Bencana MBG di Jabar: SPPG Belum Layak hingga Ribuan Orang Keracunan

- Kasus terparah di Kabupaten Bandung Barat dengan 1.315 orang korban
- SPPG banyak yang belum layak higienis
- Peran Pemprov Jabar dalam MBG
Bandung, IDN Times - Program Presiden Prabowo Subianto Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi musibah bagi sebagian warga Jawa Barat. Setidaknya ada lebih dari sepuluh kabupaten dan kota di Jabar ditemukan kasus keracunan massal setelah menyantap hidangan tersebut.
Korbannya pun hampir seluruh penerima, mulai dari ibu menyusui, hingga murid PAUD-SMA/SMK sederajat. Berdasarkan data dari Persatuan Purnabakti Pendidik Indonesia (P3I) Jawa Barat, setidaknya ada sepuluh kota kabupaten ditemukan kasus keracunan MBG ini. Dari jumlah tersebut ada 20 kasus dan kurang lebih 5.000 sampai 6.000 siswa menjadi korban.
Adapun sepuluh daerah ini yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Cirebon. Baru-baru ini ditemukan juga di Kota Banjar, dan Kabupaten Kuningan.
1. Kasus terparah terjadi di Kabupaten Bandung Barat dengan 1.315 orang korban

Dari semua kasus keracunan MBG di Jawa Barat, paling parah dan memakan banyak korban ada di Kabupaten Bandung Barat. Pemerintah setempat pun menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Peristiwa keracunan massal di Kabupaten Bandung Barat terhitung pada 22-25 September 2025 di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas. Bahkan, setelah kejadian ini beberapa korban masih berdatangan di Posko penanganan Kantor Kecamatan Cipongkor dan di RSUD Cililin, serta beberapa fasilitas kesehatan lainnya di Kabupaten Bandung Barat.
IDN Times pun memantau langsung di mana mobil ambulan terus berdatangan ke RSUD Cililin dan Posko Penanganan Keracunan MBG di Cipongkor. Mereka merupakan murid PAUD-SMK sederajat, guru, dan beberapa di antaranya adalah ibu menyusui.
Para korban yang datang ke posko langsung ditempatkan di kursi lipat penanganan korban bencana. Setelah itu petugas kesehatan gabungan melakukan pendataan secara manual dengan menulis biodata dan kelurahan di secarik kertas. Selang infus pun berjejer di atas tali jemuran yang membentang di tengah ruangan.
Korban yang datang pun memiliki gejala yang berbeda-beda, beberapa di antaranya terlihat mengalami kejang-kejang dan nyeri ulu hati. Meski begitu, sampai saat ini belum dipastikan secara jelas ada korban yang meninggal.
Seperti, Nita Andriyani (24 tahun) warga Kampung Cigombong, Desa Neglasari, Kecamatan Cipongkor mengaku merasakan mual, pusing, dan lemas setelah mengonsumsi menu dalam paket MBG ini. Nita bahkan memakannya bersama anaknya yang masih berusia tujuh tahun.
"Saya makan itu bareng sama anak saya sekitar jam delapan pagi. Saya mulai kerasa (sakit( jam 15.00 WIB, disusul anak saya diare pada malam harinya," ungkap Nita.
Ibu dari dua orang anak ini merupakan penerima manfaat program MBG yang menyasar ibu menyusui dengan anak bayinya yang masih berusia sepuluh bulan.
"Dalam paketnya itu ada nasi, ayam, tahu, sayurannya timun sama tomat, sambal, terus strawberi. Saya makan sedikit, sisanya dimakan sama anak saya yang tujuh tahun," katanya.
"Sudah tujuh kali dapet MBG. Baru sekarang merasakan pusing sama mual. Setelah ini saya mau setop aja. Gak akan lagi terima MBG."
Korban ibu menyusui lainnya, Siti Nuraeni (25 tahun), warga Kampung Cigombong, Desa Neglasari, Kecamatan Cipongkor, mengaku merasakan hal yang hampir sama dengan Nita. Saat itu dia makan dengan menu ayam, tahu, sambal, dan strawberi.
Siti sendiri memiliki anak yang masih balita dan dia memberikan asi langsung terhadap sang bayi. "Saya sudah delapan kali dapat MBG. Alhamdulillah-nya enggak apa-apa. Tapi kali ini sakit, sudah gak mau, kapok," ucap Siti.
Berdasarkan keterangan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung Barat, sampai saat ini para korban sudah pulang dan dalam kondisi membaik, dan sudah tidak ada yang dilakukan perawatan serius.
"Total korban keseluruhan keracunan makanan di Cipongkor dan Cihampelas ada sebanyak 1.315, sedangkan angka kesembuhan 1.315," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan KBB, Lia N. Sukandar kepada IDN Times (2/10/2025).
2. Banyak SPPG yang belum memahami manfaat higienis

