Bantuan Bencana Sumatra Tak Boleh Mandek Gara-gara Izin Berlapis

- Polemik izin penggalangan dana publik
- Kemensos menyatakan perlunya izin pemerintah untuk penggalangan dana bencana, memicu kekhawatiran tertundanya distribusi bantuan.
- Selly menilai pendekatan yang menitikberatkan pada izin tidak sesuai dengan karakter penanganan bencana yang membutuhkan respons segera.
- Pemerintah tetap dapat disalurkan dengan kewajiban pelaporan setelah kegiatan dilakukan.
- Pengalaman masa lalu jadi pertimbangan regulasi
- Regulasi ketat karena rekening donasi bencana pernah disalahgunakan, namun harus dihindari hambatan baru
Cirebon, IDN Times - Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriani Gantina menegaskan, penyaluran bantuan darurat bagi korban bencana alam di Sumatra tidak boleh terhambat oleh prosedur perizinan formal yang berpotensi memperlambat respons kemanusiaan.
Penegasan ini disampaikan menyusul polemik pernyataan Kementerian Sosial terkait kewajiban izin dalam penggalangan dana publik.
Menurut Selly, situasi kebencanaan menuntut kecepatan dan fleksibilitas. Ia menilai, keterlibatan figur publik, komunitas sosial, dan yayasan kemanusiaan dalam membantu korban bencana merupakan bentuk solidaritas yang harus difasilitasi, bukan dibatasi.
"Dalam kondisi darurat, yang dibutuhkan korban adalah bantuan cepat, bukan proses birokrasi yang panjang,” kata Selly di Kabupaten Cirebon, Kamis (18/12/2025).
1. Polemik izin penggalangan dana publik

Polemik muncul setelah Kemensos menyampaikan aktivitas penggalangan dana untuk korban bencana perlu memperoleh izin pemerintah.
Pernyataan tersebut memicu kekhawatiran di tengah masyarakat mengenai kemungkinan tertundanya distribusi bantuan, terutama dari kelompok non-pemerintah yang selama ini bergerak cepat di lapangan.
Selly menyatakan, kekhawatiran pemerintah terkait transparansi dan potensi penyalahgunaan dana memang beralasan.
Namun, pendekatan yang menitikberatkan pada izin sebelum kegiatan dinilai tidak selaras dengan karakter penanganan bencana yang membutuhkan respons segera.
“Pengawasan penting, tetapi jangan sampai pengawasan itu mengorbankan waktu emas penyelamatan dan pemenuhan kebutuhan dasar korban,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah sendiri telah menegaskan bantuan tetap dapat disalurkan, dengan kewajiban pelaporan setelah kegiatan dilakukan. Skema ini dinilai lebih adaptif terhadap kondisi darurat.
2. Pengalaman masa lalu jadi pertimbangan regulasi

Selly mengungkapkan, pengetatan regulasi tidak lepas dari pengalaman sebelumnya, ketika sejumlah rekening donasi bencana disalahgunakan.
Dalam beberapa kasus, dana terkumpul tidak sepenuhnya disalurkan kepada korban, bahkan ada yang digunakan untuk kegiatan yang mengancam keamanan nasional dan persatuan bangsa.
Menurutnya, pengalaman tersebut patut dijadikan pelajaran dalam memperkuat sistem pengawasan. Namun, ia mengingatkan agar regulasi tidak bersifat reaktif dan justru menciptakan hambatan baru.
"Solusinya bukan memperberat izin di awal, tetapi memperkuat mekanisme audit dan pelaporan setelah bantuan disalurkan,” kata Selly.
Ia mendorong pemerintah untuk mengembangkan sistem pelaporan yang sederhana, digital, dan mudah diakses oleh masyarakat maupun lembaga filantropi.
3. Solidaritas publik dan dampak ekonomi sosial

Lebih jauh, Selly menilai gerakan solidaritas publik dalam bencana tidak hanya berdampak pada pemenuhan kebutuhan korban, tetapi juga memiliki efek ekonomi di tingkat lokal.
Aktivitas distribusi bantuan mendorong perputaran ekonomi, mulai dari pengadaan logistik, transportasi, hingga jasa pendukung lainnya.
Hambatan regulasi yang berlebihan, menurutnya, berpotensi menurunkan efektivitas kontribusi masyarakat sipil dan sektor swasta dalam ekosistem penanggulangan bencana.
Karena itu, ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, komunitas, dan figur publik. “Regulasi seharusnya menjadi jembatan kolaborasi, bukan tembok penghalang. Negara hadir menjaga akuntabilitas, sementara masyarakat diberi ruang untuk bergerak cepat membantu sesama,” pungkasnya.


















