Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Film Jumbo adalah Bukti, Pemerintah Tunggu Apa Lagi?

Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming menghadiri Buka Puasa Bersama Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang digelar di Hotel Fairmont Jakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025) (dok. Setwapres)
Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming menghadiri Buka Puasa Bersama Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang digelar di Hotel Fairmont Jakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025) (dok. Setwapres)

Bandung, IDN Times – Tahun 2025 adalah masa di mana kita bisa menyaksikan raksasa bernama China menguasai pasar otomotif dunia; dan para teknokrat raksasa lainnya, India, berseliweran di Sillicon Valley. Fakta tersebut menawarkan perbedaan pandangan masa kini dengan beberapa dekade lalu, bahwa bicara soal inovasi, kita tak lagi memakai kaca mata kuda untuk selalu melihat pada Amerika dan Eropa.

China dan India adalah dua negara Asia yang memiliki bonus demografi, dan telah memanfaatkannya dengan baik. Mereka adalah contoh bahwa masyarakat usia produktif yang dominan ketimbang non-produktif, bisa dimanfaatkan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka pun tidak mungkin tak memahami hal tersebut. Lewat video yang dia unggah lewat akun YouTube pribadinya, Gibran mengatakan jika Indonesia akan mendapatkan puncak bonus demografi pada 2030 sampai 2045 (selama 15 tahun).

“(Bonus demografi Indonesia) Sebuah kondisi yang terjadi hanya satu kali dalam sejarah peradaban sebuah bangsa. Kesempatan ini tidak akan terulang, di mana sekitar 208 juta penduduk kita akan berada di usia produktif, di mana generasi produktif, generasi muda, memiliki proporsi yang lebih besar sehingga memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah kemajuan,” ujar Gibran.

Ia pun memahami jika kesempatan emas ini harus dikelola dengan baik oleh negara, lewat berbagai bentuk kolaborasi dengan anak muda Indonesia.

“Agar bukan menjadi sekadar bonus, bukan menjadi sekadar angka statistik yang fantastis, tapi justru sebagai jawaban masa depan Indonesia. Di mana faktor penentunya, ada di teman-teman semua (anak muda Indonesia),” kata Gibran, dalam video yang ditonton sebanyak 1,4 juta kali dalam 12 hari penayangannya.

Apa yang diucapkan Gibran, bertolak belakang dengan yang terjadi di lapangan. Kesadaran pemerintah akan pentingnya dukungan pada generasi muda Indonesia nyatanya belum tercermin lewat berbagai kebijakan mereka.

Film animasi lokal Jumbo, yang di-mention oleh Gibran lewat video yang sama, nyatanya sukses menjadi film animasi terlaris di Indonesia, tanpa bantuan signifikan dari pemerintah. Film yang dalam setengah bulan berhasil mengantongi tujuh juta penonton dan masuk menjadi tiga besar terlaris dalam sejarah Indonesia itu, dipandang oleh Gibran sebagai sebuah capaian yang fantastis.

Film Jumbo berhasil menorehkan sejarah baru untuk Indonesia, setelah dalam sepekan pertama penayangannya ditonton oleh sejuta penonton. Film ini bahkan menjadi film animasi panjang se-Asia Tenggara dengan penghasilan tertinggi.

Produksi dan proses kreatif dari penggarapan film Jumbo dimulai sejak 2019, buah ide dari Irfan Ramli juga Adrian Qalbi. Digarap oleh lebih dari 420 kreator dari berbagai daerah di Indonesia, film Jumbo dikembangkan dengan polesan software mutakhir sehingga mampu menciptakan teknik motion capture untuk beberapa adegan.

Tidak cuma dalam aspek visual yang maksimal, pengembangan film ini pun melibatkan nama besar di industri hiburan Tanah Air antara lain Ariel NOAH, Bunga Citra Lestari, Angga Yunanda, Cinta Laura, hingga Ariyo Wahab.

Kesuksesan film Jumbo sejatinya semakin meyakinkan berbagai pihak bahwa anak muda Indonesia memiliki kemampuan di industri kreatif khususnya film animasi. Namun, apakah pemerintah dengan serius mau memberi dukungan kepada mereka?

Poster Film Jumbo (instagram.com/jumbofilm_id)
Poster Film Jumbo (instagram.com/jumbofilm_id)

1. Perlu bantuan pemerintah dalam penyediaan fasilitas

Pembelajaran ekstra kulikuler animasi yang dilakukan di SD Al Azhar Cairo Palembang (Dok: Rahmat Prayuda)
Pembelajaran ekstra kulikuler animasi yang dilakukan di SD Al Azhar Cairo Palembang (Dok: Rahmat Prayuda)

Alvian Febrian, mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia adalah salah satu mahasiswa yang menyimpan ketertarikan pada industri film animasi. Pria yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Animedia ini sudah hampir lima tahun mengasah kemampuannya di dunia animasi.

