Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kampus di Bandung Siap Sanksi Tegas Pelaku Kekerasan

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • UPI telah memberlakukan sanksi tegas pada dosen dan mahasiswa, serta memiliki relawan untuk sosialisasi anti kekerasan.
  • Unpad fokus pada penanganan persuasif dengan membatasi potensi pelaku kekerasan dan meningkatkan kesadaran warga kampus.
  • ITB telah menindak keras pelaku kekerasan dengan memberikan bantuan kepada korban dalam hal konsultasi dan akademik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Kasus kekerasan di perguruan tinggi masih menjadi perhatian serius karena marak terjadi di mana pelaku dan korban bukan hanya mahasiswa, tapi juga warga kampus seperti tenaga pendidik, dosen, atau pekerja lainnya.

Pemerintah melalui Kemendikbud pada 2024 telah mengeluarkan Permendikbud tentang peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi, yang terbaru adalah Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang menggantikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan ini mewajibkan kampus untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPK, mengalokasikan dana, serta menyediakan mekanisme pelaporan dan penanganan kekerasan secara komprehensif, termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikis. 

Lalu bagaimana penerapannya di sejumlah kampus di Kota Bandung?

1. UPI sudah lakukan DO pada dosen dan skorsing mahasiswa

Lawan kekerasan seksual shutterstick
Lawan kekerasan seksual shutterstick

Ketua Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Isu Kritis (SPPIK) UPI adalah Hani Yulindrasari, Ph.D mengatakan, selama ini kampus UPI sudah melakukan berbagai cara lewat beberapa kegiatan dalam sosialisasi anti kekerasan di lingkungan kampus. Penegakan kasus kekerasan pada warga kampus pun dilakukan secara maksimal, sehingga pelaku kekerasan bisa mendapat sanksi yang sesuai.

UPI saat ini memiliki sekitar 100 relawan dari mahasiswa dan warga kampus lain yang bekerja memberikan berbagai informasi melalui sekolah advokasi gender.

"Mereka juga menjadi orang pertama yang ikut melakukan penanganan. Misalnya, kalau ada mahasiswa yang ingin curhat atau melapor, mereka bisa mengarahkan harus ke mana dan bagaimana menanganinya," kata dia.

Tak hanya itu, kaderiasai relawan pun dilakukan bahkan hingga ke tingkat himpunan yang memang lebih dekat dengan mahasiswa. Setiap himpunan pun diharap bisa melakukan sosialisasi antikekerasan yang sesuai dengan arahan rektor.

Menurutnya, saking seriusnya UPI pada kasus kekerasan sudah ada tiga dosen yang diberhentikan. Selain itu ada juga mahasiswa yang diskorsing dalam pembelejaran karena dianggap terbukti melakukan kekerasan khususnya kekerasan seksual. Hal ini penting terlebih ketika pelaku memang melakukan kekerasan sering dan jumlah korbannya banyak.

2. Unpad lebih fokus pada penanganan persuasif

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)
Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

Di Universitas Padjadjaran, upaya sivitas akademika untuk meminimalisir adanya kekerasan di lingkungan kampus sebenarnya sudah mulai berjalan sejak 2013. Ada persoalan di akar rumput yang membuat para dosen merasa harus ada pihak yang fokus dalam penanganan persoalan tersebut. Ini juga dilatarbelakangi bahwa seluruh warga Unpad harus aman termasuk ketika mereka berkegiatan pada malam hari.

"Dulu ada kebijakan tidak boleh ada kegiatan di jam segini (malam), tapi beberapa dosen tidak setuju karena membatasi ruang gerak akademisi karena ada yang memang harus berkegiatan sampai malam. Nah yang kemudian dilakukan adalah bagaimana warga Unpad ini tidak dibatasi, tapi mereka yang berpotensi melakukan kekerasan harus dibatasi," ujar Ketua Satgas PPK Unpad, Ari J. Adipurwawidjana saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (23/10/2025).

Setelah adanya PPK, ruang aman untuk warga Unpad dalam melakukan kegiatan atau melaporkan kejadian kekerasan yang dialami makin baik. Setiap tahun angka pelaporan meningkat di Unpad, ini bukan berarti hal buruk, justru hal baik karena mahasiswa khususnya semakin berani untuk bersuara dan memberikan infomasi jika memang mereka menjadi korban kekerasan.

