Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Atasi Korupsi, Wamenko Otto Minta UU Tipikor Dilaksanakan Hati-hati

Otto Hasibuan (ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)
Otto Hasibuan (ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)

Bandung, IDN Times - Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan mengatakan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jangan sampai melukai keadilan tertinggi. Dia meminta agar undang-undang tersebut bisa dilaksanakan sejujur-jujurnya. 

"Harapan kita tentunya bagaimana penegak hukum dapat melaksanakan ini dengan hati-hati dengan adil. Jangan sampai melukai keadilan yang tertinggi. Ini yang saya kira penting yang harus kita garis bawahi atau laksanakan," kata Otto dalam Seminar Nasional bertajuk Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi yang digelar oleh Katadata Insight Center di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis (14/11).

Otto menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang kerap mengundang perdebatan. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup.

Atau jika tidak pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

1. Frasa perbuatan melawan hukum dalam aturan disarankan dirumuskan kembali

Katadata (IDN Times/istimewa)
Katadata (IDN Times/istimewa)

Dia menyebut frasa perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 tersebut oleh sebagian orang diminta agar dapat dirumuskan kembali supaya dapat memenuhi unsur pidana. Pasal 2 tersebut dinilai terlalu lentur karena tidak mendapatkan actus reus tentang unsur perbuatan melawan hukumnya.

Kendati begitu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa frasa tersebut tidak lentur karena unsur perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan merugikan negara sudah termaktub di dalam pasal tersebut.

"Apakah tidak dipertimbangkan? Business Judgment Rules harus dipertimbangkan tapi jangan juga digunakan untuk menutupi perbuatan pidana itu. (Jadi) selalu ada dua sisi," ungkapnya.

Untuk itu, Otto mengatakan bahwa pelaksanaan UU ini harus dilakukan dengan hati-hati dan adil. Sebab, jika ditegakkan dengan benar dapat menjerat koruptor. 

"Kalau dilaksanakan dengan hati-hati dan adil itu sebenarnya benar demikian kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia betul-betul melakukan perbuatan itu," ujar dia. 

2. "Nenek moyang Pasal 1 dan 3 UU Tipikor adalah akrobatik yuridis"

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi korupsi (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu, jika menarik histori ke belakang, Wakil Ketua KPK 2007-2011 Chandra Hamzah mengatakan frasa tiap perbuatan dalam Pasal 2 Ayat 1 Tahun 1957 yang merupakan asal usul Pasal 2 UU Tipikor 1999 tidak memenuhi actus reus. Semula, pasal-pasal ini diperuntukkan bagi pihak swasta.

Sementara Pasal 3 digunakan untuk pegawai negeri atau pejabat negara, di mana bunyinya adalah: setiap orang menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

"Secara historical dan kontekstual, asal muasal Pasal 2 dan Pasal 3 (1) UU Tipikor ditujukan antara lain untuk mengantisipasi perbuatan curang terkait dengan nasionalisasi perusahaan asing di tahun 1950-an," ujar Chandra, dalam kesempatan yang sama.

"Jadi nenek moyangnya Pasal 1 dan 3 UU Tipikor adalah akrobatik yuridis karena ada oknum yang tiba-tiba kaya padahal tak memiliki usaha."

Chandra mengatakan setiap negara harus memiliki istilah yang sama dalam memutuskan perkara memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak. Negara-negara lain di dunia menyepakatinya dengan istilah suap bukan kerugian negara.

"Dalam rezim hukum negara mana yang ada frasa kerugian negara? Untuk MLA ke negara lain saat kerja sama penyidikan di Amerika Serikat, (namanya) suap. Vocabulary-nya sama, suap," tutur dia.

3. Jika bribery tidak diberantas, indeks korupsi akan selalu jelek

Ilustrasi suap. (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi suap. (IDN Times/Arief Rahmat)

Senada dengan Chandra Hamzah, Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi mengatakan, penegak hukum, termasuk KPK yang dipimpinnya dulu, belum banyak fokus kepada pidana suap.

Menurutnya, bribery atau suap merupakan indikator yang sangat penting dalam tindak pidana korupsi. 

“Kalau bribery tidak diberantas ya indeks korupsi kita akan jelek terus. Kemudian negara-negara maju atau individu yang kena denda besar di Amerika Serikat kasusnya adalah suap,” tutur Amien.

Jadi, kata Amien, suap itu ada di mana-mana. Bahkan dimulai dari perizinan, pengadaan bahkan di penegak hukum. Maka dari itu, pemberantasan korupsi harus berangkat dari fakta lalu baru bisa menyiapkan strateginya. 

“Strateginya dibagi dua saja. Bagaimana supaya Indonesia tidak mengulangi kegagalan korupsi di orde baru dan 25 tahun reformasi. Menurut saya tegas saja Pasal 2 dan 3 dicabut dengan cara judicial review,” tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us