Gani dan Batik Trusmi: Menenun Tradisi, Menjelajah Digital

Cirebon, IDN Times - Pagi masih basah oleh embun saat Gani memulai harinya di Centra Batik Trusmi, Kabupaten Cirebon. Di usianya yang telah mencapai 52 tahun, Gani masih semangat menata lembaran batik bermotif khas mega mendung, singa payung, dan singa barong di kios sederhananya.
Di tengah lapak-lapak yang berjejer rapat, ia tampak tenang menyiapkan diri menghadapi tantangan hari itu. Gani tahu, dunia berjualan batik kini tidak lagi sesederhana memasang kain di etalase dan menunggu pelanggan datang. Dunia telah berubah.
Dua puluh lima tahun sudah ia menjadi bagian dari denyut nadi Kawasan Trusmi, pusat batik Cirebon yang telah tersohor ke berbagai pelosok negeri. Di tempat ini, batik bukan sekadar kain, melainkan bagian dari sejarah, identitas, dan kebanggaan masyarakat.
Namun, seiring perkembangan zaman, Gani merasa pasar tradisional ini juga harus ikut berubah. Ia tidak ingin bisnis batiknya tersisih di era digital yang serba cepat.
“Kalau tidak ikut-ikutan belajar teknologi, bisa-bisa saya ditinggal zaman. Anak muda sekarang lebih suka belanja lewat online, pakai android. Kalau saya tidak ikut belajar, mungkin sudah tutup sejak lama,” kata Gani sambil tersenyum di Sentra Batik Trusmi, Jalan Otista, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Sabtu (5/10/2024).
1. Era digital dan langkah pertama Gani

Menghadapi perubahan besar ini, Gani tidak tinggal diam. Ia sadar teknologi bukanlah musuh, melainkan kunci untuk tetap bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Bermodalkan semangat dan sedikit pengetahuan dari anak-anaknya yang lebih paham teknologi, dia memulai perjalanannya di dunia digital.
Langkah pertamanya adalah membuat akun Instagram dan Facebook untuk mempromosikan batiknya. Awalnya, Gani merasa canggung. Dunia media sosial terasa asing baginya, bahkan menakutkan.
“Saya bingung, harus mulai dari mana. Awalnya hanya untuk belajar. Akun media sosialnya yang diberi nama Nurfani Batik Cirebon kini telah memiliki ratusan followers. tidak sebesar toko-toko online lain, saya cukup puas dengan pencapaiannya," ujar Gani.
“Sekarang, orang-orang bisa lihat batik saya dari mana saja. Tidak harus datang ke pasar. Ada yang pesan dari Jakarta, Surabaya, bahkan pernah ada yang beli dari Manado. Semua lewat media ini,” ceritanya dengan bangga.
Namun, tantangan baru pun muncul. Setelah berhasil mempromosikan batiknya secara digital, Gani menyadari sistem pembayaran juga harus ikut berubah. Tidak sedikit pelanggan yang meminta pembayaran melalui metode digital. Ini menjadi pelajaran baru baginya.
“Dulu saya tidak pernah pakai pembayaran digital. Semua cash. Tapi sekarang, orang-orang minta bayar pakai QR Code. Waktu pertama kali dengar soal QR Code, saya bingung. Tapi ternyata, sekarang malah lebih mudah," kata Gani.
Perkenalannya dengan QR Code Indonesian Standard (QRIS) berawal dari pelatihan yang diadakan oleh Bank Indonesia di Cirebon. Pelatihan ini bertujuan untuk mendukung para pelaku UMKM, seperti Gani agar bisa beradaptasi dengan era digital.
Gani ingat betul betapa berkesannya hari itu. Ia duduk di barisan depan, mendengarkan dengan seksama setiap arahan yang diberikan.
“Mereka (Bank Indonesia) ajarin kita pakai QRIS, mulai dari cara daftar, cara menggunakan, sampai gimana menerima pembayaran dari pembeli. Saya pikir ribet, tapi ternyata gampang. Sekarang malah saya tawarin ke pembeli biar bayar pakai QRIS. Selain saya, teman di sini juga sudah pakai QRIS," ujarnya sambil menunjukkan stiker QRIS yang ada di mesin EDC.
Menurut Anton Pitono Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon, penggunaan QRIS di kalangan UMKM bukan hanya memudahkan transaksi, tetapi juga memberikan manfaat lain yang lebih luas.
QRIS memungkinkan transaksi yang lebih cepat, aman, dan efisien. Selain itu, membantu pelaku usaha memiliki catatan transaksi yang lebih transparan, yang nantinya bisa memudahkan akses mereka ke layanan keuangan formal.
Anton juga menjelaskan, digitalisasi pembayaran di kalangan UMKM adalah bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mendorong inklusi keuangan.
"Dengan QRIS, para pedagang bisa menjangkau lebih banyak konsumen, bahkan dari luar daerah. Selain itu, mereka juga memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan akses permodalan dari perbankan karena catatan transaksi mereka menjadi lebih rapi,” tambahnya.
2. Digitalisasi dan tantangan di Pasar Tradisional

