Polda Jabar Tetapkan Pelapor Dugaan Korupsi Baznas Jadi Tersangka

- Polda Jawa Barat menetapkan mantan pekerja Baznas Jabar, Tri Yanto, sebagai tersangka atas tuduhan illegal akses dan membocorkan dokumen rahasia.
- LBH Bandung mendesak penghentian status tersangka bagi Tri, yang seharusnya dilindungi sebagai whistleblower korupsi.
- Kasus ini mengancam kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana publik, serta melemahkan perlindungan whistleblower di Indonesia.
Bandung, IDN Times - Polda Jawa Barat menetapkan mantan pekerja Baznas Jabar, Tri Yanto, sebagai tersangka atas laporan tuduhan tindak pidana illegal akses dan membocorkan dokumen rahasia dengan Pasal 48 Jo Pasal 32 (1) (2) Undang-undang ITE. Kepolisian menetapkan status tersangka kepada Tri Yanto dengan tuduhan dugaan tindak pidana illegal akses dan membocorkan dokumen rahasia.
Direktur LBH Bandung Heri Pramono mengecam langkah Polda Jabar menjadikan Tri sebagai tersangka dalam laporan tersebut. Padahal akibat informasinya tersebut, dalam kurun waktu dua tahun lebih sejak pelaporan, Tri mengalami pemecatan sepihak dengan alasan pelanggaran disiplin yang tidak jelas.
LBH Bandung melakukan pendampingan hukum atas kriminalisasi whistleblower atau pelapor, dari awal pemeriksaan di Dit Ressiber Polda Jawa Barat kepada Tri yang saat ini berstatus tersangka.
"LBH Bandung mengkritik ditersangkakannya Tri Yanto, mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Jawa Barat, yang melaporkan dugaan korupsi dana Zakat senilai Rp9,8 miliar dan dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai sekitar Rp3,5 miliar," kata Heri melalui siaran pers, Senin (26/5/2025).
1. Pelapor dugaan korupsi jadi tersangka, LBH nilai langgar prinsip perlindungan whistleblower

Pada Senin (26/5/2025), Polda Jawa Barat menjadwalkan pemeriksaan terhadap Tri sebagai tersangka, terkait laporan dugaan tuduhan dugaan tindak pidana illegal akses, membocorkan rahasia yang dijerat dengan Pasal Pasal 48 Jo Pasal 32 Undang-Undang ITE.
"Pemanggilan ini menimbulkan keprihatinan serius, mengingat Tri sebelumnya justru merupakan pelapor (whistleblower). Pemeriksaan ini merupakan bentuk pembalasan (retaliation) yang melanggar prinsip perlindungan whistleblower dan menghambat pemberantasan korupsi," terang Heri.
"Kami juga mendesak Polda Jawa Barat untuk bersikap proporsional, tidak menjadikan proses hukum sebagai alat pembalasan, serta memprioritaskan penyelidikan terhadap substansi laporan korupsi yang diajukan Tri," kata Heri.
Diketahui, Tri mengungkap dugaan kasus yang terjadi di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Jawa Barat atas dugaan penyelewengan dana zakat dari 2021 hingga 2023, serta dugaan korupsi dana hibah APBD dari Pemprov Jabar.
Heri menerangkan, Tri menjadi tersangka dengan tuduhan membocorkan dokumen rahasia. Sebagai pelapor, Tri memberikan keterangan mengenai kasus korupsi tersebut dan memberikan informasi kepada pihak pengawas internal Bazns RI dan Inspektorat Pemprov Jabar serta aparat penegak hukum selama proses lebih dua tahun pemeriksaan kasus korupsi yang diduga dilakukan Pimpinan Baznas Jawa Barat.
"Sampai saat ini pihak Inspektorat Pemprov Jabar dan pengawas internal Baznas RI belum memberikan informasi terkait hasil pengawasannya kepada pelapor, sedangkan aduan pada aparat penegak hukum lainnya prosesnya masih tahap klarifikasi," papar Heri.
2. Penetapan tersangka dinilai menjadi kemunduran kinerja polisi

Yang sangat disayangkan, lanjutnya, setelah melakukan pengaduan ke pihak inspektorat Pemprov Jabar dan pengawas internal Baznas RI, identitas Tri sebagai pelapor atau pengadu diketahui oleh pihak pimpinan Baznas Jawa Barat sebagai terlapor, sehingga diduga menjadi dasar aduan kepada Polda Jawa Barat dengan tuduhan dugaan tindak pidana illegal akses, membocorkan rahasia yang dijerat dengan Pasal 48 Jo Pasal 32 Undang-undang ITE.
LBH Bandung menilai, status tersangka yang disematkan kepada pelapor kasus korupsi menjadi kemunduran atas peran serta masyarakat membantu negara memberantas praktik korupsi di lembaga publik, khususnya di lembaga sosial yang menghimpun dana dari masyarakat berupa zakat, infak, hibah dan dana sosial.
LBH menyatakan posisi hukum Tri selaku pelapor dugaan korupsi dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk tidak mendapatkan serangan balik sepanjang laporan itu diberikan dengan itikad baik. Bahkan, negara juga dimungkinkan memberi penghargaan kepada warga yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018.
“Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Selanjutnya, jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya tersebut, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana mana Pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014," papar Heri.
3. Ini 3 desakan LBH atas kasus Tri Yanto

LBH Bandung menilai setidaknya telah terjadi pelanggaran. Pertama, terhadap hak atas perlindungan whistleblower (Pasal 33 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban) yang sejatinya merupakan derivasi dari UN Convention Against Corruption Pasal 32-33.
Kedua, hak atas proses hukum yang adil (ICCPR Pasal 14) dimana terjadi ketimpangan akses keadilan antara pelapor (individu) dengan institusi kuat seperti Baznas. Ketiga, hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19 ICCPR) yang dibatasi melalui pemidanaan UU ITE.
"Kasus ini memperlihatkan pola struktural yang problematik, di mana hukum digunakan sebagai alat represi dengan penggunaan pasal karet (UU ITE) untuk melindungi pelanggaran dan terjadi assimetri kekuasaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara pegawai biasa melawan lembaga berjaringan politik kuat."
LBH Bandung mencatat setidaknya terdapat potensi dampak sistemik dari kasus ini, yaitu terciptanya chilling effect bagi pegawai lain yang mengetahui penyimpangan, melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana publik, ancaman terhadap iklim transparansi di sektor zakat nasional.
"Jika dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan whistleblower di Indonesia. Lebih jauh, ini menunjukkan kerentanan sistem hukum Indonesia yang masih mudah dijadikan alat pembalasan oleh institusi-institusi kuat," pungkasnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, LBH Bandung mendesak:
1. Polda Jawa Barat menghentikan perkara Sdr. Tri Yanto sebagai tersangka. Proses hukum ini merupakan bentuk pembalasan (retaliation) yang jelas melanggar UU Perlindungan Whistleblower dan prinsip due process of law. Negara wajib melindungi pelapor, bukan mengkriminalisasinya.
2. Baznas Jawa Barat sebagai badan publik, untuk segera mencabut laporan polisi terhadap sdr. Tri Yanto, dikarenakan menjadi alat kriminalisasi Whistleblower dan menjadi preseden Terciptanya chilling effect.
3. Komnas HAM, LPSK, Kompolnas, Ombudsman dan lembaga negara lainnya mengawal proses hukum yang sedang berjalan di Polda Jawa Barat.