan keterampilan. Bisa jadi pengusaha sepatu, laundry, atau usaha kecil lain sesuai minat dan kebutuhan daerah," tuturnya.
Dalam acara tersebut, penandatanganan nota kesepahaman juga dilaksanakan antara kepala kejaksaan negeri se-Jawa Barat dan para bupati serta wali kota se-Jawa Barat.
