Keracunan massal di Kabupaten Bandung Barat ini distribusi program MBG dari tiga dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), SPPG Neglasari, Cipongkor dan SPPG Kecamatan Cihampelas. Adapun dari tiga SPPG ini, dua di antaranya berasal satu yayasan yang sama.
Berdasarkan dugaan sementara SPPG ini memasak hidangan MBG di luar standar operasional prosedur (SOP) yang sudah ditetapkan. Badan Gizi Nasional (BGN) juga menduga ada keteledoran dalam proses memasak hidangan hingga akhirnya terjadi keracunan.
"Saya sudah meninjau SPPG-nya. Kondisinya sebenarnya bagus, hanya mungkin ada keteledoran," kata Kepala BGN, Dadan Hindayana beberapa hari kemarin.
Persoalan SPPG di Jabar rupanya tidak hanya soal yang diduga keracunan. Baru-baru ini juga ditemukan dapur MBG yang mencuci omprengan dengan air keruh dan jorok. SPPG ini berada di Jalan Raya Tagog Munding, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Dalam video yang beredar sejumlah ompreng MBG tampak hanya dicelupkan sebentar ke dalam sebuah ember berisi air keruh. Proses pencucian dilakukan seadanya, tanpa air mengalir. Air yang digunakan pun tampak kotor, berwarna keruh, dan dipakai berulang kali untuk membersihkan banyak wadah sekaligus.
Petugas juga hanya membersihkan secara menggoyangkan ompreng sebentar di dalam ember, lalu langsung ditumpuk kembali. Melihat itu, Direktur Deputi Tauwas Wilayah II, Brigjen TNI Albertus Doni Dewantoro terjun langsung menutup operasional dapur MBG itu.
Penutupan ini berkaitan dengan dilanggarnya SOP yang berkaitan dengan aspek higienis. Selain itu, dapur SPPG tersebut dinilai tidak memperhatikan higienitas tempat makan sebab proses pencucian ompreng dilakukan sembarangan.
Kepala SPPG Citatah, Taufik mengatakan, saat ini karyawan SPPG tersebut telah diliburkan untuk sementara waktu sampai ada izin baru. Dia pun tidak bisa berkomentar lebih jauh terkait proses pencucian yang ramai dibicarakan oleh masyarakat.
"Kondisi saat ini dapur tidak operasi untuk sementara ini. Saya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan informasi terkait dapur SPPG di Citatah," kata dia.
SPPG di Jabar memang sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki standar kesehatan dan kebersihan atau Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Tercatat pada 22 September 2025 jumlah SPPG di Jabar ada sebanyak 2.027, dengan 6.602.000 penerima, dan dari angka itu kebanyakan belum memiliki SLHS.
"Itu kan ada dua sertifikat terkait tata kelola dan higienitasnya yang harus dipenuhi oleh semua SPPG. Potret (di lapangan) langsung kita bisa simpulkan karena sangat terbatas yang sudah punya sertifikat," kata Herman.
3. Peran Pemprov Jabar dalam MBG

Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun turut melakukan respons atas keracunan massal berulang yang terjadi di sejumlah kabupaten dan kota. Satgas pengawasan akan dibentuk dan juga membuat MoU dengan BGN setel dilakukan evaluasi bersama di Bale Pakuan Pajajaran, Kota Bogor, Senin (29/9/2025).
MoU ini berisi beberapa usulan dari hasil evaluasi Gubernur Dedi Mulyadi bersama Kepala BGN Dadan Hindayana. Salah satu usulannya meminta agar guru jangan dijadikan sebagai pencicip makanan, melainkan ada dari satgas yang akan dibentuk.
Tim ini nantinya bertugas melakukan pemeriksaan menyeluruh, mulai dari penyiapan bahan baku, proses memasak, pengiriman, hingga pengecekan kualitas makanan. Bahkan, untuk memastikan keamanan, tim khusus akan ditugaskan mencicipi makanan sebelum didistribusikan.
"Yang mencicipi tidak boleh guru, tetapi tim yang melakukan pemeriksaan terhadap kelayakan bahan pangan," katanya.
Selain evaluasi internal, Pemprov Jabar juga akan menyiapkan mekanisme aduan di tingkat kabupaten/kota. Bersama bupati dan wali kota, tim aduan ini berfungsi menampung keluhan dari penerima manfaat terkait kualitas maupun kuantitas makanan MBG.
"Nanti tiap kabupaten itu ada lembaga aduan. Guru atau siswa boleh melaporkan jika ada masalah, baik dari sisi kualitas makanan maupun porsinya," kata Dedi.
Lebih jauh, Dedi menyoroti praktik pengurangan nilai paket MBG yang semestinya bernilai Rp10.000 per porsi. Menurutnya, angka tersebut sudah diperhitungkan dengan margin keuntungan Rp2.000. Jika ada penyedia dapur SPPG yang mengurangi standar tersebut, maka berpotensi menimbulkan sanksi tegas.
"Kalau berkurang, implikasinya ada tiga: sanksi administratif, penghentian sebagai mitra, hingga proses pidana. Karena kalau nilai makanan dikurangi, berarti ada uang yang tidak disajikan dalam bentuk pangan dan itu masuk dugaan korupsi," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat, Purwanto menambahkan, peran Disdik dalam program ini hanya sebagai penerima. Sedangkan untuk urusan lain dilaksanakan oleh pelaksana program MBG.
"Kami kan hanya user, soal penyuksesan program, pemerintah pusat, kemudian kami hanya menerima. Kalau pengawasan, gizi, segala macam kan sudah ada bidangnya," ucap Purwanto belum lama ini.
Soal kemungkinan untuk membentuk tim pengawas di tiap satuan lembaga pendidikan, Purwanto menegaskan bahwa tenaga SDM mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap keamanan makanan.
"Kalau kami masuk ke situ juga enggak tahu yang mengandung racun, prosesnya. Kayaknya habis energi gitu kalau kami harus sampai terjun mengawasi dari aspek gizi, keamanan gitu ya," ujarnya.
"Kami hanya memastikan bahwa itu diterima oleh siswa, kemudian siswa menerima manfaatnya, dan guru-guru bisa mengoordinir pengorganisasian pendistribusian di lingkungan sekolahnya," tuturnya.