Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi profesi jurnalis (pexels.com/Terje Sollie)
ilustrasi profesi jurnalis (pexels.com/Terje Sollie)

Intinya sih...

  • Jenis kekerasan yang dialami jurnalis berbeda-beda di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

  • Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi untuk pemerintah dalam melindungi jurnalis, termasuk pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ).

  • Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa kebebasan pers masih di bawah ancaman, dengan baru tiga lembaga yang menandatangani komitmen bersama.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Yayasan TIFA lewat program Jurnalisme Aman baru saja meluncurkan sebuah laporan yang merekam pengalaman jurnalis di tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap pers: Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai secara mendalam di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik—baik secara fisik, verbal, maupun digital. Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering atau kadang-kadang menghadapi kekerasan atau intimidasi, yang berdampak pada cara mereka bekerja dan merasakan keamanan.

Penelitian ini secara sengaja membatasi cakupan geografis pada tiga wilayah untuk menggali lebih dalam konteks lokal, dan tidak dimaksudkan untuk mewakili kondisi secara nasional.

Menurut siaran pers yang diterima IDN Times, Selasa (5/8/2025), fokus utama studi ini adalah untuk memahami bagaimana sistem perlindungan bekerja di lapangan, serta celah-celah yang perlu dibenahi untuk memperkuat keamanan jurnalis, terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur advokasi yang terbatas.

 

1. Jenis kekerasan yang dialami jurnalis berbeda-beda

Laporan TIFA: Jurnalis di Daerah Masih Mengalami Kekerasan (IDN Times/istimewa)

Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan, jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda. Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

Sedangkan di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual.

Sementara itu, jenis kekerasan utama yang sering dialami jurnalis di Papua Barat Daya lebih kekerasan bersifat multidimensi—berbasis ras, gender, dan politik.

“Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah,” kata Arie.

Dia menjelaskan, pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi.” SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” tuturnya, yang disampaikan juga di acara Konsultasi Forum Nasional: “Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis di 3 Region”, Selasa (5/8/2025) di Jakarta.

2. Empat rekoemdasi Yayasan TIFA untuk pemerintah

Ilustrasi kekerasan pada jurnalis. (dok FJPI NTB)

Arie Mega menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan.

Namun, kata dia, lemahnya pemahaman aparat, ketidak-konsistenan lembaga peradilan, ketidak-tegasan Kementerian Komdigi sebagai regulator digital, dan minimnya kepemimpinan politik dalam isu ini menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif.

“Ini membuat negara belum hadir secara utuh sebagai pelindung kebebasan pers,” kata Arie.

Ia menegaskan, Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ).

Inisiatif ini bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat serta dukungan anggaran dari negara.

Kedua, adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.

“Rekomendasi ketiga adalah penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital. Supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman. Rekomendasi keempat menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah,” ungkap Arie.

3. Negara mengarah ke otoritarian, kebebasan pers masih di bawah ancaman

Laporan TIFA: Jurnalis di Daerah Masih Mengalami Kekerasan (IDN Times/istimewa)

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Meskipun situasi tampak baik-baik saja, kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.

“Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah bagian dari mandat kerja Komnas HAM. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional.

Menurutnya, tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM yang menimbulkan chilling effect, membatasi kebebasan berekspresi serta hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

4. Baru tiga lembaga yang teken komitmen

ilustrasi jurnalis (pixabay.com/Frans van Heerden)

Adapun Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Abdul Manan menegaskan, Dewan Pers mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.

Menurut dia, pada pertemuan di Jakarta, 24 Juni 2025, baru tiga lembaga yang menandatangani komitmen bersama yakni Dewan Pers, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komnas Perempuan.

Editorial Team