Linggarjati Whitepaper: Rekomendasi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Bandung, IDN Times - Rebana Expo yang berlangsung di Linggarjati, Kabupaten Kuningan pada 20-22 November 2024 telah selesai. Dalam gelaran ini seratus perencana kota dari 20 negara dan seluruh provinsi di Indonesia berkumpul untuk merumuskan panduan strategis yang dituangkan dalam Linggarjati White Paper on Metropolitan Development.
White paper ini menjadi respons terhadap tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Dengan urbanisasi yang terus meningkat, lebih dari 65 persen penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di wilayah perkotaan pada 2045.
Pertumbuhan ini menjadi peluang sekaligus ancaman, terutama jika tidak disertai dengan perencanaan yang matang dan inovatif.
Dokumen ini memberikan rekomendasi komprehensif untuk mendukung pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, sambil memastikan kesejahteraan masyarakat, ketahanan lingkungan, dan kemampuan membangun infrastruktur yang berkelanjutan.
1. Wilayah desa harus banyak dapat investasi

Kepala Badan Pengelola Rebana, Bernardus Djonoputro mengatakan, wilayah yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam pembangunan berkelanjutan.
Meskipun kawasan ini menyimpan potensi besar, perjalanan menuju pertumbuhan inklusif dan merata masih menghadapi berbagai hambatan kompleks. Salah satu tantangan utama adalah disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
"Banyak wilayah pedesaan dalam kawasan metropolitan belum mendapatkan investasi yang memadai. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam akses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” kata Bernardus di Kuningan, dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (23/11/2024).
2. Ekonomi harus dirasakan masyarakat secara langsung

Ketimpangan ini dapat memicu migrasi yang tidak terkendali, memperburuk masalah sosial, dan menekan sumber daya kota. Ia menekankan pentingnya kebijakan terpadu untuk mendukung pembangunan pedesaan.
Rebana berpotensi menjadi pusat industri manufaktur dan logistik yang menciptakan lapangan kerja besar-besaran. Namun, ia mengingatkan bahwa pengembangan ini memerlukan perhatian khusus terhadap integrasi dengan komunitas lokal.
"Pembangunan industri harus melibatkan masyarakat sekitar. Kita harus memastikan transfer keterampilan terjadi dan manfaat ekonomi dirasakan secara langsung. Selain itu, diversifikasi ekonomi menjadi keharusan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu," ujarnya.
3. Ruang solusi kreatif harus dibuka

Masalah lainnya adalah pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur. Bernardus menyoroti proses yang lamban, biaya tinggi, dan keterbatasan kapasitas fiskal sebagai faktor penghambat.
Reformasi diperlukan untuk menyederhanakan proses pengadaan lahan. Selain itu, strategi pembiayaan yang lebih inovatif harus diadopsi agar pembangunan tidak terlalu bergantung pada anggaran pemerintah.
"Ketergantungan pada public-private partnerships (PPP) juga dianggap belum cukup fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan lokal. Kita harus membuka ruang lebih besar untuk solusi kreatif, termasuk menarik investasi asing dengan kerangka kerja yang lebih adaptif," tuturnya.
4. Akses pelayanan dasar harus terlayani dengan maksimal

Asosiasi Perencana Kota dan Wilayah Indonesia (IAP) menyebutkan, pembenahan infrastruktur dasar harus menjadi langkah pertama dalam mewujudkan pembangunan wilayah Metropolitan Rebana yang inklusif dan berkelanjutan.
Akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, jalan, dan drainase sangat penting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Presiden Asosiasi Perencana Kota dan Wilayah Indonesia (IAP), Hendricus Andy Simamarta, mengatakan pembangunan Metropolitan Rebana yang berkelanjutan kini menjadi prioritas nasional di tengah meningkatnya tantangan urbanisasi serta ketimpangan.
Ia pun menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam mengelola ruang perkotaan, termasuk distribusi peran kota dan wilayah, penyediaan infrastruktur sosial, hingga pembiayaan inovatif untuk mewujudkan tata kelola metropolitan yang inklusif dan tangguh.
"Pertumbuhan kota yang tidak terkendali menjadi salah satu tantangan utama tata ruang wilayah di Indonesia. Kondisi ini juga memicu hilangnya lahan produktif, memperburuk kemacetan, dan meningkatkan ketidakseimbangan antarwilayah. Untuk itu, kita perlu mendefinisikan peran kota dan wilayah secara jelas," kata Andy