Nasib Buruh Yihong Novatex Cirebon Tak Jelas Arah Setelah PHK

Cirebon, IDN Times - Ribuan buruh PT Yihong Novatex Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, masih berjuang mencari keadilan setelah diberhentikan secara mendadak oleh manajemen perusahaan pada Maret 2025.
Keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal ini menimpa 1.126 pekerja, sebagian besar dari mereka adalah operator produksi yang selama ini menjadi tulang punggung proses manufaktur tekstil di pabrik tersebut.
1. Seperti diusir di rumah sendiri

Hingga awal April 2025, belum ada penyelesaian yang jelas terkait hak-hak yang seharusnya diterima para pekerja. Tak satu pun dari mereka menerima pemberitahuan resmi jauh-jauh hari, apalagi ruang dialog.
Sebaliknya, mereka hanya mendapatkan surat pemberhentian mendadak tanpa mediasi dan tanpa ada kejelasan soal pesangon atau kompensasi lainnya.
"Kami tidak pernah diberi surat peringatan atau ajakan berdiskusi. Tiba-tiba kami sudah tidak diperbolehkan masuk kerja. Rasanya seperti diusir dari rumah sendiri," ujar Yani (35 tahun), salah satu buruh di pabrik tersebut.
PHK ini terjadi setelah para buruh melakukan aksi mogok kerja selama tiga hari berturut-turut. Aksi tersebut digelar sebagai bentuk protes terhadap keterlambatan pembayaran gaji dan beban jam kerja yang dianggap berlebihan. Namun, protes itu justru dijawab dengan tindakan sepihak dari perusahaan.
Menurut Andi Kristianono, Sekretaris Jenderal Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), buruh hanya menuntut hak normatif yang dijamin undang-undang.
“Mereka tidak menuntut kenaikan gaji atau fasilitas mewah. Yang dituntut hanya gaji yang dibayar tepat waktu dan jam kerja yang manusiawi. Tapi apa balasannya? PHK massal tanpa dasar jelas,” ungkap Andi.
2. Perusahaan memilih irit bicara

Kondisi ini kemudian menjadi perhatian serius Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Cirebon.
Kepala Disnaker, Novi Hendrianto, mengakui pihaknya telah menerima laporan dari serikat pekerja dan langsung menindaklanjuti dengan mengagendakan beberapa kali sesi mediasi antara buruh dan manajemen perusahaan.
“Kami berupaya mengedepankan pendekatan hukum dan dialog. Ini bukan perkara sederhana. Kami bicara tentang ribuan keluarga yang menggantungkan hidup dari pekerjaan di sana,” kata Novi.
Namun, hingga memasuki minggu pertama April 2025, proses mediasi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak perusahaan memilih irit bicara dan hanya menyampaikan alasan PHK sebagai bagian dari efisiensi operasional akibat penurunan order dari klien luar negeri.
Pernyataan itu justru membuat pihak Disnaker semakin mempertanyakan motif di balik kebijakan sepihak tersebut. Menurut Novi, tidak ada indikasi bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan atau pailit.
“Berdasarkan hasil pemantauan dan audit kami, PT Yihong Novatex tidak dalam kondisi keuangan yang mengkhawatirkan. Maka dari itu, alasan efisiensi seolah hanya menjadi dalih untuk menghindari kewajiban perusahaan terhadap pekerjanya,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah daerah pun ikut turun tangan. Dalam salah satu pertemuan mediasi yang digelar pekan lalu, Bupati Cirebon hadir langsung untuk mendorong terjadinya solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
Pemerintah daerah mencoba menjadi jembatan antara buruh dan perusahaan, sembari tetap menjaga iklim investasi di wilayahnya.
“Kami ingin ada keseimbangan. Perlindungan tenaga kerja penting, tapi kami juga tidak ingin industri hengkang dari Cirebon. Namun, kalau perusahaan melanggar aturan, tentu tidak bisa kita biarkan,” kata Bupati Cirebon, Imron Rosyadi.
3. Negara harus hadir konflik industrial
![Industri tekstil semakin ambruk. [Foto: Dok. Setkab]](https://image.idntimes.com/post/20241216/1000029207-60f505c8ad1a71e78933bc23a2e2ea01-946fa3b2193893b0830b7f7988f53ee6.jpg)
Krisis ini menjadi gambaran nyata tentang rapuhnya perlindungan terhadap tenaga kerja di sektor industri padat karya. Ribuan buruh yang sebelumnya menggantungkan hidup dari pekerjaan di pabrik tekstil tersebut, kini harus berjibaku mencari nafkah harian.
Beberapa dari mereka bahkan terpaksa kembali ke desa karena tidak sanggup bertahan hidup di kota tanpa penghasilan tetap.
Dari pantauan di lapangan, banyak mantan pekerja kini mengandalkan kerja serabutan. Ada yang menjadi ojek daring, berjualan kecil-kecilan, hingga kembali ke sawah membantu orangtua.
Tidak sedikit pula yang kini terlilit utang karena sebelumnya masih memiliki cicilan rumah atau kendaraan.
Yani, yang sebelumnya bekerja di bagian pemintalan benang, kini mencoba membuka usaha kecil menjual gorengan di pinggir jalan.
"Saya tidak punya pilihan lain. Suami juga masih nganggur karena pabrik tempat dia kerja tutup duluan," ucapnya lirih.
Sementara itu, Disnaker menyatakan akan terus mengawal kasus ini. Jika hingga tenggat waktu yang ditentukan tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan, pemerintah berjanji akan mengambil langkah hukum tegas, termasuk mendorong gugatan perdata di pengadilan hubungan industrial.
“Kami tidak bisa membiarkan ketidakadilan ini terus berlangsung. Negara harus hadir dalam konflik industrial seperti ini, agar pekerja tidak selalu menjadi korban,” ujar Novi.
Hingga saat ini, ratusan buruh masih menanti kejelasan. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan rasa aman sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi oleh hukum.