Budidaya Sorgum di Kota Bandung: Minim Lahan, Sepi peminat

Keanekaragaman pangan lokal masih jadi isu yang hangat dibicarakan ketika harga komoditas beras terus melonjak. Ketergantungan akan beras bagi sebagian besar masyarakat Indonesia membuat negara agraris ini tetap harus mengimpor dari sejumlah negara tetangga.
Tahun kemarin saja Indonesia mengimpor sebanyak 4,52 juta ton beras, naik sekitar 47,38 persen dari catatan pada 2023 yang mencapai 3,06 juta ton. Angka ini bahkan naik signifikan dibandingkan pada 2005 yang hanya mencapai 189 ribu ton atau naik dua ribuan persen.
Persentase impor itu jauh lebih tinggi dibandingkan persentase pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia yang pada 2024 mencapai 281,6 juta atau naik 23,07 persen, di mana pada 2005 jumlah penduduknya berada pada angka 228,8 juta.

Untuk menutupi keran impor yang terus membengkak, pemerintah telah berupaya melakukan pembukaan lahan melalui program food estate. Dengan membabat hutan pemerintah ingin meningkatkan produksi pangan, salah satunya adalah sawah, yang nantinya hasil panen bisa menjadi nasi yang dikonsumsi masyarakat.
Meski demikian program ini belum berjalan sesuai rencana, maka program lain yang coba dilancarkan adalah dengan diversifikasi pangan lokal. Upaya ini terus digenjot baik oleh pemerintah pusat hingga ke tingkat daerah. Harapannya, konsumsi pangan lokal yang beragam dapat mengurangi ketergantungan pada beras, dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Salah satu yang digembar-gemborkan oleh pemerintah adalah pemanfaatan sorgum, di mana lahan pertanian ini paling banyak berada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, pada 2022 mulai memperkenalkan kembali sorgum sebagai komoditas lokal yang bisa dikembangkan secara masif. Terlebih tanaman ini bisa tumbuh di berbagai macam kondisi tanah, meskipun tidak banyak mendapatkan air.
Demam menanam sorgum lantas dilakukan sejumlah pemerintah daerah termasuk di Jawa Barat. Dan salah satu daerah yang sekarang mulai merintis adalah Kota Bandung. Sebagai kota yang minim lahan, Pemkot Bandung tetap serius mengembangkan sorgum sebagai alternatif pangan lokal masyarakatnya.
Keinginan tersebut pun dicoba dengan melakukan penanaman pada satu hektare lahan yang berada di Kecamatan Ujungberung yang dikelola oleh Sein Farm. Bekerjasama dengan akademisi dari Universitas Pasundan, Pemkot menilai sorgum sangat layak dikembangkan karena mampu tumbuh dengan baik di lahan yang minim air, sehingga cocok untuk diandalkan sebagai alternatif sumber pangan dalam menghadapi perubahan iklim.
“Saya pikir Pemkot Bandung punya cukup lahan sebetulnya kalau memang akan maksimal dan optimal memanfaatkan, terutama lahan-lahan kering yang selama ini mungkin tidak termanfaatkan optimal, kita bisa manfaatkan untuk sorgum ini,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar ditemui ketika panen Sorgum di Sein Farm, Agustus 2024.
Selain dari kandungan gizi, Gin Gin juga menyebut bahwa biaya produksi tanaman sorgum ini cukup rendah bila dibandingkan dengan biaya produksi tanaman padi dan jagung. Selain itu sorgum bisa tiga kali panen dalam satu kali tanam. Lantas mungkinkan sorgum bisa jadi ketahanan pangan lokal di Kota Bandung?
IDN Times mendatangi kembali lahan pertanian sorgum yang ada di Sein Farm, Selasa (21/1/2025). Lahan yang digunakan terlihat tidak terlalu luas. Pada area yang luasnya tidak mencapai satu hektare itu masih tampak tanaman sorgum. Bersebelahan dengan lahan ini ada juga tanaman jagung dan lahan tidur yang dipenuhi rumput liar. Selain itu, ada juga lahan sawah serta pertanian lainnya yang dikembangkan DKPP.