“Butuh waktu lama untuk bisa membuat animasi. Tantangannya ada di waktu dan fasilitas yang memadai. Kalau yang saya rasakan sekarang, fasilitas itu masih kurang,” kata Alvian, kepada IDN Times Lampung, Sabtu (26/4/2025).

Sejauh ini, Alvian hanya memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh kampus dan fasilitas miliknya pribadi. Semangat Alvian yang terkadang kendor karena keterbatasan fasilitas, kembali menyala setelah melihat kesuksesan film Jumbo. Film itu, kata dia, membawa kebanggaan tersendiri bagi pegiat kreatif di Indonesia.

“Melihat film Jumbo ini jadi kebanggaan untuk orang-orang yang bekerja di Industri kreatif. Berkat film ini, kami merasa keberadaan kami diakui,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah mau melihat lebih dekat dan memahami keinginan anak muda di industri film animasi. Bantuan pemerintah yang diharapkan, kata Alvian, tentu fasilitas yang bisa dimanfaatkan secara gratis oleh para pelaku industri kreatif di daerah.

Alvian sendiri ialah potret bagaimana pemerintah seharusnya hadir dalam mendukung kemauan anak muda Indonesia, demi puncak bonus demografi yang tinggal menghitung hari.

Apa yang dikatakan Alvian soal dukungan fasilitas dan bekal ilmu, merupakan faktor penting dalam membangun karya animasi. Hal tersebut diakui oleh Kenneth Satriawira, alumni School of Design Binus University yang terlibat sebagai animator dalam produksi film Jumbo.

Kenneth menjelaskan, ia menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangan film Jumbo meski akhirnya hal tersebut bisa ia jawab karena bekal ilmu dan fasilitas yang memadai.

Film animasi dibuat dengan sederet kemampuan, di mana minat saja tidaklah cukup. Menurut Guru Seni Budaya Al Azhar Cairo Palembang, Rahmat Prayuda, fasilitas yang memadai menjadi faktor penting bagi pengembangan minat.

“Untuk dapat menguasai animasi, diperlukan keterampilan mengoperasikan aplikasi sekaligus kemampuan menggambar,” kata Rahmat, kepada IDN Times Sumsel.

Di sisi lain, ia melanjutkan, proses pembuatan film animasi juga memerlukan kerja sama tim yang baik. Maka itu, di sekolahnya, Rahmat menekankan pentingnya kerja keras, perencanaan, serta kerja sama tim agar peserta didiknya dapat menghadapi tantangan di era digital.

“Membuat satu adegan animasi saja membutuhkan waktu yang panjang. Jika ingin menghasilkan film atau klip yang utuh, sebenarnya dibutuhkan banyak animator, bukan hanya satu orang. Oleh karena itu, kerja sama tim menjadi hal yang penting,” katanya.

2. Erix Soekamti dan 'revolusi pendidikan'-nya

Erix Soekamti kembangkan sekolah animasi gratis, Does University sejak tahun 2016. (Instagram/doesofficil)
Erix Soekamti kembangkan sekolah animasi gratis, Does University sejak tahun 2016. (Instagram/doesofficil)

Tidak menunggu pemerintah turun tangan, di Yogyakarta, soal perbekalan ilmu, anak-anak muda Indonesia secara swasembada membangun Does University, sebuah yayasan pendidikan gratis yang ikut mengembangkan sekolah animasi.

Digawangi oleh pentolan grup Endank Soekamti, Erix Soekamti, Does University dibangun atas dasar ‘dendam’ terhadap sistem pendidikan di Indonesia.

“Itu sebenarnya dari dendam pribadi ingin merevolusi dunia pendidikan, tapi kan siapa kita? Toh kita bukan siapa-siapa,” kata Erix, kepada IDN Times Jogja.

Sekolah tersebut dikonsep tidak seperti yayasan pendidikan formal pada umumnya. Erix menjelaskan, ia mencoba fokus pada beberapa bidang saja, sesuai dengan keahlian yang dimiliki peserta didiknya.

“Sekolah zamanku dulu, kita harus bisa matematika, kan, (padahal) jurusanku musik lho. Maksudnya standar pintar itu gak diukur dari keahlianku waktu itu, tapi semua (mata pelajaran formal). Ujiannya kan itu semua, ya langsung DO (drop out) aku kalau gitu caranya,” kata Erix, bercerita.

