Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dicoret BPJS, Rumah Sakit Punya Negara di Cirebon Tak Kompetitif

Ilustrasi Rumah Sakit Karena Dampak Mikroplastik (pexels.com/plxabay)
Ilustrasi Rumah Sakit Karena Dampak Mikroplastik (pexels.com/plxabay)
Intinya sih...
  • RSUD Arjawinangun tidak lagi muncul dalam sistem rujukan BPJS
  • Pasien berpindah ke rumah sakit swasta, RSUD sepi pasien dan pelayanan terhenti
  • Pemkab Cirebon berkomitmen menyelamatkan RSUD Arjawinangun dengan pembenahan sistem digital dan revitalisasi infrastruktur

Cirebon, IDN Times - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun, salah satu fasilitas kesehatan milik Pemerintah Kabupaten Cirebon, kini menghadapi ancaman serius dalam perannya sebagai pusat rujukan masyarakat.

Nama rumah sakit ini dilaporkan telah hilang dari sistem rujukan digital milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menyebabkan penurunan signifikan arus pasien, dan mengancam kelangsungan pelayanan kesehatan publik.

1. RSUD tak lagi muncul dalam sistem rujukan BPJS

Ilustrasi rumah sakit (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi rumah sakit (IDN Times/Arief Rahmat)

Krisis kepercayaan terhadap RSUD Arjawinangun bermula dari satu perubahan mendasar yang kini dirasakan langsung masyarakat: rumah sakit ini tidak lagi tersedia dalam sistem rujukan digital BPJS.

Kondisi tersebut membuat pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak dapat memilih RSUD Arjawinangun sebagai tempat rujukan lanjutan, meskipun mereka sebelumnya rutin berobat ke sana.

Mulyani (48 tahun), warga Gegesik, mengalami langsung kendala tersebut. “Dulu saya rutin kontrol di RSUD ini, tapi waktu dirujuk dari puskesmas, nama rumah sakitnya nggak muncul. Saya jadi harus pindah ke rumah sakit swasta di Plumbon,” ungkapnya, Jumat (26/6/2025).

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua pasien. Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah puskesmas di wilayah barat Kabupaten Cirebon juga melaporkan kendala serupa.

Ketika sistem dibuka oleh petugas faskes pertama, pilihan rumah sakit yang muncul didominasi oleh fasilitas swasta, sementara RSUD Arjawinangun hilang dari daftar elektronik.

2. Sepi pasien, fasilitas menganggur, pelayanan terhenti

ilustrasi rumah sakit (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi rumah sakit (pexels.com/RDNE Stock project)

Kondisi di dalam rumah sakit mencerminkan situasi yang nyaris stagnan. Halaman parkir yang biasanya ramai kini tampak kosong. Hanya beberapa mobil pribadi dan ambulans terparkir di sudut area, sebagian tanpa aktivitas sama sekali. Di koridor menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD), tidak tampak antrean pasien seperti biasanya.

Seorang petugas administrasi yang ditemui di ruang tunggu menyampaikan volume pasien turun drastis dalam tiga bulan terakhir. “Biasanya kami kewalahan dengan antrean di pagi hari. Sekarang justru banyak petugas yang duduk menunggu tanpa aktivitas,” ujarnya.

Kelas perawatan paling bawah, yakni kelas tiga, yang sebelumnya selalu penuh saat musim penyakit, kini menyisakan puluhan ranjang kosong. Aktivitas medis pun berkurang drastis, memunculkan kekhawatiran akan efisiensi anggaran dan pemanfaatan sumber daya publik.

Kondisi RSUD Arjawinangun semakin tertekan oleh kehadiran enam rumah sakit swasta yang berlokasi di radius kurang dari 15 kilometer.

Rumah sakit-rumah sakit ini bukan hanya lebih modern dalam infrastruktur dan peralatan medis, tetapi juga agresif dalam menjalin kemitraan strategis dengan puskesmas dan klinik swasta, sehingga mempermudah proses rujukan.

Direktur RSUD Arjawinangun, dr Bambang Sumardi mengakui jika rumah sakit yang ia pimpin menghadapi tantangan berat dalam iklim kompetisi yang kian liberal.

“Rumah sakit swasta bisa memberi diskon, membuat paket layanan, dan memiliki promosi berkelanjutan. Kami terikat dengan aturan pengelolaan anggaran publik yang membuat kami sulit bergerak lincah,” ujarnya.

Selain itu, keterbatasan dalam merekrut dokter spesialis dan subspesialis menjadi hambatan lain. Banyak spesialis lebih memilih rumah sakit swasta karena skema insentif yang lebih menjanjikan dan fleksibilitas kerja yang lebih tinggi.

RSUD Arjawinangun harus puas dengan jumlah tenaga medis yang minim dan peralatan medis yang kadaluarsa, sebagian bahkan tidak layak operasional.

Situasi diperparah oleh penyesuaian tarif retribusi daerah berdasarkan Peraturan Daerah terbaru yang menaikkan beban biaya pada pasien umum. Hal ini menambah jarak antara rumah sakit milik negara dan rumah sakit swasta dari sisi daya saing harga layanan.

3. Pemkab Cirebon ingin selamatkan aset layanan publik

ilustrasi rumah sakit (pixabay.com/Lucent_Designs_dinoson20)
ilustrasi rumah sakit (pixabay.com/Lucent_Designs_dinoson20)

Pemerintah Kabupaten Cirebon menyadari bahwa RSUD Arjawinangun berada di ambang krisis fungsional. Bupati Imron Rosyadi menyampaikan komitmennya untuk menyelamatkan rumah sakit milik rakyat tersebut dari keterpurukan.

“Kami sedang evaluasi menyeluruh. RSUD Arjawinangun adalah aset vital pelayanan publik dan tidak boleh dibiarkan mati pelan-pelan,” ujarnya.

Langkah konkret yang dirancang pemerintah mencakup pembenahan sistem digital pelayanan dan pengajuan resmi kepada BPJS Kesehatan agar RSUD kembali dimasukkan ke dalam sistem rujukan.

Selain itu, rencana revitalisasi infrastruktur pelayanan, perbaikan sistem antrean, dan digitalisasi rekam medis akan menjadi bagian dari agenda jangka menengah.

Meski demikian, para pengamat menyarankan intervensi yang lebih berani, termasuk reformasi struktur manajerial rumah sakit, kerja sama terbuka dengan sektor swasta untuk meningkatkan kapasitas, serta peningkatan anggaran kesehatan publik. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak BPJS Kesehatan Cabang Cirebon terkait absennya RSUD Arjawinangun dalam sistem digital rujukan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us