Sementara ruangan yang dipakai untuk penelitian sorgum tak begitu besar. Ada dua ruangan. Pada ruangan berukuran 3x4 meter itu terpajang dua rak dengan tiga tingkat hasil pengolahan biji sorgum. Sementara di ruangan lain yang berukuran 3x6 meter terdapat beberapa mesin yang digunakan untuk mengolah sorgum.
"Tidak setiap hari ada di sini (yang mengurus sorgum)," ujar salah satu penjaga keamanan Sein Farm.
IDN Times pun coba datang ke kampus Universitas Pasundan (Unpas) untuk bertemu salah satu perwakilan kampus yang bekerjasama dengan DKPP Bandung dalam pengembangan sorgum, Prof. Dr. Ir. Wisnu Cahyadi. MSi. Dia pun menceritakan awal mula berkolaborasi tersebut.
"Bandung ini ada lahan tadah hujan yang petaninya sudah tidak mau menanam lagi (padi) dan tidak boleh dibangun bangunan, maka kami coba dengan penelitian yang sudah ada mengembangkan sorgum di sini agar lebih sering panen petaninya," ungkap Wisnu membuka pembicaraan.
Pemilihan sorgum bukan asal-asalan. Tanaman yang berasal dari tanah Afrika ini bentuknya mirip dengan nasi karena berbulir, meski punya rasa berbeda, tapi manfaat secara gizi lebih baik dibandingkan nasi. Dalam proses penanaman pun sorgum lebih mudah ketimbang padi dan mampu tahan di lahan yang tidak banyak air.
Hasilnya? Dalam hitungan tahun cukup tinggi ketika berada di tanah minim air dibandingkan dengan padi karena bisa tiga sampai empat kali panen. Sedangkan lahan kering atau tadah hujan saat dipakai produksi padi biasanya hanya satu kali panen. Berdasarkan hitungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), produktivitas sorgum Indonesia sudah mencapai 2 ton per hektare, angka ini masih rendah dibandingkan produksi dunia yang mencapai 2,7 ton per hektare.
Wisnu menyebut, selain bulirnya tanaman sorgum punya banyak manfaat di mana daunnya dapat menjadi sumber pakan ternak yang dapat meningkatkan bobot hewan ternak dan meningkatkan produksi susu. Sedangkan ampas batang sorgum sebagai serat lignoselulosa atau bisa menjadi enzim silase pakan ternak yang melalui proses fermentasi. Batang manis sorgum pun menghasilkan nira, yang dapat menghasilkan gula cair, etanol, dan monosodium glutamate atau bahan lain tergantung dari pengolahan. Nira adalah cairan yang manis yang diperoleh dari batang tanaman salah satunya dari batang sorgum.
Menurutnya, Kota Bandung dipilih karena Unpas ingin memberikan pandangan bahwa daerah yang minim lahan pun bisa mengembangkan tanaman ini dengan hasil baik. Harapannya, ketika di lahan tadah hujan bisa maksimal, maka bukan tak mungkin sorgum dikembangkan di daerah lain yang lahannya lebih luas dan sulit menguntungkan petani ketika ditanami padi atau tanaman lainnya.
Guru Besar Teknologi Pangan Unpas ini pun menyebut banyak tantangan dalam mengembangkan sorgum. Misalnya, para petani saat ini belum terbiasa menanam sorgum padahal tanaman ini pun sebenarnya sudah lama dibudidayakan masyarakat. Mengutip dari laman unand.ac.id, biji sorgum meski bukan tanaman asli Indonesia, tapi sudah tersebar mulai Indonesia Barat hingga ke Indonesia Timur. Di Jawa Barat misalnya, sorgum lebih dikenal dengan nama jagung cetrik, gandrung, gandrum, degem, atau kumpay.
Persoalan lain adalah dari segi ekonomi. Wisnu menyebut saat ini permintaannya belum banyak di masyarakat untuk pembelian sorgum baik itu yang biji atau yang sudah diolah.Ini membuat petani bisa kesulitan menjual sorgum ketika mereka sudah memanennya. Kemudian, dari segi pengolahan pascapanen pun memang harus diperbaiki karena ketika ada salah pada mesin atau prosesnya bisa memengaruhi rasa sorgum itu sendiri.