Meski demikian, banyaknya pelaporan ini belum tentu semuanya memang terbukti. Harus ada verifikasi secara ketat termasuk dengan bertemu terlapor untuk memastikan apakah laporan yang masuk memang sesuai dengan kategori kekerasan. Sebab, ada juga kasus di mana sesungguhnya terjadi kesalahpahaman atau konflik pribadi.

"Kesadaran warga makin meningkat karena kita tidak mengabaikan apapun laporan tersebut. Kita tahu bahwa perpelocoan misalnya sudah menjadi budaya di kampus dan dengan adanya kebijakan pun tidak bisa serta merta langsung berubah. Tapi kita harus ubah tradisi yang memang sudah berjalan puluhan tahun tersebut," papar Ari.

Dia menuturkan, Unpad sendiri memiliki aturan di mana kekerasan yang terjadi dan bisa diusut tidak hanya yang berkaitan antara warga kampus saja. Bisa jadi ada pelapor di luar Unpad sedangkan terlapornya adalah warga Unpad maupun sebaliknya.

Yang sekarang justru menarik adalah banyak masyarakat di luar warga Unpad baik terlapor maupun pelapornya, artinya tidak ada kaitannya dengan kampus Unpad sama sekali. Meski demikian, Satgas PPK Unpad tetap memberikan bantuan kepada pelapor sehingga mereka ke depannya mau untuk melaporkan dugaan kekerasan pada aparat yang berwenang dalam hal ini kepolisian.

Terkait adanya mahasiswa yang dikeluarkan maupun tenaga pendidik dan dosen yang disanksi berat, Unpad selama ini melakukan pendekatan yang lebih persuasif. Khususnya para terlapor yang terbukti melakukan kekerasan sebisa mungkin mereka tidak langsung dikeluarkan.

"Kami juga tidak ingin mereka yang keluar ini justru jadi membahayakan masyarakat luar kampus. Maka kami ada pendampingan dulu baik ke psikiater atau psikolog sehingga pelaku ini kondisinya bisa semakin baik dan tidak melakukan kekerasan di kemudian hari," papar Ari.

3. ITB bakal tindak keras pelaku kekerasan

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Bagian Penanganan Satgas PPK ITB, Rr. Diah Asih Purwaningrum S.T., M.T., Ph.D. mengatakan bahwa penanganan kasus kekerasan di ITB sudah dilakukan secara optimal. Ini terlihat dari angka pelaporan yang meningkat setiap tahunnya.

Meski demikian, Diah menyadari bahwa kasus kekerasan ini kampus bisa jadi lebih besar, karena biasanya hal seperti ini seperti gunung es di mana yang terlihat atau yang melapor masih sedikit dari kejadian sebenarnya.

"Untuk kasus jika ada yang melakukan cat calling saja dari pegawai yang dikontrak kami bisa langsung keluarkan karena takut kejadian pada korban lainnya," papar Diah.

Menurutnya, ITB pernah mengeluarkan (DO) mahasiswa yang terbukti elakukan kekerasan secara berulang dan bahkan tidak merasa ada penyesalan. Yang lebih parah di mana mahasiswa tersebut justu menantang dan minta diberi ruang untuk pembuktian ulang.

"Tapi dukungan dari rektor kami jelas dan ruang itu tidak kami berikan," ungkap Diah.

Khusus pada korban, ITB sama dengan kampus lainnya yang memberikan ruang konsultasi atau bimbingan konseling lainnya agar mereka bisa segera pulih dari trauma yang dialami. Kerja sama denga berbagai lembaga dijalin demi mempermudah akses konsultasi.

"Kami juga memberikan bantuan dari segi akademik karena biasanya korban kekerasan ini bisa jadi mulai sulit dalam hal akademisnya. Bisa saja mereka jadi enggan ikut praktikum atau ujian. Nah ini yang coba kami bantu," pungkasnya.

Share
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

Penjualan Pupuk Subsidi di Sukabumi Sepi Meski Harga Turun

24 Okt 2025, 16:37 WIBNews