Saat ini, Does University fokus pada tiga jurusan yaitu 3D Animasi, 3D Modeling, dan UI/UX Design. Pemilihan ketiga jurusan itu tak lepas dari perkembangan teknologi dan kebutuhan saat ini.

Dengan semangat independen, Does University telah hidup selama hampir sepuluh tahun dan mengorbitkan banyak lulusan jempolan. Bahkan, sederet animator film Jumbo pun tercatat pernah bersekolah di Does University.

Film Jumbo adalah Bukti, Pemerintah Tunggu Apa Lagi? (IDN Times/istimewa)
Film Jumbo adalah Bukti, Pemerintah Tunggu Apa Lagi? (IDN Times/istimewa)

3. Pemerintah daerah yang belum melek industri kreatif

Dok. 4mpera official
Dok. 4mpera official

Kesuksesan film Jumbo adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat yang tinggi terhadap industri film animasi. Karya tersebut mencerminkan bahwa kemampuan anak muda Indonesia, nyatanya bisa disambut oleh keinginan pasar lokal.

Menurut berbagai pakar, Indonesia sebenarnya memiliki dua modal yang kuat, yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan industri film animasi. Dua modal tersebut antara lain ialah sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, dan kekayaan cerita rakyat.

Soal modal kedua, setiap suku dan budaya yang ada di Indonesia menyimpan cerita legenda dan dongengnya masing-masing. Jika dikemas dengan baik, bukan tidak mungkin cerita rakyat itu bisa dikonsumsi oleh masyarakat dunia, sebagaimana Disney yang sukses memperkenalkan cerita Putri Salju dan Tujuh Kurcaci.

Di Palembang, Studio Home Entertainment ART (@H.E.ART) berupaya mengenalkan keunikan daerahnya lewat karya mereka yang berjudul ‘4M-Pera, a Little Robo Heritage’. Series tersebut merupakan wujud kecintaan animator sekitar terhadap Kota Pempek.

Hady Sumarna, pemilik dari Home Entertainment ART menjelaskam bahwa film ini bercerita tentang Pera, robot kecil berwarna merah yang memiliki telinga serupa Jembatan Ampera. Pera memiliki dua sahabat, yakni Pippy dan Lim, yang merupakan robot dengan unsur berupa bangunan bersejarah rumah limas. Lewat berbagai ceritanya, mereka mengeksplorasi Kota Palemville.

Sejauh ini, Hady membangun Studio Home Entertainment ART tanpa campur tangan pemerintah. Ia justru mendapat berbagai macam dukungan lewat platform penyiaran karyanya, antara lain TikTok, Instagram, dan YouTube.

“Pengembangan ini butuh support dari government. Tapi sayang, pemda kita ini belum melek hal-hal seperti ini. Jadi kita bingung, kita yang terlalu berambisi besar, atau memang pemerintah yang tidak tahu potensi ini?" kata Hady.

4. Biaya besar pengembangan film animasi dan harapan pada pemerintah

Trailer Made and The Lost Spirit. (Dok. YouTube/LYS Animation Studio)
Trailer Made and The Lost Spirit. (Dok. YouTube/LYS Animation Studio)

Kritik terhadap pemerintah juga disuarakan animator muda di Bali, Ida Bagus Ista Krishna, yang tengah berkarya dengan mendirikan studio animasi sendiri bernama LYS Animation Studio.

Menurut dia, pemerintah belum sepenuhnya mengerti industri animasi Indonesia. Alih-alih memberi dukungan, pemerintah justru lebih memilih menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam mengembangkan video edukasi program mereka.

“Paling penting jangan pakai AI. Sebenarnya itu tidak respek banget buat animator di Indonesia,” ujar Ida.

Menurutnya saat ini pemerintah tidak perlu melihat kesuksesan Disney yang menjadi role model industri film animasi. Pemerintah, kata mahasiswa semester delapan ini, bisa belajar ke negara tetangga yang produktif memberi ruang juga fasilitas buat para animatornya.

Krishna sendiri sekarang tengah menggarap film 'Made and The Lost Spirit' yang memiliki durasi 1,5 jam. Untuk pengembangan film ini, studionya memerlukan anggaran sebesar Rp5-6 miliar. Rinciannya, dana itu digunakan untuk membeli perangkat berkualitas, salah satunya komputer yang ditaksir seharga lebih dari Rp50 juta.

Untuk produksi film animasi, anggaran sebesar Rp5-6 miliar boleh dibilang minim. Sebab, kata Krishna, film Jumbo saja dibangun dengan biaya lebih dari Rp20 miliar.