Meski demikian, dengan persoalan iklim dan kondisi global yang bisa memengaruhi produksi padi atau bahan baku terigu, maka pengembangan sorgum bisa menjadi pilihan pemerintah Indonesia.
"Itu yang harus kita push (dorong) agar pemerintah juga mempromosikan sorgum sebagai pangan alternatif untuk mengatasi krisis pangan," kata Wisnu.
1. Keanekaragaman pangan harus diusahakan

Diversifikasi pangan untuk dikonsumsi masyarakat tengah diusahakan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung. Termasuk dengan pengembangan sorgum yang sekarang sedang dijalankan.
Kepala Seksi Penganekaragaman Pangan, Ahmad Wahyudin menuturkan, pengenalan beragam pangan pengganti nasi dan terigu sudah dilakukan sejak lama. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk bisa mempersiapkan beragam pangan lokal yang bisa dikonsumsi masyarakat.
"Dan sorgum kami coba karena memang ada pihak yang ingin bekerjasama," ujar Ahmad saat berbincang di kantornya.
Away, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa DKPP sedari dulu sudah berupaya mengembangkan beragam pangan lokal dan mencoba menerapkan pola konsumsi non-beras non-terigu baik di lingkungan dinas hingga mengajak dinas lainnya. Pengembangan ini juga yang coba dilakukan DKPP dengan Universitas Pasundan (Unpas) untuk sorgum.
Dengan adanya daerah tetangga yang sudah menjadi penghasil sorgum seperti di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, DKPP pun tak menolak ketika ada inisiasi dari Unpas yang ingin membudidayakan sorgum di Kota Bandung. DKPP ingin tahu apakah sorgum bisa ditanam di daerah ini dan mampu dikembangkan seperti padi pada umumnya.
"Jangka pendeknya ini kita ingin tahu apakah mungkin sorgum ini ditanam di lahan Kota Bandung dan seperti apa hasilnya. Dan ini kami juga tidak pakai dana APBD karena ini dana CSR yang dibawa oleh Unpas," ungkap Away.
Menurutnya, Pemkot Bandung melalui DKPP sudah berupaya untuk meningkatkan pola konsumsi pangan non-beras dan non-terigu salah satunya menggunakan sukun. Tanaman yang sudah banyak tersebar di Kota Bandung tersebut dianggap bisa lebih mudah diterima masyarakat ketimbang sorgum. Namun, dalam perjalanannya masyarakat mudah bosan dengan sukun karena sukun akhirnya hanya dipotong untuk dikukus atau digoreng sebelum dikonsumsi.
Itu juga yang membuat DKPP terpincut untuk mencoba membudidayakan sorgum di lahan seluas 1,5 hektare daerah Bandung Timur. Dengan produksi dalam hitungan tahun cukup besar volumenya, sorgum dianggap mampu menjadi ketahanan pangan lokal baru di Kota Bandung. Apalagi peminat sorgum ada walaupun jumlahnya belum banyak.
2. Sulit jika harus menggantikan beras

Langkah untuk membudidayakan sorgum di Kota Bandung bukan berarti pemerintah daerah ingin mengganti seluruh tanaman padi yang selama ini ditanam di lahan sawah dengan sorgum. Tanaman ini justru hanya coba ditanam di lahan tadah sawah yang selama ini hanya bisa satu kali panen saja ketika musim hujan.
DKPP dan Unpas pun belum terpikir untuk menjadikan seluruh lahan abadi yang ada ditanami sorgum. Sebab, masyarakat saat ini masih menggantungkan pangan utama dari beras.
Away menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini lahan sawah di Kota Bandung tinggal menyisakan 702 hektare, di mana tidak seluruhnya milik Pemkot. Dengan demikian, tidak mungkin juga memaksakan lahan yang bukan milik pemerintah untuk ikut serta menanam sorgum seperti yang ada di Kecamatan Ujungberung.

"Kalau langsung ditanam semua juga peminat sorgum ini belum banyak, hanya terbatas di orang tertentu. Jadi kalau mau swasembada (ganti beras ke sorgum) jelas ini tidak bisa, butuh puluhan mungkin ratusan tahun. Yang kita siapkan hanya keanekaragaman pangannya saja," kata dia.
