DPRD Jabar Minta Pemahaman Anti-Terorisme Masuk Pelajaran Sekolah

- DPRD Jabar meminta pemahaman anti terorisme masuk sekolah
- Anak usia 10-18 tahun paling banyak direkrut melalui media daring
- Pengawasan digital anak harus diperketat, perlu edukasi anti-radikalisme di semua perangkat daerah
Bandung, IDN Times - Terorisme di Jawa Barat kini menjadi persoalan serius. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menyatakan anak-anak di Jabar usia sepuluh-18 tahun paling banyak direkrut jaringan terorisme melalui platfrom media daring.
Ketua Fraksi PPP DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari meminta, data dari Polri ini harus menjadi perhatian pemerintah provinsi untuk turut membantu pencegahan di tingkat sekolah, minimal terus diberikan pemahaman tentang anti terorisme itu sendiri.
"Jadi kami mendorong semua pihak terlebih pemerintah provinsi untuk memberikan pengawasan dan pemahaman kepada pelajar terkait dengan paham radikal dan jaringan terorisme," ujarnya saat dihubungi, Rabu (19/11/2025).
1. Pengawasan harus diperketat

Menurut Zaini, pola perekrutan yang dilakukan kelompok teror kini berlangsung sangat sulit terdeteksi karena memanfaatkan ruang digital yang menjadi keseharian anak dan remaja. Mulai dari media sosial, aplikasi percakapan, hingga gim online.
"Ini banyak faktor di dalamnya termasuk mereka melakukan rekrutan di ruang digital, media sosial hingga game online. Ini kan senyap ya perekrutan seperti ini," kata Zaini.
Dengan begitu, pengawasan terhadap aktivitas digital anak harus diperketat, tidak cukup hanya dengan aturan larangan membawa ponsel di sekolah.
"Pengawasan harus lebih diperketat untuk penggunaan platform digital. Bagus dengan aturan tidak membawa ponsel ke sekolah, tapi pengawasan di luar sekolah, keterlibatan orangtua, harus hadir apalagi mereka yang direkrut biasanya orang-orang broken home," ucapnya.
2. Pelajar harus terus diberikan pemahaman antiterorisme

Persoalan terorisme ini bukan hanya menjadi isu dari Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama. Menurutnya, berbagai perangkat daerah harus turut serta membantu melakukan penanganan, karena model ajakan radikalisme tidak lagi dilakukan secara konvensional.
"OPD terkait harus mengedukasi paham radikalisme dan bahayanya. Kalau hari ini domain itu hanya jadi milik dinas pendidikan atau kementerian agama, sekarang semua harus memaknai jika radikalisme hadir tidak lagi di ruang tersembunyi tapi juga lebih leluasa dengan model yang berbeda," ujarnya.
3. Bisa dilakukan sebelum proses pembelajaran

Zaini mengusulkan penyampaian materi anti-radikalisme melalui speaker sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Menurutnya, cara ini dapat membantu pelajar memahami lebih dini bahaya terorisme, radikalisme, perundungan, hingga perjudian online.
"Seruan atau materi terkait radikalisme, bullying termasuk judi online harus hadir. Misal di sekolah kalau sebelum masuk melalui speaker bisa disisipkan materi soal itu sehingga anak lebih mengenal secara menyeluruh apa itu terorisme, apa itu radikalisme," katanya.

