Namun, meskipun sudah banyak pelaku usaha yang beralih ke metode pembayaran digital, Gani mengakui bahwa tidak semua pembeli terbiasa dengan sistem ini.
Terutama bagi pembeli yang lebih tua, pembayaran digital masih terasa asing dan menakutkan. “Ada juga yang bilang takut kalau pakai HP, nanti uangnya hilang. Tapi saya jelasin kalau QRIS itu aman. Lama-lama mereka jadi mau coba,” ujarnya.
Pelan tapi pasti, Gani berhasil meyakinkan pelanggan-pelanggannya bahwa embayaran digital tidak hanya memudahkan, tetapi juga menghemat waktu. Terlebih bagi pelanggan yang berasal dari luar kota. Dengan QRIS, mereka bisa langsung melakukan pembayaran tanpa perlu repot membawa uang tunai dalam jumlah besar.
Selain itu, ia juga merasakan manfaat lain dari digitalisasi ini. “Dulu, kalau ada pembeli dari luar kota, harus pakai transfer bank, kadang ada yang ribet. Sekarang, cukup scan QR Code, langsung beres. Lebih cepat, lebih praktis,” katanya.
Namun, Gani tidak berhenti hanya pada promosi dan pembayaran digital. Ia terus belajar dan menggali lebih dalam potensi yang bisa diraih dari teknologi. Anak-anaknya selalu mendorongnya untuk mengikuti perkembangan zaman menjadi motivasi utama dalam menghadapi dunia digital yang semakin berkembang pesat.
3. Memasuki dunia e-Commerce

Gani tidak ingin hanya berhenti di media sosial. Setelah merasa cukup percaya diri dengan Instagram dan QRIS, ia mulai melirik platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee.
“Sekarang saya juga jualan di marketplace. Awalnya susah, tapi setelah terbiasa, lumayan. Pembeli makin banyak,” ucap Gani sambil menunjukkan ponselnya yang terhubung dengan akun e-commerce miliknya.
Ia mengaku keberadaan platform digital telah membuka peluang baru bagi usahanya. Ia bisa menjangkau konsumen dari berbagai daerah tanpa harus keluar dari Cirebon.
Bahkan, batik-batiknya kini telah sampai ke luar negeri. “Pernah ada yang pesan dari Malaysia. Katanya suka dengan motif mega mendung yang saya jual. Saya senang sekali,” ujarnya dengan mata berbinar.
Perjalanannya dalam menghadapi dunia digital tidak hanya membawa perubahan besar bagi usahanya, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Di usia yang tak lagi muda, Gani merasa ia telah berhasil mengatasi tantangan terbesar dalam hidupnya.
Anton dari Bank Indonesia juga menekankan digitalisasi adalah masa depan bagi UMKM. Menurutnya, dalam beberapa tahun ke depan, semakin banyak pelaku usaha yang akan beralih ke metode digital, baik dalam hal promosi maupun pembayaran.
“Kami dari Bank Indonesia terus mendorong digitalisasi di kalangan UMKM. Selain memberikan pelatihan, kami juga melakukan sosialisasi agar lebih banyak pedagang yang memahami manfaat dari teknologi ini,” jelas Anton.
Sentra Batik Trusmi sendiri menjadi salah satu target utama digitalisasi, mengingat perannya sebagai pusat ekonomi kreatif dan budaya di Cirebon. “Kami berharap, semakin banyak pelaku UMKM yang tidak takut dengan perubahan, dan terus belajar untuk memajukan usahanya,” tambah Anton.
4. Bertahan di tengah perubahan

Gani bukan hanya seorang pedagang atau pengrajin batik di Pasar Trusmi, ia adalah simbol dari semangat juang pelaku UMKM di era digital. Di tengah perubahan yang begitu cepat, ia tidak menyerah.
Dengan segala keterbatasannya, Gani terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi untuk menjaga agar usahanya tetap bertahan.“Saya tidak mau ketinggalan zaman. Selama saya masih bisa belajar, saya akan terus maju,” ucapnya dengan tegas.
Di tangan Gani, batik Trusmi bukan hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga sebuah produk yang bisa bersaing di era modern. Melalui teknologi, ia membawa tradisi batik Cirebon melintasi batas-batas wilayah, menyebarkan keindahan kain tradisional itu ke seluruh dunia.
Dalam senyumnya yang tenang, tergambar semangat tak pernah padam. Gani, di usia ke-52 telah menunjukkan tidak ada yang terlalu tua untuk belajar dan beradaptasi di era digital.