Menurutnya, peminat pangan lokal seperti sorgum memang belum banyak. Di Kota Bandung ada komunitas masyarakat yang mencari makanan non-beras non-terigu bukan saja karena mereka memang mau mengonsumsinya, tapi karena memang tidak bisa. Salah satunya karena penyakit yang diderita sehingga harus mencari pengganti makanan tersebut, di mana sorgum menjadi pilihan karena dianggap lebih sehat saat dikonsumsi.
Mengutip laman sorgum.id, secara jumlah kalori kandungan sorgum per 100 gram mencapai 332 (kal) masih lebih kecil dibandingkan beras 360 (kal). Meski demikian, dalam kandungan protein sorgum masih unggul 11 (g) berbanding 7 (g). Lemaknya pun lebih rendah dan kandungan air, serat, fosfor, serta zat besi pun lebih baik ketimbang beras.
Yang menjadi persoalan sekarang, lanjut Away, meski kandungan sorgum lebih menyehatkan tapi masyarakat belum terbiasa ketika harus mengonsumsinya sebagai pengganti nasi. Lidah masyarakat belum terbiasa ketika mereka diminta untuk berpindah dari konsumsi nasi menjadi konsumsi sorgum sebagai pangan utama dengan lauk pauk.
Pun dengan harga sorgum yang membuat masyarakat lebih memilih beras karena harganya lebih terjangkau. Dari sejumlah lokapasar dalam negeri misalnya, harga biji sorgum siap diolah menjadi nasi berkisar di antara Rp17 ribu per kilogram (kg) hingga Rp54 ribu per kg untuk kualitas premium. Sedangkan harga beras yang laik dikonsumsi berada di kisaran harga Rp10 ribu sampai hingga Rp35 ribu kualitas baik.
Ikhtiar untuk bisa mengubah pola makan masyarakat agar tidak tergantung dengan nasi dan lauk pauk yang biasa dikonsumsi sebenarnya sudah pernah diupayakan DKPP. Ini dilakukan pada 2021 di mana ketika ada rapat dengan bidang penganekaragaman pangan baik secara internal di dinas DKPP maupun kedinasan lainnya, makan siang yang diberikan bukanlah nasi.
Misalnya, pada rapat pertama ada nasi jagung dengan lauk pauk seperti ayam dan ikan. Kemudian di rapat berikutnya diberikan nasi singkong atau rasi yang didapat dari Kampung Cirendeu, Cimahi. Selain itu ada juga penggunaan hanjeli sebagai pengganti nasi. Namun, setelah berjalan beberapa kali ada keluhan dari para ASN agar hidangan pengganti nasi ini diubah kembali menjadi nasi. Sebab, makanan yang disajikan pun tidak dimakan dan justru menjadi limbah.
"Jadi memang ini berkaitan dengan kebiasaan. Setelah dievaluasi daya terima (makan selain nasi) itu kurang kalau mereka tidak terbiasa sejak lama," ungkap Away.
DKPP pun pernah mengundang sejumlah perwakilan kampus negeri di Jawa Barat yang punya jurusan pangan untuk diajak mengolah pangan lokal agar bisa dikonsumsi masyarakat. Sayangnya keinginan DKPP agar pangan lokal itu diolah sebagai pengganti nasi, justru lebih banyak dibuat menjadi bahan dasar kue. "Ujungnya ini produk ke bisnis, bukan pangan pengganti nasi," kata dia.
3. Perubahan pola makan tidak mudah

Sulitnya perubahan pola makan masyarakat saat ini untuk mencari pengganti nasi juga disampaikan Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Ali Khosman. Diversifikasi pangan sebenarnya membutuhkan intervensi dari pemerintah baik di pusat maupun daerah. Contoh paling nyata yang pernah dilakukan adalah adanya gerakan One Day No Rice dan ditegaskan melalui Perpres No 22 Tahun 2009. Gerakan ini juga dilakukan di Jawa Barat melalui Pergub Nomor 60 Tahun 2010.
"Diversifikasi ini memang harus memaksa sedikit lah. Nah program seperti one day no rice ini sebenarnya bisa dikembangkan lagi," ujar Ali dalam diskusi daring 'Gizi dan Kearifan Lokal serta Hubungannya dengan Program Makan Bergizi Gratis', Sabtu (25/1/2025).