Menurut data Asosiasi Industri Animasi Indonesia (Ainaki) pada 2020, Indonesia memiliki hampir 150 studio yang dapat memproduksi film animasi. Studio-studio tersebut tersebar di berbagai daerah, yang tergemuk ialah Pulau Jawa yakni hingga 137 studio.

Seperti yang terjadi di Kota Bandung, di mana memiliki banyak studio animasi. Tak hanya itu, di Kota Kembang, sekolah hingga perguruan tinggi yang berfokus pada industri animasi sendiri sudah tak bisa dihitung jari.

Dalam situasi seperti itu, pemerintah setempat mengaku telah ikut mendukung kemajuan industri animasi. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat, mengklaim telah melakukan kerja sama denga rumah produksi animasi sejak lama—sebelum film Jumbo meledak.

“Saat ini beberapa studio animasi telah bekerja sama dengan beberapa SMK di Jawa Barat. Beberapa program magang dan vokasi juga telah dimulai. Contohnya SMK di Cimahi dan Karawang,” kata Kepala Disparbud Jabar, Iendra Sofyan, kepada IDN Times Jabar.

Namun, Iendra juga mengakui bahwa dukungan tersebut belum signifikan. Sebab, tidak ada bantuan pembiayaan atau program insentif lainnya guna mendukung industri tersebut.

“Tapi pada 2024 Pemprov Jabar melalui Disparbud Jabar sudah mempertemukan studio animasi terkurasi melalui Indonesia Game Developer Index, dengan pasar pembiayaan proyek dengan negara Prancis (investor),” ujar Iendra.

5. Semua sudah membuktikan, kini giliran pemerintah

Wakil Presiden (Wapres) RI, Gibran Rakabuming memberikan pembekalan kepada para kepala daerah yang mengikuti retret di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Rabu (26/2/2025) (dok. Kemendagri)
Wakil Presiden (Wapres) RI, Gibran Rakabuming memberikan pembekalan kepada para kepala daerah yang mengikuti retret di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Rabu (26/2/2025) (dok. Kemendagri)

Baik animator Krishna di Bali, hingga Kepala Dinas Iendra di Jabar, mengakui bahwa pembiayaan merupakan kendala yang mengganjal pengembangan industri film animasi Indonesia. Belum berkembangnya industri ini pun, kata Iendra, berdampak pada minimnya jumlah calon pekerja animasi yang berstandar industri.

“Tantangan di lapangan selain akses pembiayaan, kurangnya calon pekerja animasi yang berstandar industri juga jadi masalah,” kata Iendra.

Berbicara soal pendanaan, insentif pemerintah dan investor adalah dua sumber uang yang dapat diandalkan oleh anak muda Indonesia dalam pengembangan film animasi. Dalam sudut pandang investor, keseriusan pemerintah adalah salah satu faktor yang bisa membuat mereka mau menanamkan modalnya.

Dukungan pemerintah terhadap industri kreatif, faktanya, tidak sejalan dengan ucapan Wapres Gibran--yang memuji Jumbo dan memastikan bahwa anak muda Indonesia memiliki peran penting dalam kemajuan negara.  

Pada 2025, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,42 triliun untuk mendukung industri kreatif lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Angka tersebut terbilang kecil untuk disandingkan dengan potensi yang ada, tidak seperti alokasi pemerintah untuk Kementerian Pertahanan dan TNI di tahun yang sama di mana mencapai Rp165,16 triliun.

Beberapa menit sebelum videonya berakhir, Wapres Gibran sendiri berujar jika puncak bonus demografi Indonesia yang terjadi pada 2030 tidak akan berjalan sesuai rencana jika pemerintah tidak berkolaborasi dengan berbagai pihak.

“Teman-teman, membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih terang, adalah tanggung jawab kita bersama; baik pemerintah, sektor swasta, akademisi, praktisi, tokoh agama, maupun masyarakat sipil,” ujar Gibran.

Lewat cerita di atas, akademisi, praktisi, bahkan Erix Soekamti yang mewakili masyarakat, telah turun tangan dalam mengembangkan industri film animasi Indonesia. Kini, kembali lagi kepada Gibran dan pemerintahan, kapan kalian serius turun tangan?

Tim penulis:

PERSIANA GALIH (JABAR); AZZIS ZULKHAIRIL (JABAR); SILVIANA (LAMPUNG); FARIZ FERDIANTO (JATENG); HERLAMBANG JATI KUSUMO (JOGJA); RANGGA EFRIZAL (SUMSEL); FENY MAULINA AGUSTIN (SUMSEL); NI KOMANG YUKO UTAMI (BALI)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us