Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Revisi UU Sisdiknas, Habib Syarif Ungkap Masalah Pendidikan di Jabar

ilustrasi guru sedang menjelaskan materi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi guru sedang menjelaskan materi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Revisi UU Sisdiknas sedang dibahas oleh Komisi X DPR RI
  • Habib Syarief Muhammad menyoroti 4 masalah pendidikan di Jabar, termasuk pendanaan, disharmoni kewenangan, dan kedudukan lembaga Pesantren
  • Regulasi baru akan mengintegrasikan tiga undang-undang penting di sektor pendidikan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Komisi X DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad turut menyoroti empat persoalan yang mendesak di Jabar.

Habib mengatakan, regulasi baru ini nantinya akan mengintegrasikan tiga undang-undang penting di sektor pendidikan, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Berdasarkan pembahasan sementara, terdapat 12 problema utama pendidikan di Indonesia meliputi ketimpangan tata kelola, pendanaan dan mandatory spending, ketimpangan pengakuan pendidikan keagamaan dan nonformal, hingga relevansi kurikulum.

Kemudian, ada pula evaluasi standar nasional, masalah tenaga pendidik, perluasan wajib belajar, penguatan PAUD, inklusivitas kelompok rentan, pengawasan pendidikan, akuntabilitas pendidikan tinggi mencakup pendidikan kedinasan, serta penyesuaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

1. Anggaran banyak tersebar ke kementerian lainnya

IMG-20250809-WA0063.jpg
(Istimewa)

Dari 12 masalah pendidikan itu, Habib menuturkan ada empat isu utama pendidikan di Jawa Barat yang dinilai relevan dan mendesak. Pertama, pendanaan dan mandatory spending pendidikan. Sementara, amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan alokasi minimal 20 persen APBN dan APBD untuk pendidika masih sering disimpangi.

Berdasarkan data, kata Habib, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2025 mencapai Rp724,3 triliun, setara dengan 20 persen dari total anggaran belanja negara.

Namun, kurang dari 22 persen anggaran tersebut yang dikelola langsung oleh Kemendikdasmen, Kemendikristek, dan Kementerian Agama. Bahkan, anggaran untuk Kemendikdasmen itu menjadi yang terkecil, kurang dari 5 persen.

"Sebagian besar anggaran lainnya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk untuk pendidikan kedinasan dan program-program lain yang tidak langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan," ucap Habib di Rakorwil LP Maarif NU Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (9/8/2025).

2. Sekolah swasta berhak mendapatkan alokasi anggaran dari negara

ilustrasi menyusun anggaran liburan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi menyusun anggaran liburan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Kedua, terkait disharmoni kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam revisi UU Sisdiknas, DPR berencana menegaskan pembatasan tegas kewenangan kedua pihak agar tidak saling tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Ketiga, adanya dikotomi sekolah negeri dan swasta yang selama ini cenderung mengutamakan sekolah negeri. Padahal, Putusan MK No.58/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No.3/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.

"Dalam revisi UU Sisdiknas, ketentuan ini akan ditegaskan agar sekolah swasta yang memenuhi standar juga berhak mendapat pembiayaan dari negara," ucapnya.

3. Alokasi pendidikan keagamaan juga mengalami ketimpangan

IMG-20250809-WA0062.jpg
(Istimewa)

Yang terakhir, kedudukan lembaga Pesantren. Secara tegas, Habib menolak penggabungan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren ke dalam revisi UU Sisdiknas.

Pesantren, kata dia, memiliki kekhasan dan kemandirian, sehingga perlu diatur secara terpisah. Meski demikian, perlu ada jaminan kesetaraan lulusan, pendidik, dan satuan pendidikan pesantren dalam skema pendidikan nasional tanpa menyeragamkan sistemnya.

"Ketimpangan alokasi anggaran pendidikan keagamaan juga penting. Meski mencakup lebih dari 23 persen peserta didik nasional, pendidikan keagamaan hanya mendapat 11–12 persen dari total anggaran pendidikan," ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us