Saat ini, lanjutnya, pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana menurunkan konsumsi beras dan terigu dengan meningkatkan konsumsi kacang-kacangan, umbi, daging, hingga buah. Salah satu pengganti beras yang bisa dikonsumsi adalah sorgum yang sekarang banyak dikembangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kandungan gizi yang lebih baik dari nasi seharusnya bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat mengonsumsi pangan selain nasi, seperti sorgum.
Keanekaragaman pangan di berbagai daerah di Indonesia seperti pemanfaatan singkong, sorgum, jagung, atau talas, semestinya bisa menjadi hal positif bagi pemerintah. "Sumber dayanya ada di Indonesia, tinggal pemanfaatannya masih kurang optimal, ini yang harus dipacu lagi," kata Ali.
Sementara itu, Gastronomi dan Antropolog Makanan Center for Study Indonesia Food Anthropology (CS-IFA), Resa Kustipia mengatakan, perubahan pola makan pengganti beras ke makanan lain memang banyak kendalanya, bukan hanya harga yang kadang lebih mahal, tapi juga rasa di lidah yang tidak bisa menyesuaikan.
Kebiasaan untuk mengubah pola makan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Misalnya, mengubah dari nasi ke kentang untuk sarapan saja tidak bisa hanya dilakukan hanya dalam satu sampai tiga bulan. Setidaknya butuh waktu minimal setahun ketika ingin seseorang terbiasa makan pangan lokal selain nasi.
Pun dengan usaha untuk menjadikan sorgum sebagai pengganti nasi atau tepung sebenarnya sudah bisa dilakukan dari sekarang. Meski dulunya sorgum banyak dikembangkan di Indonesia bagian timur, sekarang sudah banyak petani termasuk di Jawa Barat yang membudidayakannya. Beragam produk bisa dihasilkan dari sorgum yang nantinya dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pengganti nasi atau terigu.
"Ini tinggal pembiasaan dan adaptasi rasa, biasa tepung tapioka kemudian diganti tepung sorgum. Maka daya kecap dan daya terima ini harus diubah," kata Resa dalam diskusi yang sama.
Sorgum sebenarnya juga sudah mulai banyak diketahui masyarakat termasuk di Kota Bandung. Hanya saja belum banyak yang mengonsumsinya atau hanya memakan ketika sudah diolah menjadi pangan lain seperti roti atau biskuit.
Dodi (36) misalnya, dia memakan sorgum yang menjadi bahan dasar roti. Secara rasa Dodi menilai lumayan enak walaupun tidak sama dengan roti gandum atau roti pada umumnya yang biasa dikonsumsi. Namun, untuk olahan lain seperti pengganti nasi Dodi pun belum pernah mencoba. Menurutnya, mengganti nasi dengan sorgum akan sulit dilakukan karena selama ini dari kecil dia sudah diberi makan nasi oleh keluarga sehingga susah jika harus tiba-tiba mengubah pola konsumsi karena bukan jadi kebiasaan.
"Kalau sekarang jelas masih nasi, itu kan sudah biasa dimakan dan masih banyak dijual. Harga juga masih masuk lah," kata Dodi.
Makan olahan sorgum juga pernah dilakukan Fathia (28). Dia mencoba sorgum ketika sudah diolah jadi camilan biskuit, bukan nasi. Biskuit itu diberi oleh seorang teman dan setelah dicoba rasanya masih masuk di lidah. Saat itu dia baru tahu ada biskuit dari sorgum. Karena penasaran Fathia pun mencobanya dan rasanya mirip dengan biskuit biji-bijian pada umumnya seperti gandum dan menyukainya.
“Rasanya enak sih ga bikin begah begitu. Tapi kalau harus makan terus atau diganti makan sorgum nasi gitu ga tahu juga ya mau makan terus atau engga,” kata Fathia.
Meski demikian, selama ini dia selalu mencari makanan lain pengganti nasi seperti kentang, ubi, atau singkong. Fathia sekarang sudah mengurangi nasi dengan mencari penggantinya baik itu kentang, ubi, atau singkong. Perubahan ini dilakukan dalam beberapa bulan terakhir selain karena ada rasa jenuh mengonsumsi nasi, juga untuk kesehatan badan yang dirasa paling penting.