Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Bawaslu Waspadai Potensi Kampanye Negatif Lewat Media Sosial

Diskusi Bawaslu Jabar dengan awak media di Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Barat (Jabar) berupaya mengantisipasi potensi kecurangan maupun ujaran kebencian dalam pemilihan umum (Pemilu). Ini dilakukan karena metode kampanye saat ini mulai merambah ke media siber terutama media sosial.

Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi mengatakan bahwa potensi pelanggaran dapat dilihat dari dua hal, yaitu pelanggaran administratif dan pidana. Persoalan ini bukan hal baru karena sudah ramai sejak pemilu sebelumnua.

"Jadi dalam konteks pelanggaran ini karena tren penggunaan media sosial semakin kuat maka kampanye banyak akan dilakukan lebih menggunakan media sebagai ajang kampanye yang efektif," kata Zaki dalam Kegiatan Sosialisasi Pengawasan Siber dalam Pengawas Pemilu 2024 di, Kota Bandung, Selasa (18/10/2022).

1. Bawasalu akan jalin kerja sama dengan platform medsos

Ilustrasi media sosial. (dok. samsung.com)

Zaki tak menampik bahwa pihaknya saat ini memiliki keterbatasan dalam hal informasi teknologi terutama untuk menulusuri akun-akun media sosial (medsos) yang bersifat anonim.

Oleh karena itu, Bawaslu RI akan berkoordinasi dengan berbagai platform media yang sudah ada seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lainnya agar pelanggaran kampanye di media sosial dapat diantisipasi.

"Kita menyadari betul hambatan ruang kebebasan ekspresi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dengan konteks penggunaan medsos beda tipis. Misalkan peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon," kata Zaki.

2. Ada keterbatasan regulasi sehingga Bawaslu sulit lakukan penindakan

unsplash

Selain itu, Bawaslu juga memiliki keterbatasan regulasi dalam hal penindakan secara tegas soal terhadap pelaku pelanggaran ujaran kebencian pada medsos atau media mainstrem.

"Misalkan tabloid Indonesia Barokah itu tiba-tiba ada. Makanya kita tidak bisa menindak sepihak, kita koordinasi dengan dewan pers untuk mengkatagorikan, apakah yang meanstrem seperti itu masuk dalam karya jurnalis atau tidak," sambungnya.

3. Penggunaan medsos bakal semakin marak pada Pemilu 2024

Ilustrasi pilkada serentak. (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara itu, Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ahmad Fauzi menilai model kampanye di masa yang akan datang akan menggunakan siber dari pada media ruang.

"Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang," kata Ray.

Musababnya, media ruang membutuhkan biaya yang besar sedangkan efeknya tidak terlalu berdampak pada elektabilitas dan membangun emosi caleg dan para penyidik.

Ray menerangkan, transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, daya jangkau luar biasa, data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024. Apalagi kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.

"Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca," terangnya.

Kendati begitu, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber. Menurutnya, kampanye di medsos memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas.

"Tantangan yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas. Kalau negatif campaign itubagus bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah," tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
Debbie sutrisno
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us